Let's share about Law...

29 Desember 2010

Keadilan Substantif dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi


Judul : Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Penulis : Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Penerbit : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Tahun : 2010
Jumlah : xviii + 486 hlm 150 x 22.5 cm

Mahkamah Konstitusi harus memahami UUD 1945 dalam konteks keseluruhan jiwa (spirit) yang terkandung di dalamnya guna membangun kehidupan ketatanegaraan yang lebih tepat dalam upaya mencapai cita negara (staatsideé), yaitu mewujudkan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, yang merupakan penjabaran pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.
Diawal berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK), hakim konstitusi generasi pertama (2003-2008) telah merintis upaya mengkodifikasi hukum acara MK. Beberapa literatur ditulis oleh mantan ketua MK, seperti halnya karya Jimly Asshiddiqqie seputar hukum acara pengujian undang-undang, kemudian Maruarar Siahaan juga mengupas tentang hukum acara MK dalam prespektif yang lebih general. Abdul Mukthie Fadjar juga menyusun buku yang mengupas aspek-aspek hukum acara MK. Literatur tersebut selain untuk mengkodifikasi juga untuk memasyarakatkan hukum acara Mahkamah Konstitusi.
Hukum Acara MK senantiasa dinamis dan menyesuaikan dengan konteksnya namun tidak menyimpangi dari apa yang digariskan oleh UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sejumlah Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) juga ditetapkan untuk lebih memperkuat landasan hukum acara MK. Hukum Acara sebagai hukum yang mengatur prosedur dan tata cara pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh MK. Sebagai hukum formil yang berfungsi menegakkan hukum materiilnya, yaitu bagian dari hukum konstitusi yang menjadi wewenang MK.
Keberadaan hukum acara MK dapat disejajarkan dengan Hukum Acara Pidana, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Hukum Acara MK memiliki karakteristik khusus, karena hukum materiil yang hendak ditegakkan tidak merujuk pada undang-undang atau kita undang-undang tertentu, melainkan konstitusi sebagai hukum dasar sistem hukum itu sendiri.
Hukum Acara MK dimaksudkan sebagai hukum acara yang berlaku secara umum dalam perkara-perkara yang menjadi wewenang MK serta hukum acara yang berlaku secara khusus untuk setiap wewenang dimaksud. Oleh karena itu Hukum Acara MK meliputi Hukum Acara Pengujian Undang-Undang (PUU), Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), Hukum Acara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN), Hukum Acara Pembubaran Partai Politik dan Hukum Acara Memutus Pendapat DPR mengenai Dugaan Pelanggaran Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dari sisi konten, materi muatan yang membedakan dengan buku hukum acara MK lainnya yaitu dimuatnya bahasan seputar penafsiran konstitusi yang mengupas tentang dua belas model penafsiran konstitusi dari interpretasi gramatikal sampai penafsiran etikal. Penerapan salah satu model penafsiran dapat kita temukan dalam putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 [dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman], metode yang digunakan dalam putusan ini adalah metode penafsiran sistematis atau logis. Dalam konteks ini hakim bebas memilih metode penafsiran dan tidak hanya mengimplementasikan satu model penafsiran.
Dari metode penafsiran, kita akan dibawa menelusuri perkembangan yang sangat progresif dari amar putusan MK. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 56 UU Nomor 24 Tahun 2003 ada tiga amar putusan, yaitu tidak dapat diterima, dikabulkan, dan ditolak. Namun, seiring pesatnya berjalannya waktu, putusan tersebut mengalami perkembangan. Jenis putusan tersebut antara lain Konstitusional Bersyarat (Conditionally Constitutional), Tidak Konstitusional Bersyarat (Conditionally Unconstitusional). Adapun contoh putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) antara lain pada Putusan Nomor 10/PUU-VI/2008 tanggal 1 Juli 2008 perihal Pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD terhadap UUD Negara R.I. Tahun 1945. Sedangkan putusan Tidak Konstitusional Bersyarat dapat kita temukan pada Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 perihal Pengujian UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat terhadap UUD 1945.
Perkembangan selanjutnya adalah penundaan keberlakuan putusan serta perumusan norma dalam putusan. Putusan MK yang merupakan penundaan keberlakuan putusan adalah dalam Putusan Perkara Nomor 016/PUU-IV/2006 perihal Pengujian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945. Sedangkan contoh putusan MK yang merupakan perumusan norma dalam putusan adalah dalam Putusan Perkara Nomor 072-073/PUU-II/2004 perihal Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945.
Sebagai salah satu referensi buku ajar hukum acara MK, Hukum Acara MK ini karena tidak hanya memuat hal-hal normatif. Di dalamnya juga diuraikan berbagai teori yang terkait dengan setiap wewenang MK. Buku ini juga disertai berbagai lampiran seputar contoh berkas perkara seperti permohonan baik PUU maupun PHPU, keterangan para pihak dalam persidangan, akta permberitahuan, jawaban pihak terkait serta konklusi.
Membaca buku ini secara utuh, kita akan mendapati gambaran yang komprehensif mengenai blueprint keadilan substantif dalam hukum acara MK yang termanifestasikan dalam setiap putusan MK. (Tulisan ini dimuat dalam Majalah Konstitusi, No. 46, November 2010, rubrik Pustaka dengan judul "Blue Print" Keadilan Substantif dalam Hukum Acara MK)
Share:

14 Desember 2010

Bakal Calon Memiliki Legal Standing Dalam Sengketa Pemilukada


Mahkamah Konstitusi kembali melakukan terbosan baru dalam penanganan sengketa Perselisihan Pemilukada. Dalam putusan MK No. 196-197-198/PHPU.D-VIII/2010 dalam perkara permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Jayapura, MK memberikan memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada bakal calon pasangan Pemilukada yang dicoret dari daftar pasangan calon peserta Pemilukada dengan sewenang-wenang oleh KPU. Dalam situs resmi MK disebutkan bahwa telah dilakukan rapat koordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Jumat (26/11) di Jakarta.
Berikut kutipan putusan tersebut (halaman 411-412).

Apabila permasalahan serupa terus berlangsung dan tidak dapat teratasi lagi maka pada kasus-kasus selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan untuk memeriksa pokok perkara kasus-kasus tersebut dengan menggunakan penafsiran ekstensif guna memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pemohon dalam sengketa Pemilukada. Jika semula kedudukan hukum hanya diberikan kepada Pasangan Calon yang sudah resmi ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai Pasangan Calon, maka untuk yang akan datang dapat saja Mahkamah memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada Pasangan Calon yang telah secara resmi mendaftarkan diri namun tidak ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum karena alasan-alasan yang dapat melanggar norma-norma konstitusi, nomokrasi, dan demokrasi. Berdasarkan konstitusi dan tata hukum, demi menegakkan konstitusi dan demokrasi, Mahkamah dapat menggali dan menemukan hukum baru melalui penafsiran ekstensif seperti itu.
Share:

Pro Bono Publico di tengah Elitisme Bantuan Hukum


Judul Buku : Probono Publico Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk
Memperoleh Bantuan Hukum
Penulis : Frans Hendra Winarta
Penerbit : Gramedia
Tebal : 240 halaman

There is no free lunch, tak ada makan siang gratis, begitulah ungkapan yang lazim kita dengar sehari-hari tatkala mendengar kata “bantuan” terlebih lagi bantuan hukum. Tapi benarkah itu demikian adanya? Apakah bantuan hukum itu benar-benar gratis dan siapa yang harus memberikan bantuan hukum? Pertanyaan tersebut terus mengemuka manakala bantuan hukum sulit didapat terutama bagi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di Indonesia, akses terhadap bantuan hukum (access to legal aid) bagi fakir miskin masih sulit dijangkau bahkan cenderung dikomersilkan.

Konstitusi dengan jelas mengamanatkan khususnya Pasal 27 UUD 1945 menyatakan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal tersebut mengisyaratkan tidak ada adanya diskriminatif bagi setiap warga negara dalam mengakses hukum termasuk mendapatkan bantuan hukum. Hal tersebut juga menjadi konsekuensi dari konsep negara hukum yang juga diatur dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3). Pada dasarnya equality before the law harus disertai dan diimbangi dengan equal treatment (perlakuan yang sama).

Salah satu bentuk adanya persamaan perlakuan tersebut adalah pemberian bantuan hukum kepada fakir miskin, di mana tidak hanya orang yang mampu yang dapat memperoleh pembelaan dari advokat atau pembela umum tetapi juga fakir miskin dalam rangka memperoleh keadilan (access to justice). Seyogyanya bantuan ini hukum tersebut memang diberikan secara cuma-cuma tanpa adanya upaya untuk ‘mengeruk’ keuntungan apalagi mengeksploitasi pencari keadilan.

Mengupas sisi lain dari pro bono publico (bantuan hukum secara cuma-cuma) dalam konteks Indonesia, dimana konsep bantuan hukum sudah mengalami distorsi. Tidak sedikit organisasi yang menamakan diri lembaga bantuan hukum akan tetapi masih mengharuskan klien membayar dengan biaya tidak murah tidak terkecuali pada fakir miskin. Komersialisasi bantuan hukum bukanlah hal yang baru di tanah air. Dengan demikian konsepsi mengenai pro bono publica dalam pemberian bantuan hukum kembali dipertanyakan. Realitas ini pada gilirannya menafikan akses fakir miskin untuk mendapatkan bantuan hukum. Masyarakat, khususnya fakir miskin (kaum dhu’afa atau mustadafhin) juga sangat sulit memperoleh akses bantuan hukum yang jujur, kompeten dan terpercaya.

Jika menilik pada UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 22, Pasal 22 Ayat 1 berbunyi advokat wajib memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Mandat itu merupakan tugas profesi mulia advokat (officium nobile) yang seharusnya menjadi hak publik untuk mendapatkannya secara cuma-cuma. Akan tetapi di sisi lain pasal ini seakan mengaburkan dan mengalihkan tugas negara dalam menyediakan budget dan pekerja bantuan hukum.[]
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Preface

Welcome to e-Law Corner

The weblog focused on
Law and Constitution,
We'll Let's share about it,
Happy reading...
Regards,

e-Law Corner Team

CC Recent Decision

Categories

2009 (2) Agraria (1) Akreditasi (1) Articles (1) Capres (1) Demokrasi (1) demokratis (1) DPT (2) Hijrah (1) Hukum Acara (1) Implementasi (1) Independen (1) Indonesia (1) Jurnal (1) Kapitalis (1) Konstitusi (2) KPU (1) KTP (1) Law (2) Legal (7) Lembaga (1) LIPI (1) Masif (1) MK (12) Negara (1) News (2) Nomor Urut (1) Panwaslukada (1) Partai (1) Paspor (1) Pelanggaran (1) Pembubaran (1) Pemilu (2) Pemilukada (2) Penafsiran (1) Peneliti (1) PHPU (2) Pileg (1) Pilpres (1) PMK (2) Politik (2) Politik Hukum (1) presidential (1) Probono (1) Putusan (1) Resensi (2) Review (7) Sistematis (1) Suara (1) Symposium (1) Tekstual (1) Terbanyak (1) Terstruktur (1) threshold (1) Turki (1)

Archives