Let's share about Law...

9 November 2011

Dualisme Panwaslukada dan Implementasi Putusan MK

M. Mahrus Ali*

Pemilukada adalah subsistem dari sistem Pemilu yang demokratis, meski pemilihan yang dilakukan rakyat/masyarakat daerah mempunyai arti tersendiri bagi demokratisasi di daerah. Peletakan dasar penyelenggaraan Pemilukada pertama-tama ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

Selanjutnya melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,dalam Pasal 24 ayat (5) ditentukan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Demikian pula Pasal 56 UU a quo menentukan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.

Untuk menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa, “Pemilihan umum di diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Dalam pandangan Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pengertian ini lebih memenuhi ketentuan UUD 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan umum yang bersifat mandiri untuk dapat terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil. Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip luber dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Dengan demikian, Mahkamah berpandangan bahwa Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 UU 22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu menjadi nyata dan jelas.
Dalam rangka mengawal terwujudnya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil diperlukan adanya suatu pengawasan agar pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan (vide Penjelasan Umum UU 22/2007). Namun dalam kenyataannya, baik UU 42/2008 junctis UU 10/2008 dan UU 22/2007 tidak atau kurang memberikan penguatan (empowering) dan kemandirian kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) beserta jajarannya, untuk melakukan pengawasan baik terhadap Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilukada, sehingga pengawasan Pemilu tidak berjalan efektif dan hanya sekedar formalitas.
Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen akan mengancam prinsip-prinsip luber-jurdil dalam pelaksanaan pemilu. Ketentuan mengenai rekrutmen anggota Panwas yang harus diusulkan oleh KPU Provinsi untuk Panwas Provinsi serta KPU Kabupaten/Kota untuk Panwas Kabupaten/Kota menurut Mahkamah bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan pencalonan dan pengangkatan anggota Panwaslu cukup dilakukan oleh satu lembaga saja, yaitu Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atau Panwaslu.
Meskipun Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22 tahun 2007 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun Mahkamah tidak serta merta menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat supaya tidak menimbulkan kekosongan hukum (rechtsvacuum).


Kemandirian Panwaslukada Dalam Tafsir MK
Sebagai sebuah legal policy, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, membentuk dua institusi eksplisit. Misalnya, disebut dalam Pasal 1, yaitu KPU sebagai Penyelenggara Pemilu, kemudian ada institusi lain yang disebut sebagai Bawaslu atau Badan Pengawas Pemilu yang tugasnya mengawasi penyelenggara pemilihan umum. Kedua institusi ini tidak boleh dikurangi independensinya satu sama lain.
Terdapat tiga kategori pokok untuk menilai sebuah institusi independen atau tidak, yaitu (i) independensi dari institusi itu sendiri; (ii) independensi dari person atau orang yang mengisi institusi tersebut; (iii) independensi dari sumber keuangan. Mengenai independensi dari orang atau person yang mengisi institusi, hal itu sangat ditentukan dari proses seleksi. Sehingga untuk institusi yang disebut independen, dalam proses pengisiannya selalu melibatkan setidaknya dua institusi. Institusi yang dilibatkan harus institusi yang levelnya sama, yang satu terhadap yang lain dapat menjalankan fungsi check and balances. Pada Pengisian Bawaslu terdapat proses pengisian yang dilakukan oleh DPRD dan KPU, dua institusi tersebut tidak sama levelnya untuk melakukan fungsi check and balances. Berbeda misalnya dengan rekrutmen KPU yang dijalankan oleh eksekutif dalam hal ini Pemerintah, dengan DPR, dua institusi ini memiliki fungsi saling kontrol.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, panitia pengawas Pilkada merupakan lembaga yang kurang menonjol di dalam pelaksanaan Pilkada. Tidak ada satu pasal khusus yang mengatur tentang panitia pangawas Pilkada. Lembaga pengawas Pilkada hanya disinggung sekilas dalam Pasal 57 ayat (3) dan ayat (4) tentang komposisi keanggotaan dan jumlah anggota Panwas Pilkada. Selain itu, terdapat pada Pasal 66 ayat 3 huruf (d) tentang tugas dan wewenang DPRD untuk membentuk panitia pangawas Pilkada.
Berbeda dengan UU No. 32 Tahun 2004, dalam UU No. 22 Tahun 2007 persoalan panitia pengawas Pilkada diatur secara khusus dan lebih terperinci dalam BAB IV tentang Pengawas Pemilu. Pasal 87 UU No. 22 Tahun 2007 yang mengatur tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Bawaslu menegaskan bahwa, (1) KPU membentuk Tim Seleksi calon anggota Bawaslu. (2) Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membantu KPU untuk menetapkan calon anggota Bawaslu yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5 (lima) orang yang berasal dari unsur akademisi, profesional, dan masyarakat yang memiliki integritas dan tidak menjadi anggota partai politik dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir. (4) Anggota Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpendidikan paling rendah S-1 dan berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun. (5) Anggota Tim Seleksi dilarang mencalonkan diri sebagai calon anggota Bawaslu. (6) Komposisi Tim Seleksi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang sekretaris merangkap anggota, dan anggota. (7) Pembentukan Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan KPU dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung 3 (tiga) bulan setelah terbentuknya KPU.
Dari aspek prosedur serta realita yang terjadi menegaskan, Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak independen dan atau tidak mempunyai kewenangan yang penuh untuk menyelenggarakan dan memilih calon-calon anggota panitia pengawas karena para calon dimaksud telah lebih dulu diseleksi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Keadaan demikian potensial melanggar asas mandiri yang menjadi salah satu prinsip penting dari badan dan/atau panitia pengawas Pemilu, selain melanggar asas jujur, adil, kepastian hukum, akuntabilitas dan profesionalitas. Akibat lebih lanjutnya, kualitas penyelenggaraan Pemilu dapat dicederai atau menjadi bermasalah. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan anggota panitia pengawas yang memiliki pengetahuan dan intergritas yang baik karena KPU dan jajarannya mempunyai intensi kuat untuk menyediakan calon yang berpihak pada kepentingannya sendiri. Pada titik inilah, pengawasan menjadi bermasalah karena potensial terjadi politisasi rekrutmen dimana rekrutmen dilakukan dengan mengabaikan check and balances system serta melanggar beberapa asas penyelenggara dan penyelenggaraan Pemilu.
Pada Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22/2007, calon anggota pengawas Pemilu diusulkan oleh KPU dan ditetapkan oleh Bawaslu. Menurut Mahkamah, mekanisme rekrutmen dalam ketentuan tersebut di samping akan mengakibatkan anggota-anggota pengawas pemilu menjadi tergantung pada KPU, sehingga kemandiriannya terganggu, juga sangat potensial mengakibatkan saling menghambat dalam penentuan anggota pengawas Pemilu antara Bawaslu atau Panwaslu dengan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. Hal ini mengakibatkan terjadinya calon yang diusulkan oleh KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota tidak ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas, atau sebaliknya KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota tidak mengajukan calon Panwas sehingga tidak ada anggota Panwas yang ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas.
Ketentuan yang demikian menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengganggu terselenggaranya pemilihan umum secara periodik yang luber dan jurdil sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh UUD 1945. Prosedur rekrutmen yang demikian tidak memenuhi sifat mandiri sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945, karena calon yang akan mengawasi justru diusulkan oleh lembaga yang akan diawasi dengan adanya perselisihan antara KPU dan Bawaslu tersebut, menyebabkan pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum,
Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota tidak dapat berjalan secara maksimal. Mahkamah berpandangan bahwa demi kemanfaatan dan efektivitas dari pelaksanaan Pemilukada tahun 2010 yang tahapannya sudah dimulai serta terciptanya kondisi yang kondusif di daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pemilukada, dan demi kepastian hukum yang adil serta terciptanya prinsip saling mengawasi dan mengimbangi agar Pemilukada berjalan sesuai dengan asas luber dan jurdil sesuai Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, maka 192 Panwas yang terdiri atas 7 Panwaslu Provinsi dan 185 Panwaslu Kabupaten/Kota harus dinyatakan sah dan dapat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing.
Sesuai Undang-Undang; terhadap komposisi Dewan Kehormatan yang dimohonkan oleh Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa jumlah dan komposisi Dewan Kehormatan adalah merupakan wilayah kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dari DPR dan Pemerintah, yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum dan harus ditolak. Walaupun demikian, pada masa yang akan datang untuk menjamin kemandirian dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang luber dan jurdil oleh KPU dan Bawaslu, anggota Dewan Kehormatan harus diisi oleh anggota-anggota yang berasal dari KPU dan Bawaslu secara seimbang.
Dalam kerangka pemikiran ini, diperlukan hanya ada satu Dewan Kehormatan penyelenggara Pemilu baik untuk mengawasi perilaku anggota KPU dan anggota Bawaslu. Sehingga komposisi anggota Dewan Kehormatan baik untuk tingkat nasional maupun daerah harus terdiri atas perwakilan anggota KPU (KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota) serta Bawaslu (Bawaslu, Panwaslu Provinsi, atau Panwaslu Kabupaten/Kota) secara seimbang/sama jumlahnya dan ditambah satu orang dari pihak luar yang independen.


Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Putusan tersebut bersifat final, yang berarti putusan langsung memperoleh kekuatan tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh baik banding, kasasi atau peninjauan kembali. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan tersebut merubah hukum yang berlaku melalui undang-undang yang dinyatakan inkonstitusional, hanya merupakan pernyataan atau deklarasi belaka. Pelaksanaan putusan yang bersifat demikian telah berlangsung dengan sendirinya dan mengikat dengan pengucapan putusan dalam sidang terbuka untuk umum.
Putusan MK tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislator. Putusan MK yang sifatnya declaratoir demikian tidak membutuhkan satu aparat untuk melaksanakan putusan hakim MK. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa putusan MK bersifat final yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Konsep tersebut mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekusaaan kehakiman secara sederhana dan cepat sebagimana diuraikan dalam penjelasan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa: Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat.
Putusan MK yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omes yang diartikan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang-undangan oleh hakim dinyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan perundang-undagan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang-undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang. Putusan MK memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap semua komponen bangsa termasuk obyek yang disengketakan.
Pada dasarnya putusan MK mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU yang telah diputus MK harus melaksanakan putusan itu. Namun demikian, mengingat norma dalam UU adalah satu kesatuan sistem ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Putusan yang langsung dapat dilaksanakan adalah putusan membatalkan norma tertentu yang tidak menganggu sistem norma yang ada dan tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut.
Bagir Manan pernah menyatakan bahwa salah satu segi positif dari putusan yang berkarakter erga omnes adalah adanya kepastian hukum mengenai kedudukan peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi yang dinyatakan tidak sah. Sedangkan segi negatif berarti hakim tidak lagi semata-mata berfungsi menetapkan hukum (fungsi peradilan), tetapi telah berkembang hingga melakukan juga fungsi membentuk hukum (fungsi perundang-undangan).
Putusan MK berbeda dengan putusan pengadilan biasa, hal tersebut berhadapan dengan UU yang memuat kebijakan, maka MK tidak memiliki instrumen untuk memaksakan (enforcement) putusan demikian. Implementasinya berlangsung secara otomatis, yang akan dienforce oleh mekanisme hukum itu sendiri. Namun tidak dapat dielakkan bahwa kenyataan sosial yanh hidup merefleksikan perhadapan dan interaksi kekuatan-kekuatan sosial yang berpengaruh terhadap proses pembentukan kebijakan baru dalam revisi undang-undang untuk memenuhi putusan MK. Konfrontasi atau interaksi antara kekuatan-kekuatan sosial akan menentukan implementasi putusan MK yang dapat digunakan mengukur efekttivitas berjalannya mekanisme checks and balances melalui kewenangan MK.
Ada dua hal yang harus difahami dalam melihat realitas keberlakuan putusan MK, pertama, apakah masyarakat cukup memahami, menerima dan bersedia memberikan dukungan terhadap putusan tersebut sebagai pendapat MK yang merupakan tafsir atas UUD 1945 yang mengikat. Kedua, sejauhmana putusan tersebut dilaksanakan oleh eksekutif dan legislatif dalam bentuk revisi undang-undang dan pembentukan peraturan pelaksanaan serta seberapa jauh putusan tersebut dipatuhi oleh hakim dalam pengambilan keputusan (decision making) ketika menyelesaikan pekara yang didasarkan pada undang-undang yang telah diuji tersebut.
*The Executive Director of E-Law Corner Institute, The Researcher of The Constitutional Court of The Republic of Indonesia






















DAFTAR PUSTAKA

A. Mukthie Fadjar, 2008, Sang Penggembala, Perjalanan Hidup dan Pemikiran Hukum A. Mukthie Fadjar (Hakim Konstitusi 2003-2008) Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Anthony Allot, 1980, The Limits of Law, Butterworths&CO, London.
Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstutusi 2003-2008, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Cetakan Kedua, Jakarta: Konstitusi Press.

Kacung Marijan, 2006, Demokratisasi di Daerah (Pelajaran dari Pilkada secara Langsung), Cetakan I, Surabaya: Pustaka Eureka.

Leo Agustino, 2009, Pilkada Dan Dinamika Politik Lokal, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maruarar Siahaan, 2005, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konpress, Jakarta.

Maruarar Siahaan, 2008, Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi yang Hidup, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Mulyana W. Kusuma dkk, 2004, Agenda Pilkada dan Kesiapan Masyarakat Daerah, Cetakan I, (Boyolali: Lembaga Studi Pengembangan Partisipasi Publik dan Reforma Anggaran (LSP3RA)).

Muchamad Isnaeni Ramdhan, 2009, Kompedium Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen hokum dan HAM RI.

Samsul Wahidin, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Putusan Mahkamah Konsitusi No.072-073/PUU-II/2004 mengenai Pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Putusan Mahkamah Konsitusi No.II/PUU-VIII/2010 mengenai Pengujian Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 1 April 2009
Jurnal Konstitusi Volume III, Nomor 1 Juni 2010
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Preface

Welcome to e-Law Corner

The weblog focused on
Law and Constitution,
We'll Let's share about it,
Happy reading...
Regards,

e-Law Corner Team

CC Recent Decision

Categories

2009 (2) Agraria (1) Akreditasi (1) Articles (1) Capres (1) Demokrasi (1) demokratis (1) DPT (2) Hijrah (1) Hukum Acara (1) Implementasi (1) Independen (1) Indonesia (1) Jurnal (1) Kapitalis (1) Konstitusi (2) KPU (1) KTP (1) Law (2) Legal (7) Lembaga (1) LIPI (1) Masif (1) MK (12) Negara (1) News (2) Nomor Urut (1) Panwaslukada (1) Partai (1) Paspor (1) Pelanggaran (1) Pembubaran (1) Pemilu (2) Pemilukada (2) Penafsiran (1) Peneliti (1) PHPU (2) Pileg (1) Pilpres (1) PMK (2) Politik (2) Politik Hukum (1) presidential (1) Probono (1) Putusan (1) Resensi (2) Review (7) Sistematis (1) Suara (1) Symposium (1) Tekstual (1) Terbanyak (1) Terstruktur (1) threshold (1) Turki (1)

Archives