Let's share about Law...

14 Desember 2010

Pro Bono Publico di tengah Elitisme Bantuan Hukum


Judul Buku : Probono Publico Hak Konstitusional Fakir Miskin Untuk
Memperoleh Bantuan Hukum
Penulis : Frans Hendra Winarta
Penerbit : Gramedia
Tebal : 240 halaman

There is no free lunch, tak ada makan siang gratis, begitulah ungkapan yang lazim kita dengar sehari-hari tatkala mendengar kata “bantuan” terlebih lagi bantuan hukum. Tapi benarkah itu demikian adanya? Apakah bantuan hukum itu benar-benar gratis dan siapa yang harus memberikan bantuan hukum? Pertanyaan tersebut terus mengemuka manakala bantuan hukum sulit didapat terutama bagi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di Indonesia, akses terhadap bantuan hukum (access to legal aid) bagi fakir miskin masih sulit dijangkau bahkan cenderung dikomersilkan.

Konstitusi dengan jelas mengamanatkan khususnya Pasal 27 UUD 1945 menyatakan “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal tersebut mengisyaratkan tidak ada adanya diskriminatif bagi setiap warga negara dalam mengakses hukum termasuk mendapatkan bantuan hukum. Hal tersebut juga menjadi konsekuensi dari konsep negara hukum yang juga diatur dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3). Pada dasarnya equality before the law harus disertai dan diimbangi dengan equal treatment (perlakuan yang sama).

Salah satu bentuk adanya persamaan perlakuan tersebut adalah pemberian bantuan hukum kepada fakir miskin, di mana tidak hanya orang yang mampu yang dapat memperoleh pembelaan dari advokat atau pembela umum tetapi juga fakir miskin dalam rangka memperoleh keadilan (access to justice). Seyogyanya bantuan ini hukum tersebut memang diberikan secara cuma-cuma tanpa adanya upaya untuk ‘mengeruk’ keuntungan apalagi mengeksploitasi pencari keadilan.

Mengupas sisi lain dari pro bono publico (bantuan hukum secara cuma-cuma) dalam konteks Indonesia, dimana konsep bantuan hukum sudah mengalami distorsi. Tidak sedikit organisasi yang menamakan diri lembaga bantuan hukum akan tetapi masih mengharuskan klien membayar dengan biaya tidak murah tidak terkecuali pada fakir miskin. Komersialisasi bantuan hukum bukanlah hal yang baru di tanah air. Dengan demikian konsepsi mengenai pro bono publica dalam pemberian bantuan hukum kembali dipertanyakan. Realitas ini pada gilirannya menafikan akses fakir miskin untuk mendapatkan bantuan hukum. Masyarakat, khususnya fakir miskin (kaum dhu’afa atau mustadafhin) juga sangat sulit memperoleh akses bantuan hukum yang jujur, kompeten dan terpercaya.

Jika menilik pada UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 22, Pasal 22 Ayat 1 berbunyi advokat wajib memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Mandat itu merupakan tugas profesi mulia advokat (officium nobile) yang seharusnya menjadi hak publik untuk mendapatkannya secara cuma-cuma. Akan tetapi di sisi lain pasal ini seakan mengaburkan dan mengalihkan tugas negara dalam menyediakan budget dan pekerja bantuan hukum.[]
Share:

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Preface

Welcome to e-Law Corner

The weblog focused on
Law and Constitution,
We'll Let's share about it,
Happy reading...
Regards,

e-Law Corner Team

CC Recent Decision

Categories

2009 (2) Agraria (1) Akreditasi (1) Articles (1) Capres (1) Demokrasi (1) demokratis (1) DPT (2) Hijrah (1) Hukum Acara (1) Implementasi (1) Independen (1) Indonesia (1) Jurnal (1) Kapitalis (1) Konstitusi (2) KPU (1) KTP (1) Law (2) Legal (7) Lembaga (1) LIPI (1) Masif (1) MK (12) Negara (1) News (2) Nomor Urut (1) Panwaslukada (1) Partai (1) Paspor (1) Pelanggaran (1) Pembubaran (1) Pemilu (2) Pemilukada (2) Penafsiran (1) Peneliti (1) PHPU (2) Pileg (1) Pilpres (1) PMK (2) Politik (2) Politik Hukum (1) presidential (1) Probono (1) Putusan (1) Resensi (2) Review (7) Sistematis (1) Suara (1) Symposium (1) Tekstual (1) Terbanyak (1) Terstruktur (1) threshold (1) Turki (1)

Archives