MK Tolak Batalkan UU No. 42/2008
Jakarta, kompas - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terkait syarat pengajuan calon presiden/wakil presiden oleh partai/gabungan partai dengan perolehan suara 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen perolehan suara sah nasional.
MK juga menyatakan, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) itu adalah kebijakan hukum (legal policy) pembentuk UU yang diberikan Pasal 6A Ayat 5 UUD 1945. Putusan itu dibacakan delapan hakim konstitusi di Jakarta, Rabu (18/2).
Permohonan uji materi itu diajukan Saurip Kadi serta tujuh partai politik, yakni Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Republika Nusantara, dan Partai Bulan Bintang. Hadir juga dalam sidang, calon presiden dari Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra, dan Sutiyoso yang diunggulkan Partai Indonesia Sejahtera
Jakarta, kompas - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terkait syarat pengajuan calon presiden/wakil presiden oleh partai/gabungan partai dengan perolehan suara 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen perolehan suara sah nasional.
MK juga menyatakan, ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) itu adalah kebijakan hukum (legal policy) pembentuk UU yang diberikan Pasal 6A Ayat 5 UUD 1945. Putusan itu dibacakan delapan hakim konstitusi di Jakarta, Rabu (18/2).
Permohonan uji materi itu diajukan Saurip Kadi serta tujuh partai politik, yakni Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Demokrasi Pembaruan, Partai Indonesia Sejahtera, Partai Buruh, Partai Peduli Rakyat Nasional, Partai Republika Nusantara, dan Partai Bulan Bintang. Hadir juga dalam sidang, calon presiden dari Partai Bulan Bintang, Yusril Ihza Mahendra, dan Sutiyoso yang diunggulkan Partai Indonesia Sejahtera
Dalam pertimbangan hukumnya, MK menyatakan, syarat 20 persen kursi dan 25 persen suara sah untuk pencalonan presiden dan wapres itu tidak berpotensi menyebabkan pemilu yang tidak demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. MK menyatakan tidak ada korelasi logis antarkeduanya.
Lagi pula, menurut MK, syarat itu dinilai sebagai bentuk dukungan awal. Dukungan sebenarnya ditentukan hasil pilpres.
Meski seandainya isi suatu UU dinilai buruk, seperti ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal pemilu, MK tak bisa membatalkannya. Sebab, yang dinilai buruk tak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy itu melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable (tidak dapat ditoleransi).
Tiga hakim konstitusi, yakni Maruarar Siahaan, Abdul Mukthie Fadjar, dan Akil Mochtar, mengajukan pendapat berbeda dengan putusan (dissenting opinion). Menurut mereka, konstitusi sebenarnya sangat jelas maksudnya dan tak memberi peluang bagi pembentuk UU untuk membuat kebijakan hukum dengan ”akal-akalan” yang terkontaminasi motif politik ad hoc menentukan presidential threshold atau ambang batas untuk pencalonan presiden.
Penolakan MK terhadap permohonan uji materi terhadap UU No 42/2008 ini adalah yang kedua kali. Selasa lalu MK juga menolak membatalkan pasal dalam UU ini, yang menyatakan calon presiden/wapres cuma diusulkan parpol atau gabungan parpol. Dengan begitu, calon perseorangan tak bisa maju sebagai calon presiden (Kompas, 18/2).
Pertanyakan keabsahan
Yusril, yang juga mantan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, mempertanyakan keabsahan putusan MK itu. Menurut dia, seharusnya putusan MK dilakukan sembilan hakim konstitusi atau tujuh hakim konstitusi jika dalam keadaan darurat.
”Hanya dalam keadaan luar biasa MK dapat bersidang dengan tujuh hakim. Itu pun harus dijelaskan luar biasanya apa,” kata Yusril. Putusan Rabu diambil delapan hakim sebab Jimly Asshiddiqie mengundurkan diri dan penggantinya, Haryono, belum dilantik.
Sutiyoso mengaku terkejut dengan putusan MK itu. Ia bingung dengan putusan MK sebab syarat pencalonan presiden itu sebenarnya tidak ada dalam UUD.
Dari Cilacap, Jawa Tengah, calon presiden dari Partai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia, Rizal Ramli, Rabu, menilai, syarat pencalonan presiden/wapres itu hanya akal-akalan parpol besar untuk mempertahankan kekuasaannya, dengan menghambat majunya calon presiden/wapres alternatif, baik dari parpol menengah maupun independen. Sistem itu jauh lebih buruk dibandingkan dengan sistem Pilpres 2004 yang terbukti memberikan kesempatan bagi setiap parpol mengajukan calon.
Sistem yang kuat
Sebaliknya, mantan Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Presiden Ferry Mursyidan Baldan di Jakarta, Rabu, mengapresiasi putusan MK yang menolak pembatalan persyaratan pencalonan presiden/wapres itu. Semua pihak diharapkan bisa menerima putusan itu untuk menjamin pelaksanaan Pemilu 2009 yang lancar dan tetap berkualitas.
Menurut Ferry, persyaratan itu mesti dipahami sebagai upaya membangun sistem presidensial yang kuat. Sejak 2004, persentase perolehan suara atau kursi DPR menjadi persyaratan pengajuan calon presiden/wapres. Besaran persentase sejalan dengan prinsip kesinambungan membangun sistem yang mendasari pembahasan RUU. ”Soal besar atau kecil, itu pilihan,” katanya.
Secara terpisah, anggota Fraksi Partai Golkar DPR, Ade Komarudin, berpandangan, dengan putusan MK, pencalonan presiden dan wapres oleh partai atau gabungan partai tidak bisa diputuskan oleh pengurus pusat partai, melainkan oleh kader partai itu yang terpilih di DPR.
”Pencalonan presiden/wapres oleh pengurus partai sebenarnya mencederai proses pemilihan langsung oleh rakyat sebab pemimpin partai itu tak dipilih oleh rakyat,” ujar Ade. (ana/sut/jon/dik/mdn)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/19/00064798/persyaratan.pencalonan.presiden.demokratis
0 komentar:
Posting Komentar