Let's share about Law...

18 Februari 2009

MK Ingatkan KPU Soal Pemberlakuan Nomor Urut Caleg

Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana keluarkan aturan tentang mekanisme nomor urut dalam menentukan calon anggota legislatif terpilih. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan keberlakuan Pasal 214 UU Pemilu yang mengatur tentang nomor urut tersebut. Oleh karenanya, Rabu (18/2), Ketua MK Moh. Mahfud MD, dalam konferensi pers, mengingatkan KPU supaya mematuhi putusan MK. Berikut ini keterangan lengkapnya.
Keterangan Pers MK tanggal 18-2-2009
1. Sebagai bentuk tanggungjawab atas kondisivitas situasi nasional dengan ini MK ingin menyampaikan respons atas persoalan “suara terbanyak” yang akhir-akhir menjadi wacana dan menimbulkan kebingungan bahkan memancing persoalan politis yang kurang sehat bagi keselamatan dan kelancaran pemilu.

2. Media massa hari ini (18/2/2009) melansir berita bahwa KPU akan segera mengeluarkan peraturan KPU tentang suara terbanyak sebagai tindak lanjut dari putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 jika pemerintah tidak mengeluarkan Perppu. Salah satu alternatifnya KPU akan memberlakukan kembali pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 yang telah dibatalkan oleh MK.
3. Harap diingat, menurut konstitusi, putusan MK bersifat final dan mengikat sebagai tafsir konstitusi. Putusan judicial review MK adalah putusan negative legislator yang kekuatannya sama dengan UU tetapi dalam bentuk peniadaan UU atau isi UU. Ini tak bisa dilanggar oleh lembaga negara yang manapun.
4. Jika alasannya, putusan MK perlu Perppu atau revisi UU lebih dulu maka baik berdasar teori, konstitusi maupun yang berlaku selama ini maka alasan tersebut sama sekali tidak benar. Putusan MK yang meniadakan isi UU tanpa menimbulkan kekosongan hukum langsung berlaku secara self executing. Yang perlu Perppu atau revisi UU hanyalah yang menimbulkan kekosongn hukum untuk materi muatan UU, bukan yang menyangkut teknis-pelaksanaannya. Yang memerlukan revisi UU atau Perppu misalnya pembatalan atas isi UU KY, pembalatan atas isi UU KPK, dan pembatalan atas isi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu banyak yang tak perlu Perppu atau revisi UU, misalnya, Pembatalan atas pemberlakuan asas rektoaktif dalam tindak pidana terorisme, pembatalan pemasuangan hak pilih bagi yang terlibat PKI, dan pembatalan atas tidak adanya keharusan calon anggota DPD untuk bertempat tinggal daerah pemilihannya. Mengapa dalam kasus persyaratan domisili calon anggota DPD KPU langsung melaksanakan dan tak pernah mempersoalkan? Tapi mengapa dalam soal suara terbanyak menjadi begitu rumit? Jadi tak semua putusan MK itu perlu Perrpu atau revisi UU.
5. Alasan KPU yang mengutip sementara pendapat bahwa putusan pengadilan (termasuk MK) itu bersifat konkret dan tidak bisa menjadi dasar hukum sehingga tak bisa menjadi dasar hukum adalah keliru, sebab putusan MK harus dibedakan dari dari putusan pengadilan biasa. MK memperoleh kewenangan langsung yang eksplisit dan limitatif dari pasal 7B dan pasal 24C UUD 1945 sedangkan pengadilan biasa jenis kewenangannya diperoleh melalui UU biasa. Dan sengketa yang ditangani MK adalah konflik norma yang sudah digariskan oleh UUD secara langsung. Menurut hukum putusan MK atas peniadaan isi UU langsung berlaku sejak diucapkan dalam siang pleno.
6. Di dalam UU No. 10 Tahun 2008 yang sebagian isinya dibatalkan MK itu sama sekali tidak ada materi tentang keharusan wanita masuk menjadi anggota DPR. Yang ada di dalam UU No. 10 Tahun 2008 itu hanya ketentuan bahwa “dalam setiap 3 caleg harus ada 1 caleg perempuan,” dan itu tidak dibatalkan oleh MK. Jika kemudian KPU mau menentukan bahwa “dalam setiap 3 caleg terpilih harus ada 1 perempuan” maka itu sudah di luar putusan MK karena sejak semuka memang tidak ada di dalam UU. Oleh sebab itu kalau akan menetapkan zipper system seperti itu memang harus dengan Perrpu atau revisi UU sebab hal itu akan membuat pengaturan baru yang sebelumnya tidak ada di dalam UU. KPU tak boleh mengatur itu, Peraturan KPU hanya melaksanakan UU termasuk pembatalan atas UU oleh MK. Pokoknya kalau ada materi baru yang seharusnya menjadi muatan UU, tak boleh diatur oleh KPU.
7. Saya sungguh menyayangkan ketika KPU mengaitkan putusan MK ini dengan masalah sumber hukum dan dasar hukum yang bagi ilmu hukum tak ada relevansinya. Sebab penjelasan KPU itu sama sekali tak menjelaskan apa pengertian sumber hukum dan dasar hukum, apa hubungan keduanya, dan kapan sumber hukum sekaligus menjadi dasar hukum.
8. Harus diingat bahwa jika KPU ceroboh dalam hal ini ada konsekuensi politik dan konsekuensi pidananya. Konsekuensi politik bisa ditetapkan oleh DPR dan Presiden, sedangkan konsekuensi pidana menyangkut ancaman hukuman penjara sebagaimana diatur di dalam pasal 309 ayat (3) (hukuman 12 s/d 24 bulan) yang didahului oleh pasal 257 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 yang mewajibkan KPU menindaklanjuti semua putusan pengadilan.
9. Dengan menyatakan ini MK tak ingin ikut ribut-ribut dalam keributan KPU, tetapi hanya ingin turut menyelamatkan pemilu. Semuanya terserah KPU saja.

sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2149
judul asli : MK Ingatkan KPU Soal Rencana Pemberlakuan Nomor Urut Caleg

Share:

KPU Siapkan Opsi Kembali ke Nomor Urut

Putusan MK dianggap keputusan final, tapi tidak mengikat.

JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyiapkan opsi kembali menggunakan Pasal 214 Undang-Undang No 10/2008 atau menetapkan caleg terpilih berdasarkan nomor urut. Langkah itu perlu dilakukan jika pemerintah tidak mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Anggota KPU, Andi Nurpati, mengatakan, KPU menyiapkan tiga opsi jika perppu tidak keluar dalam pekan ini. ''Tiga opsi itu adalah mengirimkan surat kepada pemerintah agar segera mengeluarkan perppu, mengeluarkan peraturan KPU (tentang penetapan caleg terpilih) dengan dasar putusan Mahkamah Agung, atau kembali menggunakan Pasal 214,'' kata Andi, Selasa (17/2).

Rencana mengeluarkan peraturan KPU tentang penetapan caleg terpilih, kata Andi, didasarkan pada putusan MK. ''Pakar hukum saja masih berbeda pendapat soal ini,'' katanya. KPU sebenarnya sudah mendapat lampu hijau dari Mahkamah Agung (MA) untuk menetapkan caleg terpilih melalui peraturan KPU.

Adapun opsi kembali ke Pasal 214 merupakan hasil dari pembahasan di pleno KPU. Meski MK telah membatalkan Pasal 214, hingga kini belum ada satu aturan pun yang mengatur hal-hal teknis untuk menetapkan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. ''Jika pekan ini tidak ada perppu, KPU harus mengambil sikap,'' tegas Andi.

Sikap tersebut harus diambil karena KPU sedang melakukan bimbingan teknis (bimtek) bagi KPU provinsi dan kabupaten/kota. ''Bimtek hanya akan efektif sampai awal Maret 2009. Karena, mulai 16 Maret 2009, mereka (KPU provinsi dan kabupaten/kota) akan disibukkan oleh kampanye terbuka,'' kata Andi.

KPU sudah melakukan bimtek seluruh Papua, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara pada 8-10 Februari 2009. Kemudian, pada 11-13 Februari 2009, dilaksanakan bimtek di Manado untuk wilayah Sulawesi Utara.''Tadi malam berlangsung di Riau untuk wilayah Sumatra II. Tiga hari kemudian berlangsung di Batam untuk Sumatra I serta terakhir Jawa dan Mataram (NTT, NTB, dan Bali),'' jelas dia.

Saran kembali ke Pasal 214 juga disampaikan oleh mantan wakil ketua KPU, Ramlan Surbakti, Selasa (17/2). Menurut dia, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang No 10/2008 harus diadopsi dalam bentuk undang-undang. ''Jika perppu tidak ada, KPU harus tetap menggunakan aturan lama, yaitu Pasal 214 UU No 10/2008,'' kata Ramlan.

Dijelaskannya, MK hanya membatalkan pasal, sedangkan peraturan teknisnya tetap harus dibuat dalam bentuk undang-undang. Menurut Ramlan, putusan MK itu final, tapi tidak mengikat. ''Dengan alasan itu, perlu ada undang-undang yang mengatur penetapan caleg terpilih,'' kata Ramlan.

Dijelaskannya, usulan kembali ke Pasal 214 sudah disampaikan ke KPU, tiga pekan lalu. ''Itu berdasarkan pengalaman saya ketika menjadi anggota KPU dalam menghadapi putusan MK tentang calon independen dalam pilkada,'' katanya. Jika belum ada undang-undang yang mengadopsi itu, lanjutnya, KPU tetap menggunakan aturan undang-undang lama.

Rapat lagi
Sementara itu, pemerintah dan Komisi II DPR masih sibuk melakukan rapat dalam menyelesaikan persoalan perppu. Rencananya, Selasa (17/2) malam, akan ada pertemuan yang melibatkan pemerintah, Komisi II DPR, KPU, dan Bawaslu. ''Pertemuan akan dilakukan di Hotel Sultan,'' ungkap sumber Republika.

Dalam pertemuan pertama, kata sumber tersebut, pemerintah menginginkan ada kepastian atas persoalan pengesahan pemberian tanda lebih dari satu kali. Sementara itu, KPU meminta penyelesaian terhadap masalah penetapan caleg terpilih dan pemutakhiran daftar pemilih tetap. Adapun sikap antarfraksi masih berbeda-beda. Ada yang mendukung segera dikeluarkannya perppu, tapi ada pula yang belum sepakat. ikh/dwo
http://www.republika.co.id/koran/0/32166/KPU_Siapkan_Opsi_Kembali_ke_Nomor_Urut
Share:

Persyaratan Pencalonan Presiden Demokratis

MK Tolak Batalkan UU No. 42/2008

Jakarta, kompas - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terkait syarat pengajuan calon presiden/wakil presiden oleh partai/gabungan partai dengan perolehan suara 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen perolehan suara sah nasional.
MK juga menyatakan, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) itu adalah kebijakan hukum (legal policy) pembentuk UU yang diberikan Pasal 6A Ayat 5 UUD 1945. Putusan itu dibacakan delapan hakim konstitusi di Jakarta, Rabu (18/2).
Permohonan uji materi itu diajukan Saurip Kadi serta tujuh partai politik, yakni Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Republika Nusantara, dan Partai Bulan Bintang. Hadir juga dalam sidang, calon presiden dari Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra, dan Sutiyoso yang diunggulkan Partai Indonesia Sejahtera

Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan, syarat 20 persen kursi dan 25 persen suara sah untuk pencalonan presiden dan wapres itu tidak berpotensi menyebabkan pemilu yang tidak demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. MK menyatakan tidak ada korelasi logis antarkeduanya.
Lagi pula, menurut MK, syarat itu dinilai sebagai bentuk dukungan awal. Dukungan sebenarnya ditentukan hasil pilpres.
Meski seandainya isi suatu UU dinilai buruk, seperti ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal pemilu, MK tak bisa membatalkannya. Sebab, yang dinilai buruk tak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy itu melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable (tidak dapat ditoleransi).
Tiga hakim konstitusi, yakni Maruarar Siahaan, Abdul Mukthie Fadjar, dan Akil Mochtar, mengajukan pendapat berbeda dengan putusan (dissenting opinion). Menurut mereka, konstitusi sebenarnya sangat jelas maksudnya dan tak memberi peluang bagi pembentuk UU untuk membuat kebijakan hukum dengan ”akal-akalan” yang terkontaminasi motif politik ad hoc menentukan presidential threshold atau ambang batas untuk pencalonan presiden.
Penolakan MK terhadap permohonan uji materi terhadap UU No 42/2008 ini adalah yang kedua kali. Selasa lalu MK juga menolak membatalkan pasal dalam UU ini, yang menyatakan calon presiden/wapres cuma diusulkan parpol atau gabungan parpol. Dengan begitu, calon perseorangan tak bisa maju sebagai calon presiden (Kompas, 18/2).
Pertanyakan keabsahan
Yusril, yang juga mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, mempertanyakan keabsahan putusan MK itu. Menurut dia, seharusnya putusan MK dilakukan sembilan hakim konstitusi atau tujuh hakim konstitusi jika dalam keadaan darurat.
”Hanya dalam keadaan luar biasa MK dapat bersidang dengan tujuh hakim. Itu pun harus dijelaskan luar biasanya apa,” kata Yusril. Putusan Rabu diambil delapan hakim sebab Jimly Asshiddiqie mengundurkan diri dan penggantinya, Haryono, belum dilantik.
Sutiyoso mengaku terkejut dengan putusan MK itu. Ia bingung dengan putusan MK sebab syarat pencalonan presiden itu sebenarnya tidak ada dalam UUD.
Dari Cilacap, Jawa Tengah, calon presiden dari Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia, Rizal Ramli, Rabu, menilai, syarat pencalonan presiden/wapres itu hanya akal-akalan parpol besar untuk mempertahankan kekuasaannya, dengan menghambat majunya calon presiden/wapres alternatif, baik dari parpol menengah maupun independen. Sistem itu jauh lebih buruk dibandingkan dengan sistem Pilpres 2004 yang terbukti memberikan kesempatan bagi setiap parpol mengajukan calon.
Sistem yang kuat
Sebaliknya, mantan Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Presiden Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta, Rabu, mengapresiasi putusan MK yang menolak pembatalan persyaratan pencalonan presiden/wapres itu. Semua pihak diharapkan bisa menerima putusan itu untuk menjamin pelaksanaan Pemilu 2009 yang lancar dan tetap berkualitas.
Menurut Ferry, persyaratan itu mesti dipahami sebagai upaya membangun sistem presidensial yang kuat. Sejak 2004, persentase perolehan suara atau kursi DPR menjadi persyaratan pengajuan calon presiden/wapres. Besaran persentase sejalan dengan prinsip kesinambungan membangun sistem yang mendasari pembahasan RUU. ”Soal besar atau kecil, itu pilihan,” katanya.
Secara terpisah, anggota Fraksi Partai Golkar DPR, Ade Komarudin, berpandangan, dengan putusan MK, pencalonan presiden dan wapres oleh partai atau gabungan partai tidak bisa diputuskan oleh pengurus pusat partai, melainkan oleh kader partai itu yang terpilih di DPR.
”Pencalonan presiden/wapres oleh pengurus partai sebenarnya mencederai proses pemilihan langsung oleh rakyat sebab pemimpin partai itu tak dipilih oleh rakyat,” ujar Ade. (ana/sut/jon/dik/mdn)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/19/00064798/persyaratan.pencalonan.presiden.demokratis
Share:

17 Februari 2009

Perseorangan Tak Bisa Jadi Calon Presiden

Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terkait calon presiden dari jalur perseorangan atau independen. MK menilai, dalam konstruksi yang dibangun dalam UUD 1945, pengusulan pasangan calon presiden merupakan hak konstitusional partai politik.
Dengan putusan itu, calon perseorangan tidak bisa dicalonkan sebagai presiden/wakil presiden. Mereka harus diusung gabungan parpol atau parpol yang memenuhi ketentuan undang-undang.
Terkait dengan putusan MK itu, seorang pemohon uji materi, Fadjroel Rachman, menyatakan akan mendorong perubahan kelima UUD 1945. Ia juga tak akan menghentikan kampanye dirinya sebagai capres independen.

Selasa (17/2), delapan hakim konstitusi membacakan putusan uji materi terhadap Undang- Undang Pemilu Presiden terkait capres independen. Putusan itu diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga hakim, yakni Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan Akil Mochtar. Mereka berpendapat MK semestinya membuka peluang capres dari jalur perseorangan.
Dalam pertimbangan, MK menyitir Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan calon presiden/wapres diajukan parpol atau gabungan parpol sebelum pemilu. Aturan itu tegas bermakna, hanya parpol atau gabungan parpol yang dapat mengusulkan pasangan calon presiden/wapres. Tak ada penafsiran lain.
Selain itu, wacana capres independen pernah muncul dalam pembicaraan perubahan UUD 1945, tetapi tidak disetujui MPR.
Jika Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 ditafsirkan lain dan lebih luas sehingga menampung capres dan cawapres perseorangan, menurut MK, itu adalah perubahan makna dari yang dimaksud MPR. Artinya, MK melakukan perubahan UUD 1945. Hal itu bertentangan dengan kewenangan MK.
Pendapat berbeda
Sebaliknya, Mukthie Fadjar menilai, siapa pun warga negara yang memenuhi ketentuan Pasal 6 Ayat 1 UUD 1945 harus mendapat akses yang sama untuk menjadi capres dan cawapres. Pasal itu menyebutkan persyaratan utama capres/cawapres, yakni warga negara Indonesia sejak kelahirannya, tak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas.
Menurut dia, Pasal 6A UUD 1945 hanya mengatur cara atau prosedur pencalonan. Prosedur semestinya tak boleh mengalahkan persyaratan. ”Parpol atau gabungan parpol hanyalah ’kendaraan’ atau ’tempat pemberangkatan’ (embarkasi) bagi calon yang seharusnya tidak mutlak dipakai atau dilalui,” ujarnya.
Maruarar dan Akil berpendapat, ketentuan Pasal 1 Angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden/Wapres merupakan conditionally unconstitutional. Pasal itu tak konstitusional kalau ditafsirkan menutup jalur pencalonan dari perorangan selain pengusulan parpol.
Namun, keduanya sependapat, jika hal itu diputus MK, putusan itu membutuhkan pengaturan tentang prosedur calon perseorangan sehingga tidak rasional jika diberlakukan pada Pemilu 2009. Mereka menyatakan, harus ada waktu penyesuaian sampai pemilu berikutnya, tahun 2014.
Fadjroel sangat mengapresiasi pendapat ketiga hakim konstitusi itu. Dengan berbekal pendapat itu, ia akan mendorong dilaksanakannya perubahan kelima UUD 1945.
Tidak demokratis
Secara terpisah, guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Bachtiar Effendi, di Jakarta, Selasa, menilai, putusan MK yang menolak uji materi terhadap UU No 42/2008 itu tidak demokratis, tetapi tepat waktu dan terbaik untuk saat ini. Pasalnya, setiap warga negara pada prinsipnya tidak boleh dihalangi untuk ikut memperebutkan jabatan publik sekalipun hambatan itu dilakukan melalui UU.
”Namun, karena waktu pelaksanaan pemilu presiden sangat dekat, tak fair rasanya jika calon independen yang akan ikut harus mengumpulkan dukungan pada waktu yang singkat,” ujarnya.
Namun, Bachtiar juga mengingatkan, jika calon independen diperbolehkan, harus ada ketentuan yang mengatur agar capres itu mempunyai dukungan yang sama besar dengan capres dari parpol. ”Repot juga jika semua orang yang merasa mampu jadi presiden bisa mencalonkan diri tanpa ada ketentuan besaran dukungan minimal,” ujarnya.
Bachtiar berharap, setelah pemilu legislatif dan presiden tahun ini, Indonesia perlu melakukan perubahan UUD 1945 agar setiap warga negara dimungkinkan merebut jabatan publik, termasuk menjadi presiden.
Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto juga menghormati putusan itu. Hanura siap bekerja keras dan berkoalisi dengan partai lain setelah pemilu legislatif.
Anggota DPR dari Partai Golkar, Yuddy Chrisnandi, mengaku sudah menduga putusan MK akan seperti itu karena UUD memang mengharuskan capres/cawapres melalui parpol. Secara teknis, keterlibatan capres independen tak mungkin dilakukan dalam waktu sangat dekat ini.
Yuddy juga sependapat, gerakan prodemokrasi perlu menghimpun dukungan rakyat seluas- luasnya untuk mengamandemen UUD 1945 sehingga capres independen bisa tampil pada Pemilu Presiden 2014.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta menyatakan, keputusan MK yang menolak permohonan pengajuan capres independen itu sudah sejalan dengan konstitusi. ”Memang itulah semangat UUD 1945 karena sistem pemerintahan kita sistem presidensial. Namun, karena banyak kewenangan presiden yang butuh dukungan DPR, pasangan calon presiden dan wapres harus memiliki minimal dukungan awal dalam pemilu,” ujar Andi, Selasa di Jakarta.
Menurut Andi, jika capres dan cawapres independen disetujui MK, UUD 1945 sebaiknya diubah terlebih dahulu. ”Saat pembahasan amandemen UUD 1945, sebenarnya usulan capres dan cawapres independen sudah diusulkan dan dibicarakan. Namun, usulan itu ditolak. Alasannya, sistem politik kita bukan individual,” katanya.
Andi juga berkeyakinan, putusan MK terkait syarat pencalonan presiden/wapres, Rabu ini, tidak berbeda dengan keputusan soal UU. (ANA/HAR/SUT/DWA/MAM)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/17/23485553/perseorangan.tak.bisa.jadi.calon.presiden
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Preface

Welcome to e-Law Corner

The weblog focused on
Law and Constitution,
We'll Let's share about it,
Happy reading...
Regards,

e-Law Corner Team

CC Recent Decision

Categories

2009 (2) Agraria (1) Akreditasi (1) Articles (1) Capres (1) Demokrasi (1) demokratis (1) DPT (2) Hijrah (1) Hukum Acara (1) Implementasi (1) Independen (1) Indonesia (1) Jurnal (1) Kapitalis (1) Konstitusi (2) KPU (1) KTP (1) Law (2) Legal (7) Lembaga (1) LIPI (1) Masif (1) MK (12) Negara (1) News (2) Nomor Urut (1) Panwaslukada (1) Partai (1) Paspor (1) Pelanggaran (1) Pembubaran (1) Pemilu (2) Pemilukada (2) Penafsiran (1) Peneliti (1) PHPU (2) Pileg (1) Pilpres (1) PMK (2) Politik (2) Politik Hukum (1) presidential (1) Probono (1) Putusan (1) Resensi (2) Review (7) Sistematis (1) Suara (1) Symposium (1) Tekstual (1) Terbanyak (1) Terstruktur (1) threshold (1) Turki (1)

Archives