Let's share about Law...

14 Maret 2013

Membedah Hukum Represif, Otonom dan Responsif

Philippe Nonet dan Philip Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar hukum dalam masyarakat, yaitu : (1) hukum sebagai pelayan kekuasaan represif. (2) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya, dan (3) hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Dasar dari hukum masyarakat ini diusulkannya sebagai upaya memperjelas berbagai keterkaitan yang sistematik tersebut dan untuk mengidentifikasi konfigurasi-konfigurasi khas di mana keterkaitan-keterkaitan itu terjadi. Kekuasaan represif dimaknai sebagai kekuasaan yang tidak memberikan perhatian kepada masyarakat. Segala bentuk penyelenggaran kekuasaan tidak dijalankan atas nama rakyat, bahkan mendelegitmasi eksistensi rakyat itu sendiri. Untuk memahami lebih dalam mengenai hukum represif, Nonet menjelaskannya dalam lima karakter sebagai berikut; Pertama, institusi hukum langsung dapat diakses oleh kekuatan politik, hukum diidentifikasikan sama dengan negara dan ditempatkan di bawah tujuan negara. Kedua, eksistensi sebuah otoritas merupakan hal yang sangat penting dalam administrasi hukum. Ketiga, bahwa lembaga-lembaga kontrol yang khusus seperti polisi, menjadi pusat-pusat kekuasaan yang independen, mereka terisolasi dari konteks sosial yang berfungsi memperlunak serta mampu menolak otoritas politik. Keempat, rezim dengan model demikian melembagakan keadilan berdasarkan kelas dengan cara konsolidasi melegitimasi pola-pola subsordinasi sosial. Kelima, bahwa hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan, moralisme hukum yang akan menang. Dalam konteks ekonomi kekuasaan, hukum represif menghendaki adanya tertib hukum dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Pengadilan dan aparat hukum adalah instrumen penguasa yang mudah diatur. Institusi hukum melayani negara. 2. Tujuan utama hukum adalah ketertiban umum 3. Institusi-institusi hukum mempunyai sedikit sumber daya lain selain kekuatan pemaksa negara. 4. Aturan hukum memberikan corak otoritas pada kekuasaan, tapi penggunaan aturan tersebut disesuaikan dengan kriteria kelayakan politik. Represi lahir karena miskinnya sumber daya politik. Secara umum potensi represi dibangkitkan ketika tugas yang urgen harus dihadapi di dalam kondisi kekuasaan yang memadai namun minim sumber daya. Di samping itu represi muncul karena jangkauan pemerintah yang berlebihan dan ketidakberdayaan negara untuk memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat. Implikasi dari adanya represifitas tersebut dapat pula dilihat dalam hubungan antara negara dengan badan-badan penegak hukum. Dalam praktik, badan-badan khusus dibentuk untuk menjaga ketertiban dan menegakkan kedaulatan. Ada tiga yang menjadi faktor yang menyebabkan produk hukum menjadi represif; 1. Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa yang tidak harus bergantung pada pada hak suara dari kelas bawah. 2. Hukum melembagakan ketergantungan. Dalam konteks ini kaum miskin dianggap sebagai beban negara yang bergantung pada lembaga-lembaga khusus. 3. Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial untuk melawan kondisi sosial kemasyaratan yang dianggap mengganggu ketertiban, misalnya kemiskinan yang berakibat pada munculnya ‘gelandangan’ dimana hal tersebut merupakan kejahatan dalam hukum. Dengan demikian, wujud hukum represif dapat dilihat dalam dua gambaran utama, pertama integrasi yang dekat antara hukum dan politik. Kedua, diskresi pejabat yang tidak terkontrol, hal ini merupakan upaya untuk mempermudah mempermainkan hukum. Bertitik tolak dari beberapa kelebihan dan kelemahan hukum represif, lahirlah hukum otonom yang lebih menekankan pada konsolidasi dan otonomi kelembagaan. Hukum varian ini identik dengan istilah “rule of law” dimana kondisi tersebut akan bangkit tatkala institusi-institusi hukum mendapat otoritas yang cukup independen untuk memaksakan standar pengendalian dalam kekuasaan pemerintahan. Untuk dapat lebih memahami hukum otonom, dapat dilihat dari karakternya sebagai berikut; 1. Hukum terpisah dari politik. Sistem hukum ini menyatakan kemandirian kekuasaan peradilan, dan membuat pemisahan yang tegas antara fungsi legislatif dan yudikatif. 2. Tertib hukum mendukung “model peraturan” (models of rules) 3. Prosedur adalah jantung hukum. Keteraturan dan keadilan merupakan tujuan dan kompetensi utama dan tertib hukum. 4. Ketaatan pada hukum dipahami sebagai kepatuhan yang sempurna terhadap peraturan-peraturan hukum konstitusif. Hal yang perlu dicatat bahwa peralihan dari hukum represif menuju hukum otonom adalah pencarian akan legitimasi. Setiap karakter hukum otonom dapat difahami sebagai legitimasi. Demikian pula halnya dengan pemisahan antara hukum dan politik, dimana hal tersebut merupakan strategi utama legitimasi. Dengan pola itu hukum otonom membawa legitimasi baik bagi dirinya maupun bagi tatanan politik. Selain karakter, hukum otonom juga memiliki sifat sebagai berikut; 1. Peraturan adalah sumber yang andal untuk melegitimasi kekuasaan 2. Pembatasan pada hakim, maka cakupan diskresinya menjadi sempit. Maka kekuasan yudikatif lebih mudah memberikan justifikasi. 3. Jumlah peraturan yang semakin meningkat berimbas pada munculnya kompleksitas dan konsistensi. 4. Orientasi pada peraturan cenderung membatasi tanggungjawab sistem hukum 5. Hukum otonom tetap konsisten pada upaya menjadikan hukum sebagai sarana kontrol sosial. Kompetensi utama hukum otonom adalah kapasitasnya untuk mengendalikan otoritas penguasa dan membatasi kewajiban-kewajiban warga negara. Dalam konteks jangka panjang, diperlukan adanya perubahan dalam tertib hukum untuk membangkitkan harapan-harapan bahwa hukum merespon secara fleksibel masalah dan berbagai tuntutan baru. 

Adalah Jerome Frank yang menyatakan bahwa realisme hukum adalah untuk membuat hukum menjadi lebih responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial. Demikian pula dengan sociological jurisprudence digunakan untuk memberikan pemahaman bagi institusi hukum agar lebih responsif mempertimbangkan fakta sosial dimana hukum berproses dan diaplikasikan. Hukum yang baik pada dasarnya harus menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekadar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan adil, mampu mengenali keinginan public serta memiliki komitmen bagi terwujudnya keadilan substantif. Ciri khas utama dari kelompok realis dan sosilogis adalah menerobos kebekuan dan kebuntuan pengetahuan hukum. Kondisi ini mendorong kearah prespektif yang lebih luas mengenai partisipasi hukum dan peranan hukum. Pada akhirnya aktivisme, keterbukaan dan komptensi kognitif bersatu menjadi landasan fundamental. Hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif dapat dipahami sebagai tiga respon terhadap dilema yang ada antara integritas dan keterbukaan. 

Ciri-ciri hukum represif adalah adaptasi pasif dan oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial dan politik. Hukum otonom merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang tidak sesuai aturan. Adapun hukum responsif berusaha mengatasi dua persoalan tersebut. Sebuah institusi yang responsif adalah tetap mempertahankan hal-hal yang esensial sembari tetap memperhatikan keberadaan kekuatan baru di dalam lingkungannya. Hukum responsif memperkuat cara-cara bagaimana keterbukaan dan integritas dapat saling menopang meski keduanya saling bertentangan. Dalam masa transisi dari otonomi menjadi responsif, tahapan yang paling kritis adalah generalisasi tujuan-tujuan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa ciri khas hukum responsif adalah pencarian terhadap nilai-nilai yang tersirat dalam peraturan dan kebijakan. Contoh yang paling aktual adalah Doktrin “due process” yang dimaknai sebagai doktrin konstitusional. Nilai-nilai tersebut mendorong pembentukan peraturan baru dan mengarahkan pada perluasan sistem “due process” yang selanjutnya menjadi latar institusional yang baru. Dengan demikian, meskipun potensi responsivitas dalam setiap tertib hukum yang modern, pemenuhan janji akan responsivitas tersebut bergantung pada konteks politik yang mendukung. Hukum responsive mensyaratkan suat masyarakat yang memiliki kapasitas politik untuk menyelesaikan berbagai ragam permasalahannya, menetapkan skala prioritas dan membuat komitmen yang diperlukan. 

Pada dasarnya hukum responsif bukanlah sebuah keajaiban dalam konteks keadilan. Untuk mewujudkan hukum yang responsif sangat bergantung pada langkah dan upaya serta sumber daya dalam komunitas politik. Sumbangan terbesar hukum responsif tak lain adalah menjadi fasilitator tujuan public serta membangkitkan semangat untuk menata kembali proses pemerintahan. Tanggapan Hukum represif mengingatkan kita akan gambaran teori Thomas Hobbes, John Austin dan Karl Max. Dimana hukum merupakan perintah dari yang berdaulat yang pada prinsipnya memiliki diskresi yang tidak terbatas. Hukum dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sedangakan hukum otonom adalah bentuk pemerintahan yang dilihat dan dikenal sebagai “rule of law” dalam teori yang dikemukakan oleh A.V. Dicey. Hukum yang otonom, karena ia berupaya untuk mengontrol dan mempersempit diskresi, menginginkan langgengnya isolasi jabatan. Dibawah kondisi kekuasaan yang berbelit-belit dan terintegrasi, resiko terjadinya represi akan berkurang dan persoalan hukum menjadi berkurang dalam membatasi pejabat daripada membuat mereka berkomitmen kepada kepentingan publik. Karena pembaruan terhadap fokus pada tujuan mungkin memerlukan perluasan diskresi. Hukum responsif lahir sebagai jalan tengah mengatasi persoalan mendasar pada 2 tipe hukum sebelumnya. Hukum yang lahir untuk memberikan respon terhadap berbagai persoalan yang tidak mampu diselesaikan oleh hukum represif dan otonom. 

 Dalam konteks Indonesia, hukum responsif telah menjadi semacam tolok ukur dalam setiap pergantian rezim atau lazim disebut masa transisi. Bahwa masuknya pemerintah kedalam pola kekuasaan yang bersifat menindas, melalui hukum, berhubungan erat dengan masalah kemiskinan sumber daya pada elite pemerintah. Penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas, terdapat pada tatanan politik tertentu. Hukum berkaitan erat dengan kekuasaan karena tata hukum senantiasa terikat pada status quo. Tata hukum tidak mungkin ada jika tidak terikat pada suatu tata tertentu yang menyebabkan hukum mengefektifkan kekuasaan. Penggunaan kekuasaan itu bisa melahirkan karakter hukum yang menindas maupun karaktek hukum otonom, tergantung pada tahap pembentukan tata politik masyarakat yang bersangkutan. 

Pada sisi strategi pembangunan hukum, Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia menyebutkan bahwa setidaknya terdapat dua macam strategi pembangunan hukum yang berpengaruh pada karakter produk hukum, yaitu pembangunan hukum ortodoks (sebagaimana dijelaskan oleh John Henry Marryman dalam bukunya The Civil Law Tradition) dan pembangunan hukum responsif. Pada strategi pembangunan hukum ortodoks peranan lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominan menentukan arah perkembangan hukum. Akan tetapi sebaliknya strategi pembangunan hukum responsive lebih bertumpu pada lembaga peradilan yang diikuti peran serta kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Demikian pula halnya produk hukum, kedua strategi tersebut memiliki produk hukum yang berbeda. Strategi pembangunan hukum ortodoks bersifat posivistis-instrumentalis. yaitu menjadi landasan yang kuat bagi pelaksanaan ideologi serta program negara. Dimana hukum dimaknai sebagai perwujudan nyata dari visi sosial pemegang kekuasaan negara. Adapun strategi pembangunan hukum responsif, akan menghasilkan hukum yang bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntunan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakatnya.
Share:

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Best bets for soccer today - Sports Toto
Today, we're https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ going to tell you a few key to checking into soccer betting apps. 토토사이트 of the most popular soccer betting options 바카라 and which casino-roll.com ones will 바카라 사이트

Diberdayakan oleh Blogger.

Preface

Welcome to e-Law Corner

The weblog focused on
Law and Constitution,
We'll Let's share about it,
Happy reading...
Regards,

e-Law Corner Team

CC Recent Decision

Categories

2009 (2) Agraria (1) Akreditasi (1) Articles (1) Capres (1) Demokrasi (1) demokratis (1) DPT (2) Hijrah (1) Hukum Acara (1) Implementasi (1) Independen (1) Indonesia (1) Jurnal (1) Kapitalis (1) Konstitusi (2) KPU (1) KTP (1) Law (2) Legal (7) Lembaga (1) LIPI (1) Masif (1) MK (12) Negara (1) News (2) Nomor Urut (1) Panwaslukada (1) Partai (1) Paspor (1) Pelanggaran (1) Pembubaran (1) Pemilu (2) Pemilukada (2) Penafsiran (1) Peneliti (1) PHPU (2) Pileg (1) Pilpres (1) PMK (2) Politik (2) Politik Hukum (1) presidential (1) Probono (1) Putusan (1) Resensi (2) Review (7) Sistematis (1) Suara (1) Symposium (1) Tekstual (1) Terbanyak (1) Terstruktur (1) threshold (1) Turki (1)

Archives