Let's share about Law...

6 Juli 2009

MK Putuskan Penggunaan KTP & Paspor

Jakarta -Okezone.com

Dalam amar putusannya No102/PUU-VII/2009 tentang uji materiil UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi (MK) akhir mengabulkan penggunaan KTP dan Paspor yang masih berlaku bagi warga negara Indonesia di dalam dan luar negeri yang tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), untuk digunakan dalam hari penyontrengan 8 Juli mendatang.

"WNI yang belum terdaftar dalam DPT dapat menggunakan hak pilihnya secara konstitusional dengan menunjukkan KTP atau paspor," ucap Majelis Hakim Konstitusi MK yang diketuai oleh Moh. Mahfud MD di Gedung KPK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (6/7/2009).

Namun dalam penggunaan KTP, MK yang mengabulkan para pemohon dari Ahli Hukum Tata Negara Indonesia Refly Harun, dan Maheswara Prabandono mensyaratkan, agar para pemilih juga harus menyertakan Kartu Keluarga (KK).

Kemudian, penggunaan hak pilih bagi WNI yang menggunakan KTP hanya dapat digunakan di TPS yang berada di RT/RW sesuai dengan alamat yang tertera di KTP.

Selanjutnya, para pemilih diwajibkan mendaftarkan diri terlebih dahulu ke KPPS setempat untuk mendapatkan hak pilihnya. Terakhir, para pemilih yang menggunakan hak pilihnya dengan KTP atau Paspor dilakukan satu jam sebelum selesainya pemungutan suara di TPS yang berada di Indonesia ataupun luar negeri.

Penggunaan KTP dengan persyaratan yang telah ditetapkan MK atas dasar pasal 28 dan pasal 111 UU no 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Amar putusan sidang rapat pleno terbuka MK ini, sesuai dengan UU No 24 tahun 2003 tentang MK atau lembaran negara Republik Indonesia tahun 2003 no 98, tambahan lembaran negara Republik Indonesia no 4316.(hri) (mbs)

Share:

1 Juli 2009

MK Terbitkan Panduan PHPU Pilpres

Panduan Komprehensif Memahami PHPU Pilpres

Law Corner, Jakarta.
Setelah berhasil menuntaskan sidang Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) legislatif selama kurang lebih 30 hari, kini MK sudah mulai bersiap diri untuk menerima permohonan PHPU Presiden/Wakil Presiden (Pilpres). Hal ini dibuktikan dengan penerbitan buku Panduan Teknis Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Buku ini pada dasarnya merupakan penjabaran dari Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 17 tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Buku tersebut sudah mulai disebarluaskan agar para pihak yang hendak mengajukan permohonan ke MK dapat memahami teknis prosedural beracara dalam perselisihan Pilpres. Di samping itu, buku ini juga sangat bermanfaat bagi seluruh elemen masyarakat yang ingin memahami bagaimana sebetulnya aturan main dalam PHPU Pilpres.

Hadirnya buku ini sejatinya menjadi pedoman wajib bagi tim sukses capres atau kuasa hukumnya jika usai Pilpres nanti merasa perlu untuk mengajukan permohonan PHPU ke MK. Belajar dari pengalaman PHPU Legislatif yang lalu, masih banyak kuasa hukum pemohon melakukan kesalahan teknis dalam pengajuan permohonan. Jika hal ini terjadi, maka permohonan tersebut tidak dapat diregistrasi. Maka, kuasa hukum dituntut harus memahami PMK No. 17/2009 serta buku panduan teknis ini. Penjabaran dalam buku ini sangat mudah difahami karena dijelaskan dalam bentuk diagram dan flowchart (bagan alur) yang jelas. Booklet sederhana ini memuat delapan bab yang menjadi tahapan dalam penyelesaian PHPU Pilpres.
Tak hanya tata cara pengajuan yang dijabarkan, buku ini juga melampirkan semua format standar (baku) permohonan pengajuan PHPU ke MK. Dengan demikian para pihak tidak perlu bingung dengan format pengajuan permohonan karena sudah diberi contoh yang sangat jelas. Meski demikian, MK tetap membuka layanan konsultasi para pihak sebelum mengajukan perkaranya ke MK. Bahkan konsultasi tersebut tidak hanya di kantor MK, melainkan juga via online (e-mail, fax, telepon) dan juga melalui video conference.
Share:

2 Mei 2009

Jelang PHPU, MK Terbitkan Panduan Teknis Beracara

MK juga Terbitkan Empat PMK Terbaru

Jakarta, The Guardian Institute.
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang menangani Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) saat ini telah menerbitkan buku Panduan Teknis Beracara dalam PHPU Anggota DPR, DPD dan DPRD. Buku ini diterbitkan sebagai pedoman bagi calon legislatif yang ingin berperkara di MK. Buku saku ini juga dilengkapi dengan pedoman dan contoh penulisan (format) permohonan yang sangat rigid sehingga sangat membantu bagi para pihak yang belum pernah mengajukan permohonan ke MK. Buku setebal 78 halaman ini boleh disebut sebagai smart guide book dalam mengajukan permohonan PHPU Pemilu Legislatif. Produk terbitan MK memang tidak diperjualbelikan dan diberikan secara cuma-cuma bagi seluruh lapisan masyarakat, khususnya bagi pihak-pihak yang ingin berperkara di MK baik secara langsung atau permohonan online (via internet).

Dengan diterbitkannya buku panduan tersebut, para pihak terkait yang akan berperkara di MK tidak lagi bingung mengenai hal-hal teknis dalam mengajukan permohonan perselisihan hasil Pemilu ke MK yang akan akan dibuka setelah KPU menetapkan hasil Pemilu secara nasional.


Peraturan Mahkamah Konstitusi Terbaru

Selain menerbitkan buku panduan PHPU Legislatif, MK juga menerbitkan empat Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) terbaru, antara lain Pertama, PMK No 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPR, DPRD. Kedua, PMK No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presidan dan Wakil Presiden. Ketiga, PMK No.18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (electronic filling) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference). Keempat, PMK No. 19 Tahun 2009 tentang Tata Tertib Persidangan. Keseluruhan PMK ini sebagai hukum acara di MK dalam kontek perselisihan hasil Pemilu. PMK inilah yang akan menjadi dasar hukum dalam teknis pelaksanaan sidang perselisihan hasil Pemilu. Untuk PMK No. 16 menggantikan PMK No. 14 yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan dikeluarkannya PMK terbaru. Keempat PMK tersebut juga dapat diunduh gratis di situs resmi Mahkamah Konstitusi (www.mahkamahkonstitusi.go.id).


Share:

15 April 2009

963 Pelanggaran Dalam Pemugutan dan Penghitungan Suara

Sumber: Bawaslu RI
Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum merupakan tahapan yang paling krusial dan strategis bagi semua pihak. Bagi peserta pemilu, tahap ini akan menjadi pertaruhan apakah hasil jerih payah mereka selama masa kampanye akan diapresiasi positif oleh pemilih dengan memberikan suara kepada mereka. Bagi pemilih, pada tahap inilah mereka akan dapat menjalankan perannya untuk memilih para wakil rakyat. Sementara bagi penyelenggara pemilu, tahap ini menjadi puncak kegiatan sekaligus indikator utama untuk menilai kesuksesan penyelenggaraan pemilu.

Namun, berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu dan Panwaslu Propinsi serta Panwaslu Kabupaten/Kota, terlihat bahwa kinerja Komisi Pemilihan Umum dalam menyelenggarakan tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu 2009 ini tidak optimal. Banyak terjadi permasalahan menyangkut distribusi surat suara, maupun pelanggaran oleh penyelenggara pemilu baik di level KPU maupun jajaran di bawahnya, sehingga menyebabkan munculnya banyak protes dan ungkapan ketidakpuasan dari masyarakat.

Total Pelanggaran : 963
•PELANGGARAN ADMINISTRASI 619 KASUS
•TINDAK PIDANA PEMILU : 138 KASUS
•LAIN – LAIN : 206 KASUS

Pelanggaran Administrasi
•Surat Suara Tertukar Antar Daerah Pemilihan (238 Kasus)
•Logistic pemilu tidak cukup, (183 kasus).
•Kotak suara sudah dalam kondisi terbuka sebelum dimulainya upacara pemungutan suara (12 kasus).
•Pemilih tidak terdaftar di DPT atau DPT tambahan tetapi dapat memberikan suara (22 kasus).
•Penghitungan suara tidak selesai pada tanggal dan hari yang sama (49 kasus).

Pelanggaran Pidana
•Money politic, (33 kasus).
•Pemilih memberikan suara lebih dari satu kali, (14 kasus).
•Sengaja mengaku diri sebagai orang lain (18 Kasus)
•KPPS tidak menjaga, mengamankan kotak suara(10 kasus).
•Intimidasi kepada pemilih (17 kasus).


Pelanggaran Lain-lain
Konflik Kekerasan (8 Kasus)
Terdaftar di DPStetapi tidak terdaftar di DPT (196 Kasus)



Tindak Lanjut oleh Bawaslu dan Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota
259 pelanggaran administrasi yang telah ditindaklanjuti kepada KPU,
40 pelanggaran pidana yang telah diteruskan kepada instansi yang berwenang.


Permasalahan Lain
Buruknya administrasi Pemilu oleh KPU
Meskipun telah ditopang dengan keluarnya Perppu nomor 1/2009, KPU tetap saja tidak maksimal mewujudkan DPT yang mampu menjamin hak pemilih untuk memberikan suara. Bahkan dalam banyak temuan Bawaslu, DPT banyak diisi dengan ghost voters.
Dampak kesemrawutan DPT ini menyebabkan tingginya angka golput yang disebabkan karena lemahnya administrasi pemilu dan voters administration sehingga menyebabkan pemilih dipaksa golput.
Dalam hal ini, Bawaslu dan juga masyarakat telah berkali-kali mengingatkan KPU baik secara formal maupun informal, namun kurang diabaikan.


Manajemen Logistik Pemilu
Terdapat beberapa bentuk kekisruhan dalam manajemen logistik:
Surat suara tertukar antar Daerah Pemilihan.
Jumlah surat suara kurang.
Surat suara untuk pemilu ulang dipergunakan sebagai akibat dari kekurangan jumlah surat suara.
Terkait dengan surat suara tertukar, KPU mengeluarkan surat nomor 676 dan 684, yang isinya justru bertentangan dengan kehendak UU serta putusan MK.
Terkait dengan hal tersebut, Bawaslu telah menginstruksikan kepada Panwaslu Kabupaten/Kota agar meminta dilakukan pemungutan suara ulang, guna menjamin hak pemilih agar bernilai, serta menjamin hak keterpilihan caleg.

Tidak Optimalnya Sosialisasi tentang Peserta Pemilu yang dibatalkan
•Tidak optimalnya kinerja KPU Kabupaten/Kota dalam mensosialisasikan daftar peserta pemilu yang dibatalkan status kepesertaannya dalam pemilu di wilayah yang bersangkutan, dikarenakan tidak atau terlambat menyerahkan laporan awal dana kampanye.
•Dalam hal ini, beberapa KPU Kabupaten/Kota tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang cakupan pembatalan tersebut. Bahkan beberapa KPPS menjelaskan kepada pemilih bahwa partai yang dibatalkan tersebut beserta seluruh nama caleg di semua tingkatan tidak boleh dipilih. Akibatnya, banyak muncul keluhan dan laporan dari caleg yang merasa dirugikan.
•Dalam hal ini, Bawaslu telah mengingatkan KPU agar mensosialisasikan secara massif dan jelas kepada pemilih mengenai sanksi pembatalan ini, namun kurang ditindaklanjuti dengan optimal

Share:

Dosa Besar Pemilu 2009

Oleh : Eep Saefulloh Fatah
sumber : Kompas
Saya tak tahu jumlah mereka. Mungkin puluhan atau ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka pemegang kartu tanda penduduk dan terdaftar sebagai penduduk. Namun, mereka kehilangan hak pilih karena nama mereka tak tertera dalam daftar pemilih tetap.
Sebagian dari mereka datang ke tempat pemungutan suara pada 9 April lalu sambil membawa bukti-bukti identitas kependudukan. Tetapi, aturan melarang mereka menggunakan hak pilih mereka. Halangan administrasi merenggut hak-hak politik mereka. Mereka terabaikan. Di tengah sukacita para calon pemenang dan kesibukan partai-partai menyusun koalisi menuju pemilu presiden, Juli mendatang, tempat mereka makin tergeser dari berita pokok media massa.

Empat salah kaprah
Pencederaan hak-hak para pemilih itu adalah dosa besar Pemilu 2009 yang tak sekadar layak diratapi. Celakanya, sejumlah salah kaprah kita temukan dalam perbincangan tentang kisruh DPT. Pertama, kisruh DPT lebih banyak dipahami sebagai bencana administrasi. Ini jelas salah besar! Kisruh ini bukanlah bencana administrasi, melainkan pelecehan atas hak politik rakyat!

Mereka yang memahaminya sebagai sekadar perkara administratif tak paham bahwa bagian terpenting dalam setiap pemilu demokratis adalah terpenuhinya hak-hak politik para pemilih. Tanpa ini, pemilu cedera berat.
Adalah salah besar menjadikan hal ihwal administratif (tak tercatat dalam DPT) sebagai alasan untuk membunuh hak pilih seseorang. Semestinya administrasi harus tunduk, tersubordinasi, dibuat lentur, menyesuaikan diri untuk memenuhi hak-hak pemilih. Setiap orang yang punya bukti sah kependudukan semestinya beroleh kesempatan menunaikan hak pilihnya.
Kedua, kisruh DPT dipahami sebagai muasal persoalan. Sejatinya, kisruh ini adalah konsekuensi logis dari kekacauan administrasi kependudukan kita. Itu bukanlah sebab, melainkan akibat.
Tak satu pun dari empat presiden pada era reformasi yang berhasil menata administrasi kependudukan secara layak. Alhasil, tiga pemilu legislatif (1999, 2004, 2009), satu pemilu presiden (2004), dan lebih dari 450 pemilihan kepala daerah selama satu dasawarsa terakhir dicederai rendahnya kredibilitas data pemilih. Dicederainya hak pilih ratusan ribu —bahkan jutaan—calon pemilih dalam pemilu pada 9 April lalu adalah puncak dari kisruh permanen berulang-ulang itu.
Sejak awal reformasi sudah kerap kita dengar beragam rencana pembenahan administrasi kependudukan. Kita juga pernah mendengar rencana komputerisasi data kependudukan dan pemberlakuan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk. Nyatanya, dalam perkara ini kita tak beranjak maju.
Ketiga, kisruh DPT dipahami sebagai buah kekeliruan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tentu saja KPU punya andil memfasilitasi tak terkelolanya kisruh itu. Namun, KPU bukan biang keladi sendirian. Menteri Dalam Negeri (yang membawahkan otoritas pendataan dan administrasi kependudukan) dan Presiden (sebagai penanggung jawab tertinggi pengelolaan administrasi pemerintahan) adalah pihak-pihak yang selayaknya ikut bertanggung jawab.
Maka, saya sungguh menyesalkan bahwa sampai dengan saat ini belum terdengar sepotong pun permohonan maaf dari KPU, Mendagri, maupun Presiden kepada setiap orang yang hak-hak politiknya dilucuti. KPU terkesan lebih senang membela diri, Mendagri alpa bahwa ia ikut bertanggung jawab, dan Presiden lebih sibuk menyiapkan jalan terlapang menuju termin kedua pemerintahannya.
Keempat, banyak partai politik berasumsi bahwa kisruh DPT menyebabkan mereka kalah. Padahal, sungguh sulit mengaitkan serta-merta kisruh itu dengan perolehan suara setiap partai. Tak ada satu teori pun yang bisa membuktikan bahwa kisruh ini menguntungkan secara konsisten partai tertentu dan merugikan partai yang lain. Kisruh ini pun akhirnya hanya sekadar topeng pemanis untuk menyembunyikan ketidaksiapan sebagian partai untuk kalah.
Dua perkembangan
Dari balik kisruh DPT, mencuat dua kemungkinan perkembangan: perlawanan warga negara atau kemarahan partai-partai.
Para calon pemilih yang hak politiknya dicederai punya alasan kuat untuk melakukan aksi kolektif menuntut pertanggungjawaban para pejabat publik terkait. Mereka berhak memperkarakan pelecehan hak-hak politik mereka melalui jalur hukum secara elegan, tanpa kekerasan, dengan melintasi sekat partai atau pilihan politik. Demokrasi harus memberikan jalan lapang bagi perlawanan semacam ini.
Tetapi, kita layak cemas. Yang lebih mengemuka justru kemarahan partai-partai. Kisruh DPT boleh jadi hanya dijadikan instrumen politik oleh partai-partai untuk memperkarakan hasil pemilu. Menolak hasil pemilu tentu boleh-boleh saja, tetapi adalah kanak-kanak menjadikan kisruh DPT sebagai alasan pembenar sebuah kemarahan membabi buta. Adalah tak bertanggung jawab menyamarkan ketidaksiapan kalah di balik isu pelecehan hak-hak politik rakyat.
Memanjakan kemarahan partai-partai, sambil keluar dari konteks persoalan sesungguhnya, hanya akan memperbesar dosa kita dalam Pemilu 2009. Padahal, alih-alih menambah dosa, semestinya saatnya sekarang kita bertobat, yakni dengan segera membenahi data kependudukan untuk pemilu presiden besok.
EEP SAEFULLOH FATAH Pemerhati Politik dari Universitas Indonesia
Share:

2 Maret 2009

Konstitusi dengan Efisiensi yang Kebablasan

"Demokrasi ekonomi yang kita anut adalah demokrasi ekonomi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial dan bukan mendorong merajalelanya kaum kapitalis" (Soekarno)

Di Jalan Raya Serpong, Tangerang, Banten, dalam rentang jarak 2,6 kilometer terdapat tiga hipermarket, yaitu Carrefour, Giant, dan Hypermart. Berbagai kebutuhan, seperti sabun colek yang dihasilkan perusahaan multinasional Unilever hingga minuman ringan produksi Coca-Cola, perusahaan dari Amerika Serikat, dapat dengan mudah ditemui di ketiga toko itu.
Apa yang terlihat di Jalan Raya Serpong itu bukanlah hal yang ”menakjubkan”. Pemandangan serupa dengan mudah dapat ditemui di wilayah lain di Indonesia. Sebagian dari perusahaan multinasional yang produknya dijual di ketiga hipermarket itu bahkan sudah mulai beroperasi di Indonesia sejak awal Orde Baru.
Namun, belakangan ini kehadiran mereka mulai menggelisahkan sejumlah kalangan. Bukan hanya karena dinilai sudah mengancam aktivitas ekonomi rakyat, tetapi kegiatan mereka sepertinya juga mulai sulit dikendalikan pemerintah.
Hal ini, misalnya, terjadi ketika pertengahan tahun 2007 sejumlah pedagang Pasar Ciledug, Tangerang, menolak kehadiran Carrefour di wilayah mereka. Namun, dengan alasan sudah mengantongi izin, operasi perusahaan ritel dari Perancis itu tetap tidak terhindarkan.

Yang lebih menggelisahkan, kekayaan alam ini seperti dengan mudah diberikan kepada sejumlah perusahaan multinasional itu daripada perusahaan sendiri. Misalnya, saat Exxon dari Amerika Serikat dan bukan Pertamina yang dipilih untuk mengoperasikan kilang minyak di Blok Cepu di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Sejumlah aset strategis bangsa, seperti Indosat, bahkan ikut dijual kepada pihak asing.
Padahal, berbagai perusahaan multinasional itu mempunyai kemampuan untuk mengancam atau mengadu satu negara dengan negara lain. Caranya, mereka hanya akan datang dengan memilih negara yang memenuhi persyaratan yang mereka harapkan. Jika sebuah negara menerapkan upah buruh yang tinggi, syarat yang berat untuk pendirian pabrik, atau pajak yang tinggi, dipastikan mereka kabur, memindahkan investasinya ke negara lain.
Bagi Indonesia, pemindahan investasi merupakan mimpi buruk. Ini terlihat bagaimana paniknya sejumlah pihak ketika pertengahan tahun 2007 Nike Inc berencana, meski akhirnya dibatalkan, menghentikan order pembuatan sepatunya di dua pabrik di Tangerang, yaitu PT Nagasaki Parama Shoes Industry dan PT Hardaya Aneka Shoes Industry. Sebab, kebijakan itu dapat berarti hilangnya pekerjaan bagi 14.000 buruh kedua perusahaan itu.
Kemampuan perusahaan multinasional itu membuat elite pemerintahan akan lebih mengabdi kepada kepentingan mereka daripada rakyatnya sendiri. Ini, misalnya, terlihat dalam kasus pendirian Carrefour di Ciledug.
Eksploitasi negara maju
Johan Galtung, sosiolog dari Norwegia, mengatakan, keadaan seperti ini akhirnya membuat negara Dunia Ketiga tidak lebih sebagai lahan eksploitasi negara maju. Di negara Dunia Ketiga, hasil eksploitasi hanya dinikmati elite yang menjadi komprador atau bekerja sama dengan negara maju. Ini bisa dilihat dari lebarnya jurang antara mereka yang kaya dan miskin di Indonesia.
Karena itu, fenomena ini seperti merupakan pengingkaran terhadap harapan Soekarno yang disampaikan dalam pidatonya di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Ia mengatakan, demokrasi ekonomi yang kita anut adalah demokrasi ekonomi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial dan bukan mendorong merajalelanya kaum kapitalis.
Penambahan ayat dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu Ayat 4 dan Ayat 5, dinilai turut berperan dalam maraknya liberalisasi ekonomi di Indonesia belakangan ini.
Ayat 4 berbunyi, ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Ayat 5 berbunyi, ”Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”.
Oleh karena ada ketentuan efisiensi, bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya disebut sebagai faktor produksi yang hitungannya adalah untung rugi. Badan usaha milik negara (BUMN) juga tidak masalah jika dijual, asal untung. Logika itu amat berbeda dengan penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang sekarang dihapuskan, bumi, air, dan kekayaan alam itu merupakan sumber kesejahteraan rakyat.
Saat perubahan UUD 1945, ada tim ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menolak perubahan Pasal 33 UUD 1945. Mereka adalah Mubyarto dan Dawam Rahardjo. Alasannya, pasal itu merupakan cerminan prinsip kebersamaan, kegotongroyongan, dan kekeluargaan, sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945.
Atas berbagai masukan, isi Pasal 33 Ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945 memang tidak diubah, tetapi dilakukan penambahan terhadap Ayat 4 dan 5. Penambahan pada Ayat 4 didorong oleh keinginan untuk mengikis kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Penambahan juga dimaksudkan agar ada rumusan yang lebih luas dan dapat menjawab tantangan globalisasi.
Ayat 4 itu dimaksudkan untuk mempertegas apa yang disampaikan oleh pendiri bangsa ini dan memberi kejelasan dalam menerjemahkan Ayat 1, 2, dan 3. Kata ”efisiensi” dalam Ayat 4 itu dibutuhkan untuk mendorong percepatan produktivitas. Namun, kata itu diikuti dengan berkeadilan hingga harus dilakukan dengan adil, yang berarti setiap setiap warga negara dapat menikmati hasilnya sesuai dengan kemanusiaan dan darma baktinya.
Adapun prinsip kebersamaan dalam Ayat 4 menegaskan bahwa produksi dijalankan dan untuk semua. Dengan demikian, praktik persaingan bebas, monopoli, atau monopsoni jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Jika sekarang (sejumlah) BUMN dijual, apakah itu memang perintah UUD 1945? Atau peraturan di bawahnya?
Apakah berbagai masalah selama ini memang bermuara di UUD 1945 atau peraturan itu hanya dijadikan pelarian? Jangan-jangan, berbagai masalah itu justru disebabkan lemahnya kapasitas dan kapabilitas pelaksana UUD 1945.
M Hernowo
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/19/00172280/konstitusi.dengan.efisiensi.yang.kebablasan


Share:

Mahkamah Konstitusi dan Penafsiran Tekstual

"argumen putusan MK benar saat menyatakan bahwa jika Pasal 6-A ayat 2 UUD 1945 ditafsirkan lain sehingga memberi justifikasi konstitusional bagi Calon Presiden dan Wakil Presiden independen, akan menimbulkan makna yang berbeda dan berakibat MK melampaui kewenangannya"


Calon presiden dan wakil presiden dari jalur perseorangan (independen atau nonpartai) tidak akan tampil dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2009 ini, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (17 Februari). Putusan tersebut didukung oleh lima hakim konstitusi, sementara tiga hakim konstitusi lainnya menyampaikan dissenting opinion.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kali ini menunjukkan dominasi paradigma pendekatan tekstual (original intent) dalam menafsirkan konstitusi di kalangan mayoritas hakim konstitusi. Putusan ini mengusung semangat menegakkan konstitusi "secara murni dan konsekuen" (memakai frase yang dulu biasa digunakan oleh rezim Orde Baru).

Sejak proses pengujian perkara ini dimulai di majelis hakim MK, telah muncul pendapat bahwa diterima atau ditolaknya permohonan perkara ini sangat ditentukan oleh pendekatan yang digunakan oleh hakim-hakim konstitusi dalam menafsirkan konstitusi. Jika bersandar pada pendekatan tekstual, tidak sulit menerka bahwa putusan MK akan menolak perkara ini.

Sebab, Pasal 6-A ayat 2 UUD 1945 telah secara jelas menentukan bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Beberapa pasal di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang digugat oleh pemohon pada prinsipnya merupakan penegasan atau derivasi ketentuan konstitusi tersebut. Pendekatan tekstual menutup rapat peluang justifikasi konstitusional bagi calon presiden dan wakil presiden independen.
Namun, jika menggunakan pendekatan kontekstual (progresif), celah konstitusional bagi calon independen tetap terbuka. Pendekatan ini memberikan keleluasaan bagi hakim-hakim konstitusi dalam menafsirkan konstitusi berdasarkan pertimbangan lebih luas dan terbuka serta sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist). Dengan menggunakan pendekatan progresif, MK dapat menafsirkan berbeda sehingga memberi justifikasi konstitusional bagi calon presiden dan wakil presiden independen.
Dalam lingkup terbatas dan jangka pendek, penafsiran kontekstual memang mampu menelurkan putusan progresif. Tapi penafsiran seperti ini berpotensi memicu dampak negatif untuk lingkup yang lebih luas dan jangka panjang. Sedikitnya ada dua aspek terkait dengan ini.
Pertama, penafsiran kontekstual menggelincirkan MK menjadi lembaga kehakiman otoriter, karena MK memiliki cek kosong yang dapat ditulisnya sendiri. Atas nama penafsiran kontekstual, MK bebas menafsirkan konstitusi sesuai dengan keyakinannya meskipun bertolak belakang dengan yang tertulis di konstitusi. Ini merupakan praktek yang disebut oleh Jon Elster dan Stephen Holmes (1992) sebagai "backdoor constitutional amendment" (amendemen konstitusi melalui pintu belakang). Artinya, MK menyerobot kewenangan MPR sebagai pembuat UUD.
Dalam konteks ini, argumen putusan MK benar saat menyatakan bahwa jika Pasal 6-A ayat 2 UUD 1945 ditafsirkan lain sehingga memberi justifikasi konstitusional bagi calon presiden dan wakil presiden independen, akan menimbulkan makna yang berbeda dan berakibat MK melampaui kewenangannya. Masalahnya, apakah majelis hakim MK akan selalu konsisten menggunakan pendekatan tekstual dalam menafsirkan konstitusi? Jika jawabannya “tidak”, itu akan mempengaruhi kredibilitas MK. Akan muncul pertanyaan, mengapa untuk perkara ini majelis hakim konstitusi menggunakan pendekatan tekstual, sementara untuk perkara lain memakai pendekatan kontekstual.
Selain itu, penafsiran konstitusi yang lentur (arbitrary interpretation) mengisyaratkan bahwa kedudukan MK lebih tinggi (supreme) daripada konstitusi. Tidak ada perbedaan kedudukan antara konstitusi dan MK karena keduanya telah menjelma menjadi satu-kesatuan. Artinya, MK tidak dapat lagi disebut sebagai pengawal konstitusi, karena yang mengawal dan dikawal telah melebur menjadi satu. Padahal, dalam konteks prinsip supremasi konstitusi sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen (tokoh pencetus ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di dunia), pengawal harus patuh dan berkedudukan lebih rendah daripada yang dikawal.
Manakala potret seperti itu tercipta, akan menyusul dampak negatif kedua, yaitu potensi konflik antara MK dan lembaga tinggi negara lain, terutama dengan MPR/DPR sebagai lembaga pembuat konstitusi dan undang-undang. Ini potensial terjadi karena MK, melalui palu putusannya, berkuasa menafikan produk hukum dari lembaga tinggi negara tersebut.
Jika penafian itu terhadap undang-undang, bagaimanapun DPR harus menerimanya karena MK berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap konstitusi. Tetapi, jika penafian itu terhadap UUD 1945, yang merupakan saka guru bagi semua lembaga tinggi negara, konflik antara MPR/DPR sangat potensial terjadi.
Ketidaknyamanan DPR terhadap MK yang melakukan pengujian undang-undang telah mencuat beberapa waktu lalu. Sejumlah anggota Komisi III DPR mengkritik MK karena melampaui batas kewenangannya. Beberapa putusan MK dinilai bersifat ultra-petitum dan menerabas rambu normatif yang digariskan UU MK. Dapat diduga, potensi konflik semakin terasah jika DPR berkeyakinan MK telah menjelma menjadi--meminjam istilah Carlos Santiago dalam The Constitution of Deliberative Democracy--"supremasi organ aristokratik".
Konflik antara MK dan lembaga tinggi negara lainnya cukup sering terjadi di negara-negara demokrasi baru. Levent Gönenç, dalam studinya, “Prospects for Constitutionalism in Post-Communist Countries”, mencatat bahwa di banyak negara pascakomunis, hakim konstitusi menjadi aktor sangat berkuasa, dan kemudian lembaga eksekutif dan legislatif meresponsnya dengan mencoba menekan MK. Akibatnya, terjadi pertarungan terus-menerus antara MK dan lembaga tinggi negara lainnya, kadang itu berpuncak pada pengekangan kekuasaan MK (2002: 255-6). Kasus seperti ini terjadi, misalnya, di Kazakhstan, Belarus, Romania, Bulgaria, Slovakia, dan Rusia. Tom Ginsburg, dalam bukunya Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases (2003: 101), juga mencatat kecenderungan konflik seperti itu, karena MK bertindak tergesa-gesa ketika praktek demokrasi masih belia.
Penafsiran kontekstual bermanfaat sepanjang mampu menegasikan dua potensi dampak negatif di atas. Jika tidak, sebaiknya MK tetap berfokus pada penafsiran tekstual karena pendekatan ini relatif terukur. Putusan MK menolak calon independen memang merupakan kabar buruk bagi dinamika demokrasi serta penegakan hak konstitusional warga yang berbasis pada individu. Namun, dalam lingkup luas dan jangka panjang, putusan ini berkontribusi merawat praktek demokrasi konstitusional yang masih muda. Justifikasi konstitusional calon presiden dan wakil presiden independen seyogianya tidak ditempuh melalui pintu putusan Mahkamah Konstitusi, melainkan melalui pintu amendemen konstitusi di MPR. *

Ditulis oleh :
Munafrizal Manan, mahasiswa The University of Melbourne, Australia; sedang menulis tesis "Constitutionalism in a New Emerging Democracy: The Case of Indonesia"
sumber : http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/26/Opini/krn.20090226.157992.id.html
Share:

18 Februari 2009

MK Ingatkan KPU Soal Pemberlakuan Nomor Urut Caleg

Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana keluarkan aturan tentang mekanisme nomor urut dalam menentukan calon anggota legislatif terpilih. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan keberlakuan Pasal 214 UU Pemilu yang mengatur tentang nomor urut tersebut. Oleh karenanya, Rabu (18/2), Ketua MK Moh. Mahfud MD, dalam konferensi pers, mengingatkan KPU supaya mematuhi putusan MK. Berikut ini keterangan lengkapnya.
Keterangan Pers MK tanggal 18-2-2009
1. Sebagai bentuk tanggungjawab atas kondisivitas situasi nasional dengan ini MK ingin menyampaikan respons atas persoalan “suara terbanyak” yang akhir-akhir menjadi wacana dan menimbulkan kebingungan bahkan memancing persoalan politis yang kurang sehat bagi keselamatan dan kelancaran pemilu.

2. Media massa hari ini (18/2/2009) melansir berita bahwa KPU akan segera mengeluarkan peraturan KPU tentang suara terbanyak sebagai tindak lanjut dari putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 jika pemerintah tidak mengeluarkan Perppu. Salah satu alternatifnya KPU akan memberlakukan kembali pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 yang telah dibatalkan oleh MK.
3. Harap diingat, menurut konstitusi, putusan MK bersifat final dan mengikat sebagai tafsir konstitusi. Putusan judicial review MK adalah putusan negative legislator yang kekuatannya sama dengan UU tetapi dalam bentuk peniadaan UU atau isi UU. Ini tak bisa dilanggar oleh lembaga negara yang manapun.
4. Jika alasannya, putusan MK perlu Perppu atau revisi UU lebih dulu maka baik berdasar teori, konstitusi maupun yang berlaku selama ini maka alasan tersebut sama sekali tidak benar. Putusan MK yang meniadakan isi UU tanpa menimbulkan kekosongan hukum langsung berlaku secara self executing. Yang perlu Perppu atau revisi UU hanyalah yang menimbulkan kekosongn hukum untuk materi muatan UU, bukan yang menyangkut teknis-pelaksanaannya. Yang memerlukan revisi UU atau Perppu misalnya pembatalan atas isi UU KY, pembalatan atas isi UU KPK, dan pembatalan atas isi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu banyak yang tak perlu Perppu atau revisi UU, misalnya, Pembatalan atas pemberlakuan asas rektoaktif dalam tindak pidana terorisme, pembatalan pemasuangan hak pilih bagi yang terlibat PKI, dan pembatalan atas tidak adanya keharusan calon anggota DPD untuk bertempat tinggal daerah pemilihannya. Mengapa dalam kasus persyaratan domisili calon anggota DPD KPU langsung melaksanakan dan tak pernah mempersoalkan? Tapi mengapa dalam soal suara terbanyak menjadi begitu rumit? Jadi tak semua putusan MK itu perlu Perrpu atau revisi UU.
5. Alasan KPU yang mengutip sementara pendapat bahwa putusan pengadilan (termasuk MK) itu bersifat konkret dan tidak bisa menjadi dasar hukum sehingga tak bisa menjadi dasar hukum adalah keliru, sebab putusan MK harus dibedakan dari dari putusan pengadilan biasa. MK memperoleh kewenangan langsung yang eksplisit dan limitatif dari pasal 7B dan pasal 24C UUD 1945 sedangkan pengadilan biasa jenis kewenangannya diperoleh melalui UU biasa. Dan sengketa yang ditangani MK adalah konflik norma yang sudah digariskan oleh UUD secara langsung. Menurut hukum putusan MK atas peniadaan isi UU langsung berlaku sejak diucapkan dalam siang pleno.
6. Di dalam UU No. 10 Tahun 2008 yang sebagian isinya dibatalkan MK itu sama sekali tidak ada materi tentang keharusan wanita masuk menjadi anggota DPR. Yang ada di dalam UU No. 10 Tahun 2008 itu hanya ketentuan bahwa “dalam setiap 3 caleg harus ada 1 caleg perempuan,” dan itu tidak dibatalkan oleh MK. Jika kemudian KPU mau menentukan bahwa “dalam setiap 3 caleg terpilih harus ada 1 perempuan” maka itu sudah di luar putusan MK karena sejak semuka memang tidak ada di dalam UU. Oleh sebab itu kalau akan menetapkan zipper system seperti itu memang harus dengan Perrpu atau revisi UU sebab hal itu akan membuat pengaturan baru yang sebelumnya tidak ada di dalam UU. KPU tak boleh mengatur itu, Peraturan KPU hanya melaksanakan UU termasuk pembatalan atas UU oleh MK. Pokoknya kalau ada materi baru yang seharusnya menjadi muatan UU, tak boleh diatur oleh KPU.
7. Saya sungguh menyayangkan ketika KPU mengaitkan putusan MK ini dengan masalah sumber hukum dan dasar hukum yang bagi ilmu hukum tak ada relevansinya. Sebab penjelasan KPU itu sama sekali tak menjelaskan apa pengertian sumber hukum dan dasar hukum, apa hubungan keduanya, dan kapan sumber hukum sekaligus menjadi dasar hukum.
8. Harus diingat bahwa jika KPU ceroboh dalam hal ini ada konsekuensi politik dan konsekuensi pidananya. Konsekuensi politik bisa ditetapkan oleh DPR dan Presiden, sedangkan konsekuensi pidana menyangkut ancaman hukuman penjara sebagaimana diatur di dalam pasal 309 ayat (3) (hukuman 12 s/d 24 bulan) yang didahului oleh pasal 257 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 yang mewajibkan KPU menindaklanjuti semua putusan pengadilan.
9. Dengan menyatakan ini MK tak ingin ikut ribut-ribut dalam keributan KPU, tetapi hanya ingin turut menyelamatkan pemilu. Semuanya terserah KPU saja.

sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2149
judul asli : MK Ingatkan KPU Soal Rencana Pemberlakuan Nomor Urut Caleg

Share:

KPU Siapkan Opsi Kembali ke Nomor Urut

Putusan MK dianggap keputusan final, tapi tidak mengikat.

JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyiapkan opsi kembali menggunakan Pasal 214 Undang-Undang No 10/2008 atau menetapkan caleg terpilih berdasarkan nomor urut. Langkah itu perlu dilakukan jika pemerintah tidak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Anggota KPU, Andi Nurpati, mengatakan, KPU menyiapkan tiga opsi jika perppu tidak keluar dalam pekan ini. ''Tiga opsi itu adalah mengirimkan surat kepada pemerintah agar segera mengeluarkan perppu, mengeluarkan peraturan KPU (tentang penetapan caleg terpilih) dengan dasar putusan Mahkamah Agung, atau kembali menggunakan Pasal 214,'' kata Andi, Selasa (17/2).

Rencana mengeluarkan peraturan KPU tentang penetapan caleg terpilih, kata Andi, didasarkan pada putusan MK. ''Pakar hukum saja masih berbeda pendapat soal ini,'' katanya. KPU sebenarnya sudah mendapat lampu hijau dari Mahkamah Agung (MA) untuk menetapkan caleg terpilih melalui peraturan KPU.

Adapun opsi kembali ke Pasal 214 merupakan hasil dari pembahasan di pleno KPU. Meski MK telah membatalkan Pasal 214, hingga kini belum ada satu aturan pun yang mengatur hal-hal teknis untuk menetapkan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. ''Jika pekan ini tidak ada perppu, KPU harus mengambil sikap,'' tegas Andi.

Sikap tersebut harus diambil karena KPU sedang melakukan bimbingan teknis (bimtek) bagi KPU provinsi dan kabupaten/kota. ''Bimtek hanya akan efektif sampai awal Maret 2009. Karena, mulai 16 Maret 2009, mereka (KPU provinsi dan kabupaten/kota) akan disibukkan oleh kampanye terbuka,'' kata Andi.

KPU sudah melakukan bimtek seluruh Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara pada 8-10 Februari 2009. Kemudian, pada 11-13 Februari 2009, dilaksanakan bimtek di Manado untuk wilayah Sulawesi Utara.''Tadi malam berlangsung di Riau untuk wilayah Sumatra II. Tiga hari kemudian berlangsung di Batam untuk Sumatra I serta terakhir Jawa dan Mataram (NTT, NTB, dan Bali),'' jelas dia.

Saran kembali ke Pasal 214 juga disampaikan oleh mantan wakil ketua KPU, Ramlan Surbakti, Selasa (17/2). Menurut dia, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang No 10/2008 harus diadopsi dalam bentuk undang-undang. ''Jika perppu tidak ada, KPU harus tetap menggunakan aturan lama, yaitu Pasal 214 UU No 10/2008,'' kata Ramlan.

Dijelaskannya, MK hanya membatalkan pasal, sedangkan peraturan teknisnya tetap harus dibuat dalam bentuk undang-undang. Menurut Ramlan, putusan MK itu final, tapi tidak mengikat. ''Dengan alasan itu, perlu ada undang-undang yang mengatur penetapan caleg terpilih,'' kata Ramlan.

Dijelaskannya, usulan kembali ke Pasal 214 sudah disampaikan ke KPU, tiga pekan lalu. ''Itu berdasarkan pengalaman saya ketika menjadi anggota KPU dalam menghadapi putusan MK tentang calon independen dalam pilkada,'' katanya. Jika belum ada undang-undang yang mengadopsi itu, lanjutnya, KPU tetap menggunakan aturan undang-undang lama.

Rapat lagi
Sementara itu, pemerintah dan Komisi II DPR masih sibuk melakukan rapat dalam menyelesaikan persoalan perppu. Rencananya, Selasa (17/2) malam, akan ada pertemuan yang melibatkan pemerintah, Komisi II DPR, KPU, dan Bawaslu. ''Pertemuan akan dilakukan di Hotel Sultan,'' ungkap sumber Republika.

Dalam pertemuan pertama, kata sumber tersebut, pemerintah menginginkan ada kepastian atas persoalan pengesahan pemberian tanda lebih dari satu kali. Sementara itu, KPU meminta penyelesaian terhadap masalah penetapan caleg terpilih dan pemutakhiran daftar pemilih tetap. Adapun sikap antarfraksi masih berbeda-beda. Ada yang mendukung segera dikeluarkannya perppu, tapi ada pula yang belum sepakat. ikh/dwo
http://www.republika.co.id/koran/0/32166/KPU_Siapkan_Opsi_Kembali_ke_Nomor_Urut
Share:

Persyaratan Pencalonan Presiden Demokratis

MK Tolak Batalkan UU No. 42/2008

Jakarta, kompas - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terkait syarat pengajuan calon presiden/wakil presiden oleh partai/gabungan partai dengan perolehan suara 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen perolehan suara sah nasional.
MK juga menyatakan, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) itu adalah kebijakan hukum (legal policy) pembentuk UU yang diberikan Pasal 6A Ayat 5 UUD 1945. Putusan itu dibacakan delapan hakim konstitusi di Jakarta, Rabu (18/2).
Permohonan uji materi itu diajukan Saurip Kadi serta tujuh partai politik, yakni Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Republika Nusantara, dan Partai Bulan Bintang. Hadir juga dalam sidang, calon presiden dari Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra, dan Sutiyoso yang diunggulkan Partai Indonesia Sejahtera

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan, syarat 20 persen kursi dan 25 persen suara sah untuk pencalonan presiden dan wapres itu tidak berpotensi menyebabkan pemilu yang tidak demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. MK menyatakan tidak ada korelasi logis antarkeduanya.
Lagi pula, menurut MK, syarat itu dinilai sebagai bentuk dukungan awal. Dukungan sebenarnya ditentukan hasil pilpres.
Meski seandainya isi suatu UU dinilai buruk, seperti ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal pemilu, MK tak bisa membatalkannya. Sebab, yang dinilai buruk tak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy itu melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable (tidak dapat ditoleransi).
Tiga hakim konstitusi, yakni Maruarar Siahaan, Abdul Mukthie Fadjar, dan Akil Mochtar, mengajukan pendapat berbeda dengan putusan (dissenting opinion). Menurut mereka, konstitusi sebenarnya sangat jelas maksudnya dan tak memberi peluang bagi pembentuk UU untuk membuat kebijakan hukum dengan ”akal-akalan” yang terkontaminasi motif politik ad hoc menentukan presidential threshold atau ambang batas untuk pencalonan presiden.
Penolakan MK terhadap permohonan uji materi terhadap UU No 42/2008 ini adalah yang kedua kali. Selasa lalu MK juga menolak membatalkan pasal dalam UU ini, yang menyatakan calon presiden/wapres cuma diusulkan parpol atau gabungan parpol. Dengan begitu, calon perseorangan tak bisa maju sebagai calon presiden (Kompas, 18/2).
Pertanyakan keabsahan
Yusril, yang juga mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, mempertanyakan keabsahan putusan MK itu. Menurut dia, seharusnya putusan MK dilakukan sembilan hakim konstitusi atau tujuh hakim konstitusi jika dalam keadaan darurat.
”Hanya dalam keadaan luar biasa MK dapat bersidang dengan tujuh hakim. Itu pun harus dijelaskan luar biasanya apa,” kata Yusril. Putusan Rabu diambil delapan hakim sebab Jimly Asshiddiqie mengundurkan diri dan penggantinya, Haryono, belum dilantik.
Sutiyoso mengaku terkejut dengan putusan MK itu. Ia bingung dengan putusan MK sebab syarat pencalonan presiden itu sebenarnya tidak ada dalam UUD.
Dari Cilacap, Jawa Tengah, calon presiden dari Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia, Rizal Ramli, Rabu, menilai, syarat pencalonan presiden/wapres itu hanya akal-akalan parpol besar untuk mempertahankan kekuasaannya, dengan menghambat majunya calon presiden/wapres alternatif, baik dari parpol menengah maupun independen. Sistem itu jauh lebih buruk dibandingkan dengan sistem Pilpres 2004 yang terbukti memberikan kesempatan bagi setiap parpol mengajukan calon.
Sistem yang kuat
Sebaliknya, mantan Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Presiden Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta, Rabu, mengapresiasi putusan MK yang menolak pembatalan persyaratan pencalonan presiden/wapres itu. Semua pihak diharapkan bisa menerima putusan itu untuk menjamin pelaksanaan Pemilu 2009 yang lancar dan tetap berkualitas.
Menurut Ferry, persyaratan itu mesti dipahami sebagai upaya membangun sistem presidensial yang kuat. Sejak 2004, persentase perolehan suara atau kursi DPR menjadi persyaratan pengajuan calon presiden/wapres. Besaran persentase sejalan dengan prinsip kesinambungan membangun sistem yang mendasari pembahasan RUU. ”Soal besar atau kecil, itu pilihan,” katanya.
Secara terpisah, anggota Fraksi Partai Golkar DPR, Ade Komarudin, berpandangan, dengan putusan MK, pencalonan presiden dan wapres oleh partai atau gabungan partai tidak bisa diputuskan oleh pengurus pusat partai, melainkan oleh kader partai itu yang terpilih di DPR.
”Pencalonan presiden/wapres oleh pengurus partai sebenarnya mencederai proses pemilihan langsung oleh rakyat sebab pemimpin partai itu tak dipilih oleh rakyat,” ujar Ade. (ana/sut/jon/dik/mdn)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/19/00064798/persyaratan.pencalonan.presiden.demokratis
Share:

17 Februari 2009

Perseorangan Tak Bisa Jadi Calon Presiden

Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terkait calon presiden dari jalur perseorangan atau independen. MK menilai, dalam konstruksi yang dibangun dalam UUD 1945, pengusulan pasangan calon presiden merupakan hak konstitusional partai politik.
Dengan putusan itu, calon perseorangan tidak bisa dicalonkan sebagai presiden/wakil presiden. Mereka harus diusung gabungan parpol atau parpol yang memenuhi ketentuan undang-undang.
Terkait dengan putusan MK itu, seorang pemohon uji materi, Fadjroel Rachman, menyatakan akan mendorong perubahan kelima UUD 1945. Ia juga tak akan menghentikan kampanye dirinya sebagai capres independen.

Selasa (17/2), delapan hakim konstitusi membacakan putusan uji materi terhadap Undang- Undang Pemilu Presiden terkait capres independen. Putusan itu diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga hakim, yakni Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan Akil Mochtar. Mereka berpendapat MK semestinya membuka peluang capres dari jalur perseorangan.
Dalam pertimbangan, MK menyitir Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan calon presiden/wapres diajukan parpol atau gabungan parpol sebelum pemilu. Aturan itu tegas bermakna, hanya parpol atau gabungan parpol yang dapat mengusulkan pasangan calon presiden/wapres. Tak ada penafsiran lain.
Selain itu, wacana capres independen pernah muncul dalam pembicaraan perubahan UUD 1945, tetapi tidak disetujui MPR.
Jika Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 ditafsirkan lain dan lebih luas sehingga menampung capres dan cawapres perseorangan, menurut MK, itu adalah perubahan makna dari yang dimaksud MPR. Artinya, MK melakukan perubahan UUD 1945. Hal itu bertentangan dengan kewenangan MK.
Pendapat berbeda
Sebaliknya, Mukthie Fadjar menilai, siapa pun warga negara yang memenuhi ketentuan Pasal 6 Ayat 1 UUD 1945 harus mendapat akses yang sama untuk menjadi capres dan cawapres. Pasal itu menyebutkan persyaratan utama capres/cawapres, yakni warga negara Indonesia sejak kelahirannya, tak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas.
Menurut dia, Pasal 6A UUD 1945 hanya mengatur cara atau prosedur pencalonan. Prosedur semestinya tak boleh mengalahkan persyaratan. ”Parpol atau gabungan parpol hanyalah ’kendaraan’ atau ’tempat pemberangkatan’ (embarkasi) bagi calon yang seharusnya tidak mutlak dipakai atau dilalui,” ujarnya.
Maruarar dan Akil berpendapat, ketentuan Pasal 1 Angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden/Wapres merupakan conditionally unconstitutional. Pasal itu tak konstitusional kalau ditafsirkan menutup jalur pencalonan dari perorangan selain pengusulan parpol.
Namun, keduanya sependapat, jika hal itu diputus MK, putusan itu membutuhkan pengaturan tentang prosedur calon perseorangan sehingga tidak rasional jika diberlakukan pada Pemilu 2009. Mereka menyatakan, harus ada waktu penyesuaian sampai pemilu berikutnya, tahun 2014.
Fadjroel sangat mengapresiasi pendapat ketiga hakim konstitusi itu. Dengan berbekal pendapat itu, ia akan mendorong dilaksanakannya perubahan kelima UUD 1945.
Tidak demokratis
Secara terpisah, guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Bachtiar Effendi, di Jakarta, Selasa, menilai, putusan MK yang menolak uji materi terhadap UU No 42/2008 itu tidak demokratis, tetapi tepat waktu dan terbaik untuk saat ini. Pasalnya, setiap warga negara pada prinsipnya tidak boleh dihalangi untuk ikut memperebutkan jabatan publik sekalipun hambatan itu dilakukan melalui UU.
”Namun, karena waktu pelaksanaan pemilu presiden sangat dekat, tak fair rasanya jika calon independen yang akan ikut harus mengumpulkan dukungan pada waktu yang singkat,” ujarnya.
Namun, Bachtiar juga mengingatkan, jika calon independen diperbolehkan, harus ada ketentuan yang mengatur agar capres itu mempunyai dukungan yang sama besar dengan capres dari parpol. ”Repot juga jika semua orang yang merasa mampu jadi presiden bisa mencalonkan diri tanpa ada ketentuan besaran dukungan minimal,” ujarnya.
Bachtiar berharap, setelah pemilu legislatif dan presiden tahun ini, Indonesia perlu melakukan perubahan UUD 1945 agar setiap warga negara dimungkinkan merebut jabatan publik, termasuk menjadi presiden.
Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto juga menghormati putusan itu. Hanura siap bekerja keras dan berkoalisi dengan partai lain setelah pemilu legislatif.
Anggota DPR dari Partai Golkar, Yuddy Chrisnandi, mengaku sudah menduga putusan MK akan seperti itu karena UUD memang mengharuskan capres/cawapres melalui parpol. Secara teknis, keterlibatan capres independen tak mungkin dilakukan dalam waktu sangat dekat ini.
Yuddy juga sependapat, gerakan prodemokrasi perlu menghimpun dukungan rakyat seluas- luasnya untuk mengamandemen UUD 1945 sehingga capres independen bisa tampil pada Pemilu Presiden 2014.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta menyatakan, keputusan MK yang menolak permohonan pengajuan capres independen itu sudah sejalan dengan konstitusi. ”Memang itulah semangat UUD 1945 karena sistem pemerintahan kita sistem presidensial. Namun, karena banyak kewenangan presiden yang butuh dukungan DPR, pasangan calon presiden dan wapres harus memiliki minimal dukungan awal dalam pemilu,” ujar Andi, Selasa di Jakarta.
Menurut Andi, jika capres dan cawapres independen disetujui MK, UUD 1945 sebaiknya diubah terlebih dahulu. ”Saat pembahasan amandemen UUD 1945, sebenarnya usulan capres dan cawapres independen sudah diusulkan dan dibicarakan. Namun, usulan itu ditolak. Alasannya, sistem politik kita bukan individual,” katanya.
Andi juga berkeyakinan, putusan MK terkait syarat pencalonan presiden/wapres, Rabu ini, tidak berbeda dengan keputusan soal UU. (ANA/HAR/SUT/DWA/MAM)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/17/23485553/perseorangan.tak.bisa.jadi.calon.presiden
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Preface

Welcome to e-Law Corner

The weblog focused on
Law and Constitution,
We'll Let's share about it,
Happy reading...
Regards,

e-Law Corner Team

CC Recent Decision

Categories

2009 (2) Agraria (1) Akreditasi (1) Articles (1) Capres (1) Demokrasi (1) demokratis (1) DPT (2) Hijrah (1) Hukum Acara (1) Implementasi (1) Independen (1) Indonesia (1) Jurnal (1) Kapitalis (1) Konstitusi (2) KPU (1) KTP (1) Law (2) Legal (7) Lembaga (1) LIPI (1) Masif (1) MK (12) Negara (1) News (2) Nomor Urut (1) Panwaslukada (1) Partai (1) Paspor (1) Pelanggaran (1) Pembubaran (1) Pemilu (2) Pemilukada (2) Penafsiran (1) Peneliti (1) PHPU (2) Pileg (1) Pilpres (1) PMK (2) Politik (2) Politik Hukum (1) presidential (1) Probono (1) Putusan (1) Resensi (2) Review (7) Sistematis (1) Suara (1) Symposium (1) Tekstual (1) Terbanyak (1) Terstruktur (1) threshold (1) Turki (1)

Archives