Menu - Pages

28 Januari 2014

Transformasi Lembaga-Lembaga Negara Pasca Perubahan Konstitusi

Judul buku     : Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945
Penulis           : Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H.
Penerbit         : Sinar Grafika
Terbitan         : Cetakan Pertama, November 2013
Tebal             : xiv + 248 hlm

Perubahan konstitusi dalam negara hukum demokratis merupakan sebuah keniscayaan. Konstitusi sebagai sebuah kesepakatan bersama berbangsa dan bernegara bukanlah kitab suci yang sakral dari perubahan. Ia tidaklah imun dari segala bentuk perkembangan ketatanegaraan yang menghendaki adanya sebuah ‘penyegaran’ terhadap substansi konstitusi.
Perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat yang bersamaan, hal ini mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap sebagai doktrin yang mapan mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup lagi sekadar mengklasifikasikannya menjadi kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. 


Sebagai implikasi logis dari amandemen konstitusi sudah pasti terdapat perubahan mendasar bagi seluruh tatanan kenegaraan khususnya mengenai lembaga negara. Perubahan UUD 1945 terkait lembaga-lembaga negara sangat fundamental. Secara garis besar dapat kita lihat bagaimana konfigurasi kekuasaan MPR setelah perubahan UUD 1945, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) serta munculnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah Konstitusi (MK). Keberadaan lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan merupakan manifestasi prinsip pemisahan kekuasaan untuk saling mengawasi. dalam konteks itulah akan tercipta sistem checks and balances antara organ negara sehingga melahirkan stabilitas pemerintahan.
Pengaturan lembaga-lembaga negara di Indonesia dalam konstitusi mengalami perkembangan sesuai dinamika politik dan demokrasi di Indonesia serta pengaruh global. Perkembangan fundamental tentang lembaga-lembaga terjadi ketika perubahan UUD 1945 pada awal era reformasi. Ada lembaga yang dikurang kewenangannya dan menurun kedudukannya seperti MPR, ada yang diperkuat kewenangannya seperti DPR, ada pula pembentukan lembaga negara baru seperti MK. Di samping itu, ada juga lembaga negara yang dihapus dari sistem ketatanegaraan yaitu DPA. 
UUD 1945 hasil perubahan mengatur mengenai hubungan antar lembaga negara mengacu pada sistem saling kontrol dan mengimbangi (check and balances) sehingga tidak ada satu lembaga negara yang lebih berkuasa dan lebih tinggi kedudukannya disbanding lembaga negara lain. Dapat katakan pula tidak ada satu lembaga negara yang melaksanakan kewenangannya tanpa peranan dan partisipasi lembaga negara lain. Konsepsi ini mendorong setiap lembaga negara untuk berhati-hati dalam melaksanakan kewenangannya agar senantiasa mengacu pada konstitusi. Hal tersebut karena adanya kontrol dari lembaga negaranya lainnya. Kondisi ini dapat meminimalisir segala bentuk peluang penyalagunaan wewenang oleh lembaga negara lainnya.
Buku ini memfokuskan pembahasan pada lembaga negara yang diatur dalam UUD 1945 secara cukup rinci yang mencakup kedudukan, kewenangan dan keanggotaan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan  (BPK), dan Komisi Yudisial (KY). Lembaga-lembaga negara ini merupakan organ konstitusi sehingga mempunyai peranan besar dalam penyelenggaraan negara. Selain membahas hal tersebut, tidak ketinggalan pula dihabas seputar hubungan antar lembaga negara prespektif UUD 1945 pada bab terakhir.
Lembaga-lembaga ekstra selalu diidealkan bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran yang semilegislatif dan regulatif, semiadministratif, dan bahkan semiyudikatif. Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan berhak mengatur dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies) yang berkembang di berbagai negara. Gejala umum yang sering kali dihadapi oleh negara-negara yang membentuk lembaga-lembaga ekstra itu adalah persoalan mekanisme akuntabilitas, kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman.
Realitas tersebut tidak terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari rakyat dalam pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di era demokrasi yang “dipaksa” harus berbagi dengan kekuatan lain, khususnya parlemen, inilah yang mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak terelakkan. Tentu saja hal ini membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola kerja lembaga-lembaga ekstra tersebut, karena pembentukannya sering kali tidak dilandasi kebutuhan rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai lembaga independen yang terlepas dari hubungan struktural dengan pemerintah, pemerintah tentu tidak berada dalam kapasitas untuk bisa mengontrol secara khusus terhadap lembaga-lembaga ekstra tersebut.
Dalam konteks transformasi lembaga negara, fenomena penting pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah bertebarannya lembaga-lembaga negara mandiri (state auxiliary agencies) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar hukum yang berbeda-beda, baik dengan konstitusi, undang-undang, bahkan ada yang dibentuk dengan keputusan presiden saja. Adanya dasar hukum yang berbeda-beda itu menunjukkan bahwa lembaga-lembaga negara mandiri itu dibentuk berdasarkan isu-isu parsial, insidental, dan sebagai jawaban khusus terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Hal ini mengakibatkan komisi-komisi itu berjalan secara sendiri-sendiri dan tidak saling melengkapi satu sama lain, sehingga dalam implikasi yang lebih jauh dapat mengakibatkan efektivitas keberadaan komisi-komisi itu dalam struktur ketatanegaraan masih belum tampak berjalan sesuai dengan tujuan mulia pembentukan lembaga yang ekstralegislatif, ekstraeksekutif, dan ekstrayudikatif itu.
Hakikatnya organ negara menjalankan salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law-creating function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying function). Senada dengan pembahasan buku ini, Jimly Asshiddiqie menyimpulkan bahwa pascaperubahan UUD 1945, dapat dikatakan terdapat 34 lembaga negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28 lembaga yang kewenangannya ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya diberikan secara eksplisit oleh UUD 1945. Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan dari segi hirarkinya. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs).
Lahirnya lembaga-lembaga negara di Indonesia dilandasi oleh beberapa hal mendasar. Pertama, tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit untuk diberantas. Kedua, tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu. Ketiga, ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik karena persoalan internal maupun eksternal. Keempat, adanya pengaruh global yang menunjukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutional watchdog) yang dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki. Kelima, adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.
Sebagai karya yang lahir dari pelaku sejarah perubahan UUD 1945, termasuk menjadi anggota panitia Ad Hoc III dan I Badan Pekerja MPR yang secara intens selama empat tahun berturut-turut (1999-2002) terus menerus melakukan pembahasan rancangan perubahan UUD 1945 di MPR. Buku ini sarat akan original intent yang berkembang di MPR selama proses perubahan konstitusi mengenai lembaga-lembaga negara berlangsung, termasuk latar belakang pemikiran konseptual, maksud dan tujuan serta isi perubahan seputar lembaga-lembaga negara tersebut.
Dimuat di Majalah Konstitusi No. 83 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar