Let's share about Law...

2 Maret 2009

Konstitusi dengan Efisiensi yang Kebablasan

"Demokrasi ekonomi yang kita anut adalah demokrasi ekonomi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial dan bukan mendorong merajalelanya kaum kapitalis" (Soekarno)

Di Jalan Raya Serpong, Tangerang, Banten, dalam rentang jarak 2,6 kilometer terdapat tiga hipermarket, yaitu Carrefour, Giant, dan Hypermart. Berbagai kebutuhan, seperti sabun colek yang dihasilkan perusahaan multinasional Unilever hingga minuman ringan produksi Coca-Cola, perusahaan dari Amerika Serikat, dapat dengan mudah ditemui di ketiga toko itu.
Apa yang terlihat di Jalan Raya Serpong itu bukanlah hal yang ”menakjubkan”. Pemandangan serupa dengan mudah dapat ditemui di wilayah lain di Indonesia. Sebagian dari perusahaan multinasional yang produknya dijual di ketiga hipermarket itu bahkan sudah mulai beroperasi di Indonesia sejak awal Orde Baru.
Namun, belakangan ini kehadiran mereka mulai menggelisahkan sejumlah kalangan. Bukan hanya karena dinilai sudah mengancam aktivitas ekonomi rakyat, tetapi kegiatan mereka sepertinya juga mulai sulit dikendalikan pemerintah.
Hal ini, misalnya, terjadi ketika pertengahan tahun 2007 sejumlah pedagang Pasar Ciledug, Tangerang, menolak kehadiran Carrefour di wilayah mereka. Namun, dengan alasan sudah mengantongi izin, operasi perusahaan ritel dari Perancis itu tetap tidak terhindarkan.

Yang lebih menggelisahkan, kekayaan alam ini seperti dengan mudah diberikan kepada sejumlah perusahaan multinasional itu daripada perusahaan sendiri. Misalnya, saat Exxon dari Amerika Serikat dan bukan Pertamina yang dipilih untuk mengoperasikan kilang minyak di Blok Cepu di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Sejumlah aset strategis bangsa, seperti Indosat, bahkan ikut dijual kepada pihak asing.
Padahal, berbagai perusahaan multinasional itu mempunyai kemampuan untuk mengancam atau mengadu satu negara dengan negara lain. Caranya, mereka hanya akan datang dengan memilih negara yang memenuhi persyaratan yang mereka harapkan. Jika sebuah negara menerapkan upah buruh yang tinggi, syarat yang berat untuk pendirian pabrik, atau pajak yang tinggi, dipastikan mereka kabur, memindahkan investasinya ke negara lain.
Bagi Indonesia, pemindahan investasi merupakan mimpi buruk. Ini terlihat bagaimana paniknya sejumlah pihak ketika pertengahan tahun 2007 Nike Inc berencana, meski akhirnya dibatalkan, menghentikan order pembuatan sepatunya di dua pabrik di Tangerang, yaitu PT Nagasaki Parama Shoes Industry dan PT Hardaya Aneka Shoes Industry. Sebab, kebijakan itu dapat berarti hilangnya pekerjaan bagi 14.000 buruh kedua perusahaan itu.
Kemampuan perusahaan multinasional itu membuat elite pemerintahan akan lebih mengabdi kepada kepentingan mereka daripada rakyatnya sendiri. Ini, misalnya, terlihat dalam kasus pendirian Carrefour di Ciledug.
Eksploitasi negara maju
Johan Galtung, sosiolog dari Norwegia, mengatakan, keadaan seperti ini akhirnya membuat negara Dunia Ketiga tidak lebih sebagai lahan eksploitasi negara maju. Di negara Dunia Ketiga, hasil eksploitasi hanya dinikmati elite yang menjadi komprador atau bekerja sama dengan negara maju. Ini bisa dilihat dari lebarnya jurang antara mereka yang kaya dan miskin di Indonesia.
Karena itu, fenomena ini seperti merupakan pengingkaran terhadap harapan Soekarno yang disampaikan dalam pidatonya di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Ia mengatakan, demokrasi ekonomi yang kita anut adalah demokrasi ekonomi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial dan bukan mendorong merajalelanya kaum kapitalis.
Penambahan ayat dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu Ayat 4 dan Ayat 5, dinilai turut berperan dalam maraknya liberalisasi ekonomi di Indonesia belakangan ini.
Ayat 4 berbunyi, ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Ayat 5 berbunyi, ”Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”.
Oleh karena ada ketentuan efisiensi, bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya disebut sebagai faktor produksi yang hitungannya adalah untung rugi. Badan usaha milik negara (BUMN) juga tidak masalah jika dijual, asal untung. Logika itu amat berbeda dengan penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang sekarang dihapuskan, bumi, air, dan kekayaan alam itu merupakan sumber kesejahteraan rakyat.
Saat perubahan UUD 1945, ada tim ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menolak perubahan Pasal 33 UUD 1945. Mereka adalah Mubyarto dan Dawam Rahardjo. Alasannya, pasal itu merupakan cerminan prinsip kebersamaan, kegotongroyongan, dan kekeluargaan, sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945.
Atas berbagai masukan, isi Pasal 33 Ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945 memang tidak diubah, tetapi dilakukan penambahan terhadap Ayat 4 dan 5. Penambahan pada Ayat 4 didorong oleh keinginan untuk mengikis kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Penambahan juga dimaksudkan agar ada rumusan yang lebih luas dan dapat menjawab tantangan globalisasi.
Ayat 4 itu dimaksudkan untuk mempertegas apa yang disampaikan oleh pendiri bangsa ini dan memberi kejelasan dalam menerjemahkan Ayat 1, 2, dan 3. Kata ”efisiensi” dalam Ayat 4 itu dibutuhkan untuk mendorong percepatan produktivitas. Namun, kata itu diikuti dengan berkeadilan hingga harus dilakukan dengan adil, yang berarti setiap setiap warga negara dapat menikmati hasilnya sesuai dengan kemanusiaan dan darma baktinya.
Adapun prinsip kebersamaan dalam Ayat 4 menegaskan bahwa produksi dijalankan dan untuk semua. Dengan demikian, praktik persaingan bebas, monopoli, atau monopsoni jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Jika sekarang (sejumlah) BUMN dijual, apakah itu memang perintah UUD 1945? Atau peraturan di bawahnya?
Apakah berbagai masalah selama ini memang bermuara di UUD 1945 atau peraturan itu hanya dijadikan pelarian? Jangan-jangan, berbagai masalah itu justru disebabkan lemahnya kapasitas dan kapabilitas pelaksana UUD 1945.
M Hernowo
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/19/00172280/konstitusi.dengan.efisiensi.yang.kebablasan


Share:

Mahkamah Konstitusi dan Penafsiran Tekstual

"argumen putusan MK benar saat menyatakan bahwa jika Pasal 6-A ayat 2 UUD 1945 ditafsirkan lain sehingga memberi justifikasi konstitusional bagi Calon Presiden dan Wakil Presiden independen, akan menimbulkan makna yang berbeda dan berakibat MK melampaui kewenangannya"


Calon presiden dan wakil presiden dari jalur perseorangan (independen atau nonpartai) tidak akan tampil dalam pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2009 ini, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (17 Februari). Putusan tersebut didukung oleh lima hakim konstitusi, sementara tiga hakim konstitusi lainnya menyampaikan dissenting opinion.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) kali ini menunjukkan dominasi paradigma pendekatan tekstual (original intent) dalam menafsirkan konstitusi di kalangan mayoritas hakim konstitusi. Putusan ini mengusung semangat menegakkan konstitusi "secara murni dan konsekuen" (memakai frase yang dulu biasa digunakan oleh rezim Orde Baru).

Sejak proses pengujian perkara ini dimulai di majelis hakim MK, telah muncul pendapat bahwa diterima atau ditolaknya permohonan perkara ini sangat ditentukan oleh pendekatan yang digunakan oleh hakim-hakim konstitusi dalam menafsirkan konstitusi. Jika bersandar pada pendekatan tekstual, tidak sulit menerka bahwa putusan MK akan menolak perkara ini.

Sebab, Pasal 6-A ayat 2 UUD 1945 telah secara jelas menentukan bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Beberapa pasal di dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 yang digugat oleh pemohon pada prinsipnya merupakan penegasan atau derivasi ketentuan konstitusi tersebut. Pendekatan tekstual menutup rapat peluang justifikasi konstitusional bagi calon presiden dan wakil presiden independen.
Namun, jika menggunakan pendekatan kontekstual (progresif), celah konstitusional bagi calon independen tetap terbuka. Pendekatan ini memberikan keleluasaan bagi hakim-hakim konstitusi dalam menafsirkan konstitusi berdasarkan pertimbangan lebih luas dan terbuka serta sesuai dengan semangat zaman (zeitgeist). Dengan menggunakan pendekatan progresif, MK dapat menafsirkan berbeda sehingga memberi justifikasi konstitusional bagi calon presiden dan wakil presiden independen.
Dalam lingkup terbatas dan jangka pendek, penafsiran kontekstual memang mampu menelurkan putusan progresif. Tapi penafsiran seperti ini berpotensi memicu dampak negatif untuk lingkup yang lebih luas dan jangka panjang. Sedikitnya ada dua aspek terkait dengan ini.
Pertama, penafsiran kontekstual menggelincirkan MK menjadi lembaga kehakiman otoriter, karena MK memiliki cek kosong yang dapat ditulisnya sendiri. Atas nama penafsiran kontekstual, MK bebas menafsirkan konstitusi sesuai dengan keyakinannya meskipun bertolak belakang dengan yang tertulis di konstitusi. Ini merupakan praktek yang disebut oleh Jon Elster dan Stephen Holmes (1992) sebagai "backdoor constitutional amendment" (amendemen konstitusi melalui pintu belakang). Artinya, MK menyerobot kewenangan MPR sebagai pembuat UUD.
Dalam konteks ini, argumen putusan MK benar saat menyatakan bahwa jika Pasal 6-A ayat 2 UUD 1945 ditafsirkan lain sehingga memberi justifikasi konstitusional bagi calon presiden dan wakil presiden independen, akan menimbulkan makna yang berbeda dan berakibat MK melampaui kewenangannya. Masalahnya, apakah majelis hakim MK akan selalu konsisten menggunakan pendekatan tekstual dalam menafsirkan konstitusi? Jika jawabannya “tidak”, itu akan mempengaruhi kredibilitas MK. Akan muncul pertanyaan, mengapa untuk perkara ini majelis hakim konstitusi menggunakan pendekatan tekstual, sementara untuk perkara lain memakai pendekatan kontekstual.
Selain itu, penafsiran konstitusi yang lentur (arbitrary interpretation) mengisyaratkan bahwa kedudukan MK lebih tinggi (supreme) daripada konstitusi. Tidak ada perbedaan kedudukan antara konstitusi dan MK karena keduanya telah menjelma menjadi satu-kesatuan. Artinya, MK tidak dapat lagi disebut sebagai pengawal konstitusi, karena yang mengawal dan dikawal telah melebur menjadi satu. Padahal, dalam konteks prinsip supremasi konstitusi sebagaimana dikemukakan oleh Hans Kelsen (tokoh pencetus ide pembentukan Mahkamah Konstitusi di dunia), pengawal harus patuh dan berkedudukan lebih rendah daripada yang dikawal.
Manakala potret seperti itu tercipta, akan menyusul dampak negatif kedua, yaitu potensi konflik antara MK dan lembaga tinggi negara lain, terutama dengan MPR/DPR sebagai lembaga pembuat konstitusi dan undang-undang. Ini potensial terjadi karena MK, melalui palu putusannya, berkuasa menafikan produk hukum dari lembaga tinggi negara tersebut.
Jika penafian itu terhadap undang-undang, bagaimanapun DPR harus menerimanya karena MK berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang terhadap konstitusi. Tetapi, jika penafian itu terhadap UUD 1945, yang merupakan saka guru bagi semua lembaga tinggi negara, konflik antara MPR/DPR sangat potensial terjadi.
Ketidaknyamanan DPR terhadap MK yang melakukan pengujian undang-undang telah mencuat beberapa waktu lalu. Sejumlah anggota Komisi III DPR mengkritik MK karena melampaui batas kewenangannya. Beberapa putusan MK dinilai bersifat ultra-petitum dan menerabas rambu normatif yang digariskan UU MK. Dapat diduga, potensi konflik semakin terasah jika DPR berkeyakinan MK telah menjelma menjadi--meminjam istilah Carlos Santiago dalam The Constitution of Deliberative Democracy--"supremasi organ aristokratik".
Konflik antara MK dan lembaga tinggi negara lainnya cukup sering terjadi di negara-negara demokrasi baru. Levent Gönenç, dalam studinya, “Prospects for Constitutionalism in Post-Communist Countries”, mencatat bahwa di banyak negara pascakomunis, hakim konstitusi menjadi aktor sangat berkuasa, dan kemudian lembaga eksekutif dan legislatif meresponsnya dengan mencoba menekan MK. Akibatnya, terjadi pertarungan terus-menerus antara MK dan lembaga tinggi negara lainnya, kadang itu berpuncak pada pengekangan kekuasaan MK (2002: 255-6). Kasus seperti ini terjadi, misalnya, di Kazakhstan, Belarus, Romania, Bulgaria, Slovakia, dan Rusia. Tom Ginsburg, dalam bukunya Judicial Review in New Democracies: Constitutional Courts in Asian Cases (2003: 101), juga mencatat kecenderungan konflik seperti itu, karena MK bertindak tergesa-gesa ketika praktek demokrasi masih belia.
Penafsiran kontekstual bermanfaat sepanjang mampu menegasikan dua potensi dampak negatif di atas. Jika tidak, sebaiknya MK tetap berfokus pada penafsiran tekstual karena pendekatan ini relatif terukur. Putusan MK menolak calon independen memang merupakan kabar buruk bagi dinamika demokrasi serta penegakan hak konstitusional warga yang berbasis pada individu. Namun, dalam lingkup luas dan jangka panjang, putusan ini berkontribusi merawat praktek demokrasi konstitusional yang masih muda. Justifikasi konstitusional calon presiden dan wakil presiden independen seyogianya tidak ditempuh melalui pintu putusan Mahkamah Konstitusi, melainkan melalui pintu amendemen konstitusi di MPR. *

Ditulis oleh :
Munafrizal Manan, mahasiswa The University of Melbourne, Australia; sedang menulis tesis "Constitutionalism in a New Emerging Democracy: The Case of Indonesia"
sumber : http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2009/02/26/Opini/krn.20090226.157992.id.html
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Preface

Welcome to e-Law Corner

The weblog focused on
Law and Constitution,
We'll Let's share about it,
Happy reading...
Regards,

e-Law Corner Team

CC Recent Decision

Categories

2009 (2) Agraria (1) Akreditasi (1) Articles (1) Capres (1) Demokrasi (1) demokratis (1) DPT (2) Hijrah (1) Hukum Acara (1) Implementasi (1) Independen (1) Indonesia (1) Jurnal (1) Kapitalis (1) Konstitusi (2) KPU (1) KTP (1) Law (2) Legal (7) Lembaga (1) LIPI (1) Masif (1) MK (12) Negara (1) News (2) Nomor Urut (1) Panwaslukada (1) Partai (1) Paspor (1) Pelanggaran (1) Pembubaran (1) Pemilu (2) Pemilukada (2) Penafsiran (1) Peneliti (1) PHPU (2) Pileg (1) Pilpres (1) PMK (2) Politik (2) Politik Hukum (1) presidential (1) Probono (1) Putusan (1) Resensi (2) Review (7) Sistematis (1) Suara (1) Symposium (1) Tekstual (1) Terbanyak (1) Terstruktur (1) threshold (1) Turki (1)

Archives