Let's share about Law...

21 Desember 2011

Pemilukada: Industrialisasi Politik dan Responsibilitas Mahkamah Konstitusi

Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilikada) yang diajukan Pemerintah kembali menempatkan Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi menjadi lembaga yang akan menangani sengketa hasil pemilihan umum Kepala Daerah. Beberapa pakar hukum tata negara mensinyalir rencana pemerintah itu merupakan reaksi atas keanehan-keanehan yang dilakukan MK dalam putusan-putusannya. Sementara itu sangat menarik pernyataan Romahurmuji wasekjen tentang problematika perpolitikan hari ini (Kompas 15 April) menurutnya telah terjadi industrialisasi parpol, kenyataan ini terlihat dari angaran kampanye resmi yang dilaporkan ke KPU, besaran belanja politik resmi berbanding lurus dengan perolehan suara parpol. Inilah konsekwensi demokrasi berbasis kapital, bukan ideologi. Politik hari ini bergantung pada uang, seorang bisa terpilih sebagai bupati atau anggota DPRD di semua tingkatan dengan memberi uang kepada pemilih.Jika ditarik benang merah dua pernyataan ini, akan muncul konklusi bahwa sengketa politik sengketa hasil pemilihan umum di berbagai tingkatan merupakan sengketa bisnis, sengketa angka-angka. Karena itu sengketa ini lebih pantas diperiksa murni di ranah hukum dipengadilan negeri dan berpuncak di Mahakamah Agung. Benarkah konklusi ini ? bisa benar bisa juga tidak, namun dua gejala yang tidak bersinggungan langsung ini patut mendapat perhatian sungguh-sungguh jika diletakkan dalam kerangka penyusunan UU Pemilukada kedepan. Utamanya untuk mendorong terciptanya demokrasi yang berdasarkan konstitusi dan menghormati kedaulatan hukum (nomokrasi).
Rezim pemilu
Pemilukada awalnya diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, aturan ini mengandung sejumlah kelemahan baik dari segi sistem maupun aturan teknisnya. Paradigma UU ini meletakkan pilkada sebagai “domain pemerintahan daerah” - bukan domain pemilihan umum - sehingga instrumen pelaksana (penyelenggara) dan peleksanaannya (peraturan pelaksanaan) mengalami bias pengaruh (intervensi) dari pemerintah. Hal ini jelas berpengaruh pada tingkat independensi penyelenggara dan penyelenggaraannya. Padahal prinsip independensi penyelengara merupakan faktor signifikan dalam pemilihan langsung.
Kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilukada adalah rezim pemilu. Putusan ini telah mendorong lahirnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang telah merevisi ketentuan penyelenggaraan pemilukada di dalam UU No. 32 Tahun 2004. UU No. 22 Tahun 2007 meletakkan pemilukada sebagai bagian dari rejim pemilu, sehingga penyelenggara ic Komisi Pemilihan Uumum di Daerah (KPUD) dengan independensinya bertanggung jawab menyelenggarakan pemilukada. Demikian juga dalam pembentukan Badan Pengawas Pemilu (atau Panitia Pengawas di tingkat lokal), UU ini juga mengatur pembentukan dan rincian tugasnya serta dijamin independensinya. Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 dituangkan dalam UU No. 14 Tahun 2008. Perubahan ini juga telah melakukan revisi subtansial terhadap penyelenggaraan pilkada khususnya dalam mengakomodasi hadirnya calon perseorangan (independen).

Industrialisasi Pemilukada
Meski telah jelas masuk dalam rezim pemilu yang berlandaskan pada prinsip-prinsip langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil, pelaksanaan pemilukada masih jauh dari sebuah bangunan demokrasi yang ideal. Dari berbagai penelitian, data Kementerian Dalam Negeri maupun dari identifikasi masalah-masalah yang muncul dalam pemeriksaan sengketa hasil pemilu (PHPU) di MK nampak tergambar memang industrialisasi politik menjadi sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan.
Beberapa masalah terkait pelaksanaan pemilukada antara lain, pertama: pemilukada menjadi salah satu penyebab banyaknya kepala daerah yang melakukan korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri Tahun 2011 menyatakan ada 17 Gubernur, 135 Bupati dan Walikota yang tersangkut kasus korupsi. Demikian juga kredibilitas sang calon kepala daerah sejak awal sudah bermasalah, Ijazah palsu, pernah dihukum atau perbuatan tercela lainnya muncul sebagai faktor kegagalan pemilukada. Oleh karena itu partai politik sangat bertanggung jawab dalam seleksi pemilihan calon kepala daerah sebelum akhirnya calon tersebut dipilih oleh masyarakat.
Kedua, kualitas pelaksanaan pemilukada selama ini memang masih banyak kekurangan dan harus diperbaiki. Berbagai permasalahan tersebut diantaranya adalah; tiadanya pembatasan dana kampanye dan pembatasan ruang publik yang digunakan untuk kampanye. Karena tidak ada pembatasan, maka semua calon kepala daerah akan berlomba-lomba memaksimalkan modal kampanyenya untuk membuat atribut kampanye dan dipasang di berbagai ruang publik. Demikian juga modal yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah menjadi sangat besar, selain untuk membeli “perahu partai pendukung”, membiayai kampanye juga biaya membeli suara pemilih (money politics).
Persoalan teknis lain yang berdampak luar biasa adalah masalah kesemrawutan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Masalah DPT bukanlah persoalan sepele karena kesemrawutan DPT telah menghilangkan banyak hak pilih warga negara yang notabene merupakan hak asasinya. Selain itu kesemrawutan DPT bisa juga dimanfaatkan untuk tujuan politis pemenangan salah satu calon yang berarti mencederai proses pemilihan yang harusnya berlangsung secara jujur.
Ketiga, persoalan pemilukada ini juga semakin diperkeruh oleh keterbatasan kualitas dan kapasitas dari anggota KPUD. Di beberapa kasus terjadi, pentahapan pemilukada berlangsung kacau balau, dan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh KPUD yang berbuntut berbagai gugatan. Dalam beberapa perkara PHPU di MK terungkap KPUD dengan sengaja mengabaikan perintah putusan peradilan, bahkan sengaja mencari-cari alasan agar para bakal calon pasangan peserta menjadi tidak punya waktu untuk mendaftar sebagai peserta Pemilukada. Adanya indikasi KPUD melakukan pemihakan bertindak diskriminatif menghalang-terpenuhinya syarat bakal pasangan calon atau sebaliknya berupaya untuk meloloskan bakal pasangan calon yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilukada dengan motif untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Ini sebuah modus yang sangat membahayakan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Responsibilitas MK
Peran Mahkamah Konstitusi mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan pilkada pada titik tertentu perlu diacungi jempol. Hukum acara (Peraturan MK No. 15/PMK/2008) telah menentukan secara terbatas objek pemeriksaan PHPU adalah “hasil perhitungan suara” pemilukada yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua dan/atau terpilihnya pasangan Calon sebagai kepala daerah & wakil kepala daerah. Ini berarti hukum acara telah menentukan secara rigid bahwa objek perselisihan hasil pemilukada adalah berupa angka-angka perhitungan suara. Namun MK dengan putusan-putusannya telah merespon hampir semua permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pemilukada melampauai rigiditas hukum acara dengan cara penafsiran ekstensif.
Putusan MK No. 57/PHPU.D/2008 tentang PHPH Kabupaten Bengkulu Selatan misalnya, MK membatalkan hasil perhitungan pemilukada dengan argumen: meskipun secara legal formal MK tidak berwenang menguji adanya pelanggaran (syarat, kelalaian/ kesengajaan meloloskan syarat, itikad buruk menyembunyikan keadaan pernah dihukum, perolehan angka dengan misrepresentation) dalam pemilukada, namun keadaan yang terjadi telah melanggar konstitusi yang tidak dapat ditolerir (intolerable condition).
Sebagai “pengawal konstitusi” MK memilih konstitusi dan mengesampingkan norma UU, ketika semua lembaga pemangku kewenangan (KPUD/Kepolisian/Panwas/Pengadilan) membiarkan keadaan menuju tidak tercapainya konsolidasi demokrasi, maka untuk menjaga jangan sampai ada ketentuan konstitusi dilanggar, berdasarkan “prinsip proporsionalitas” MK wajib meluruskan keadaan supaya pemilikada serasi dengan asas demokrasi. Ketidak jujuran, kebohongan publik dan pelecehan hukum dan pemerintahan oleh Bupati terpilih, setidaknya telah mencederai UUD 45.
Demikian juga soal pemohon yang berhak mengajukan keberatan (legalstanding), rigiditas hukum acara tidak menghalanginya mewujudkan keadilan dalam masyarakat. MK melakukan banyak terobosan. Ketentuan legal standing yang membatasi pemohon hanya kepada pasangan calon yang terdaftar mengikuti pemilukada saja telah ditafsir secara ekstensif, kini MK memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada bakal pasangan calon yangg telah resmi mendaftarkan diri namun tidak ditetapkan oleh KPUD (putusan MK antara lain No. 196, 197, 198/PHPU.D-VIII/2010 ( PHPU Papua) dan No.31/PHPU.D-III/2011 (Tapanuli Tengah).
Ekstensifikasi legal standing ini dirumuskan MK karena adanya alasan-alasan yang dapat melanggar norma-norma konstitusi, kedaulatan hukum (nomokrasi) , dan kedaulatan rakyat (demokrasi), yaitu pelangaran hak untuk menjadi pasangan calon (right to be candidate), pengabaian perintah putusan pengadilan dan sikap keberpihakan KPUD pada pasangan calon tertentu dengan sengaja menghalang-halangi terpenuhinya persyaratan calon lainnya.
the dreaming court
Dengan terobosan-terobosannya MK telah melenturkan rigiditas hukum acara. Putusan-putusannya telah berperan dengan sangat baik sebagai penjaga konstitusi. Beragam putusan yang progresif telah lahir dari tangan institusi hukum yang dilahirkan dari rahim reformasi ini. Melalui putusannya MK telah merubah paradigma, cara berpikir dan bertindak dalam bernegara, bermasyarakat dengan selalu mendasarkan pada konstitusi, prinsip-prinsip demokrasi, nomokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Bagaimana dengan pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (MA) yang dalam RUU Pemilukada oleh pemerintah diusulkan menggantikan peran MK. Adalah realitas meski telah ada sistem pembaruan dan renumerasi di MA dan jajarannya, namun masalah-masalah penumpukan perkara, mafia hukum, belum transparan, lambannya birokrasi peradilan masih sering kita rasakan dan saksikan dalam keseharian. Secara normatif telah ada pembaruan namun dilevel pelaksanaan masih konvensional. Masih menjadi pekerjaan rumah para pimpinan MA untuk berbenah diri.
Adalah tidak bijaksana menyerahkan kembali kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada Mahkamah Agung (MA) dan jajarannya, karena itu merupakan pilihan yang mundur (setback). Selain telah adanya penegasan aturan yang menempatkan pemilukada sebagai rezim pemilihan umum yang menjadi ranah MK, praktek penegakan hukum membuktikan MA dan jajarannya belum siap dan masih harus berbenah diri.
Kita membutuhkan peradilan modern yang dengan konsisten menerapkan prinsip-prinsip transparansi, independent dan imparsial sebagai peradilan impian (the dreaming court) bagi setiap pencari keadilan karena peradilan selalu digelar dengan cepat dan sederhana bahkan tidak hanya murah, tetapi gratis pula. Dan itu telah dilakukan oleh MK !
[Ditulis oleh Abdul Fickar Hadjar]
Sumber: http://politik.kompasiana.com/2011/04/29/pemilukada-industrialisasi-politik-dan-responsibilitas-mahkamah-konstitusi/
Share:

Mengapa Peneliti Indonesia Pilih Hijrah ke Luar Negeri?

Lemahnya perhatian pemerintah dan kurangnya lembaga donor yang bersedia menyokong seorang peneliti untuk melakukan dan mengembangkan penelitian adalah penyebab utama larinya para peneliti Indonesia ke luar negeri. Hal itu diungkapkan Riza Muhida, dosen peneliti Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya, saat ditemui Kompas.com dalam kompetisi robot internasional, di Universitas Tarumanagara, Jakarta, pekan lalu.

Riza, yang pernah tercatat sebagai dosen peneliti di International Islamic University Malaysia, mengatakan, bagaimana pun juga, seorang peneliti tetap harus memenuhi kebutuhan di luar penelitiannya. Kebutuhan itu, paparnya, menyangkut kebutuhan finansial untuk keluarga. Ketika hal itu tidak didapatkan di Indonesia, maka saat itulah para peneliti hijrah ke negara lain yang dianggap lebih baik memberikan apresiasi kepada mereka.
“Saya rasa wajar jika banyak peneliti Indonesia yang melirik luar negeri. Alasannya banyak, pertama alasan ekonomi, dan kedua adalah dukungan untuk melakukan penelitian,” kata Riza, yang kini menjabat Wakil Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4).




Ia menambahkan, seorang peneliti sejatinya memerlukan sokongan dana yang cukup untuk melakukan dan mengembangkan penelitiannya. Selain itu, diperlukan pula tempat untuk berkonsentrasi, asupan jurnal-jurnal ilmiah, buku, dan menambah wawasan melalui konferensi internasional.

“Di luar negeri itu mudah didapatkan. Tetapi, di Indonesia semua menjadi sulit. Banyak yang mengajukan, tapi yang menyediakan sedikit,” ujarnya.

Riza, yang pernah menjabat Ketua Indonesian Lecturers and Researchers Association in Malaysia (ILRAM), sebuah organisasi yang ditujukan membuka forum komunikasi antar ilmuwan Indonesia dan Malaysia ini membandingkan, kesejahteraan peneliti Indonesia dengan peneliti yang ada di Malaysia. Menurutnya, saat menjadi dosen peneliti di Malaysia, ia mendapatkan gaji 8000 Ringgit (sekitar lebih dari Rp 20 juta) per bulan. Selain itu, ia juga mendapatkan berbagai tunjangan seperti tempat tinggal, kesehatan, dan tunjangan pendidikan anak. Sementara di Indonesia, kata dia, meski mendapatkan penghasilan yang setara, tetapi tidak ada tunjangan lain di luar gaji.





Ia menyayangkan lemahnya perhatian pemerintah terhadap para peneliti. Menurutnya, banyak peneliti asal Indonesia yang memiliki daya saing kuat dan prestasi di kancah internasional.

“Banyak yang sukses sebagai dosen peneliti. Di Inggris ada peneliti kita yang menjadi dosen peneliti teladan tingkat universitas, ada juga peneliti Indonesia yang menjadi peneliti muda terbaik di tingkat Asia Pasifik, dan ada banyak ilmuwan kita diluar negeri yang memperoleh penghargaan atas dedikasinya,” ungkapnya.

Riza berharap, pemerintah dapat lebih mendayagunakan para peneliti, dengan melibatkan para peneliti untuk mengelola sumber daya alam.

“Bagaimana menggali kekayaan alam agar bisa lebih menghasilkan dengan potensi dan peran peneliti yang sudah ada. Tapi tentunya harus ada promosi yang jelas, dan dibuka kesempatan kita untuk mengembangkan diri,” kata Riza. (KOMPAS.com )
Share:

9 November 2011

Dualisme Panwaslukada dan Implementasi Putusan MK

M. Mahrus Ali*

Pemilukada adalah subsistem dari sistem Pemilu yang demokratis, meski pemilihan yang dilakukan rakyat/masyarakat daerah mempunyai arti tersendiri bagi demokratisasi di daerah. Peletakan dasar penyelenggaraan Pemilukada pertama-tama ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.

Selanjutnya melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,dalam Pasal 24 ayat (5) ditentukan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Demikian pula Pasal 56 UU a quo menentukan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.

Untuk menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa, “Pemilihan umum di diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Dalam pandangan Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pengertian ini lebih memenuhi ketentuan UUD 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan umum yang bersifat mandiri untuk dapat terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil. Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip luber dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Dengan demikian, Mahkamah berpandangan bahwa Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 UU 22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu menjadi nyata dan jelas.
Dalam rangka mengawal terwujudnya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil diperlukan adanya suatu pengawasan agar pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan (vide Penjelasan Umum UU 22/2007). Namun dalam kenyataannya, baik UU 42/2008 junctis UU 10/2008 dan UU 22/2007 tidak atau kurang memberikan penguatan (empowering) dan kemandirian kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) beserta jajarannya, untuk melakukan pengawasan baik terhadap Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilukada, sehingga pengawasan Pemilu tidak berjalan efektif dan hanya sekedar formalitas.
Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen akan mengancam prinsip-prinsip luber-jurdil dalam pelaksanaan pemilu. Ketentuan mengenai rekrutmen anggota Panwas yang harus diusulkan oleh KPU Provinsi untuk Panwas Provinsi serta KPU Kabupaten/Kota untuk Panwas Kabupaten/Kota menurut Mahkamah bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan pencalonan dan pengangkatan anggota Panwaslu cukup dilakukan oleh satu lembaga saja, yaitu Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atau Panwaslu.
Meskipun Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22 tahun 2007 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun Mahkamah tidak serta merta menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat supaya tidak menimbulkan kekosongan hukum (rechtsvacuum).


Kemandirian Panwaslukada Dalam Tafsir MK
Sebagai sebuah legal policy, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, membentuk dua institusi eksplisit. Misalnya, disebut dalam Pasal 1, yaitu KPU sebagai Penyelenggara Pemilu, kemudian ada institusi lain yang disebut sebagai Bawaslu atau Badan Pengawas Pemilu yang tugasnya mengawasi penyelenggara pemilihan umum. Kedua institusi ini tidak boleh dikurangi independensinya satu sama lain.
Terdapat tiga kategori pokok untuk menilai sebuah institusi independen atau tidak, yaitu (i) independensi dari institusi itu sendiri; (ii) independensi dari person atau orang yang mengisi institusi tersebut; (iii) independensi dari sumber keuangan. Mengenai independensi dari orang atau person yang mengisi institusi, hal itu sangat ditentukan dari proses seleksi. Sehingga untuk institusi yang disebut independen, dalam proses pengisiannya selalu melibatkan setidaknya dua institusi. Institusi yang dilibatkan harus institusi yang levelnya sama, yang satu terhadap yang lain dapat menjalankan fungsi check and balances. Pada Pengisian Bawaslu terdapat proses pengisian yang dilakukan oleh DPRD dan KPU, dua institusi tersebut tidak sama levelnya untuk melakukan fungsi check and balances. Berbeda misalnya dengan rekrutmen KPU yang dijalankan oleh eksekutif dalam hal ini Pemerintah, dengan DPR, dua institusi ini memiliki fungsi saling kontrol.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004, panitia pengawas Pilkada merupakan lembaga yang kurang menonjol di dalam pelaksanaan Pilkada. Tidak ada satu pasal khusus yang mengatur tentang panitia pangawas Pilkada. Lembaga pengawas Pilkada hanya disinggung sekilas dalam Pasal 57 ayat (3) dan ayat (4) tentang komposisi keanggotaan dan jumlah anggota Panwas Pilkada. Selain itu, terdapat pada Pasal 66 ayat 3 huruf (d) tentang tugas dan wewenang DPRD untuk membentuk panitia pangawas Pilkada.
Berbeda dengan UU No. 32 Tahun 2004, dalam UU No. 22 Tahun 2007 persoalan panitia pengawas Pilkada diatur secara khusus dan lebih terperinci dalam BAB IV tentang Pengawas Pemilu. Pasal 87 UU No. 22 Tahun 2007 yang mengatur tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Bawaslu menegaskan bahwa, (1) KPU membentuk Tim Seleksi calon anggota Bawaslu. (2) Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membantu KPU untuk menetapkan calon anggota Bawaslu yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5 (lima) orang yang berasal dari unsur akademisi, profesional, dan masyarakat yang memiliki integritas dan tidak menjadi anggota partai politik dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir. (4) Anggota Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpendidikan paling rendah S-1 dan berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun. (5) Anggota Tim Seleksi dilarang mencalonkan diri sebagai calon anggota Bawaslu. (6) Komposisi Tim Seleksi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang sekretaris merangkap anggota, dan anggota. (7) Pembentukan Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan KPU dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung 3 (tiga) bulan setelah terbentuknya KPU.
Dari aspek prosedur serta realita yang terjadi menegaskan, Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak independen dan atau tidak mempunyai kewenangan yang penuh untuk menyelenggarakan dan memilih calon-calon anggota panitia pengawas karena para calon dimaksud telah lebih dulu diseleksi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Keadaan demikian potensial melanggar asas mandiri yang menjadi salah satu prinsip penting dari badan dan/atau panitia pengawas Pemilu, selain melanggar asas jujur, adil, kepastian hukum, akuntabilitas dan profesionalitas. Akibat lebih lanjutnya, kualitas penyelenggaraan Pemilu dapat dicederai atau menjadi bermasalah. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan anggota panitia pengawas yang memiliki pengetahuan dan intergritas yang baik karena KPU dan jajarannya mempunyai intensi kuat untuk menyediakan calon yang berpihak pada kepentingannya sendiri. Pada titik inilah, pengawasan menjadi bermasalah karena potensial terjadi politisasi rekrutmen dimana rekrutmen dilakukan dengan mengabaikan check and balances system serta melanggar beberapa asas penyelenggara dan penyelenggaraan Pemilu.
Pada Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22/2007, calon anggota pengawas Pemilu diusulkan oleh KPU dan ditetapkan oleh Bawaslu. Menurut Mahkamah, mekanisme rekrutmen dalam ketentuan tersebut di samping akan mengakibatkan anggota-anggota pengawas pemilu menjadi tergantung pada KPU, sehingga kemandiriannya terganggu, juga sangat potensial mengakibatkan saling menghambat dalam penentuan anggota pengawas Pemilu antara Bawaslu atau Panwaslu dengan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. Hal ini mengakibatkan terjadinya calon yang diusulkan oleh KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota tidak ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas, atau sebaliknya KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota tidak mengajukan calon Panwas sehingga tidak ada anggota Panwas yang ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas.
Ketentuan yang demikian menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengganggu terselenggaranya pemilihan umum secara periodik yang luber dan jurdil sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh UUD 1945. Prosedur rekrutmen yang demikian tidak memenuhi sifat mandiri sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945, karena calon yang akan mengawasi justru diusulkan oleh lembaga yang akan diawasi dengan adanya perselisihan antara KPU dan Bawaslu tersebut, menyebabkan pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum,
Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota tidak dapat berjalan secara maksimal. Mahkamah berpandangan bahwa demi kemanfaatan dan efektivitas dari pelaksanaan Pemilukada tahun 2010 yang tahapannya sudah dimulai serta terciptanya kondisi yang kondusif di daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pemilukada, dan demi kepastian hukum yang adil serta terciptanya prinsip saling mengawasi dan mengimbangi agar Pemilukada berjalan sesuai dengan asas luber dan jurdil sesuai Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, maka 192 Panwas yang terdiri atas 7 Panwaslu Provinsi dan 185 Panwaslu Kabupaten/Kota harus dinyatakan sah dan dapat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing.
Sesuai Undang-Undang; terhadap komposisi Dewan Kehormatan yang dimohonkan oleh Pemohon, Mahkamah berpendapat bahwa jumlah dan komposisi Dewan Kehormatan adalah merupakan wilayah kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) dari DPR dan Pemerintah, yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum dan harus ditolak. Walaupun demikian, pada masa yang akan datang untuk menjamin kemandirian dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang luber dan jurdil oleh KPU dan Bawaslu, anggota Dewan Kehormatan harus diisi oleh anggota-anggota yang berasal dari KPU dan Bawaslu secara seimbang.
Dalam kerangka pemikiran ini, diperlukan hanya ada satu Dewan Kehormatan penyelenggara Pemilu baik untuk mengawasi perilaku anggota KPU dan anggota Bawaslu. Sehingga komposisi anggota Dewan Kehormatan baik untuk tingkat nasional maupun daerah harus terdiri atas perwakilan anggota KPU (KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota) serta Bawaslu (Bawaslu, Panwaslu Provinsi, atau Panwaslu Kabupaten/Kota) secara seimbang/sama jumlahnya dan ditambah satu orang dari pihak luar yang independen.


Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi
Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Putusan tersebut bersifat final, yang berarti putusan langsung memperoleh kekuatan tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh baik banding, kasasi atau peninjauan kembali. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan tersebut merubah hukum yang berlaku melalui undang-undang yang dinyatakan inkonstitusional, hanya merupakan pernyataan atau deklarasi belaka. Pelaksanaan putusan yang bersifat demikian telah berlangsung dengan sendirinya dan mengikat dengan pengucapan putusan dalam sidang terbuka untuk umum.
Putusan MK tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislator. Putusan MK yang sifatnya declaratoir demikian tidak membutuhkan satu aparat untuk melaksanakan putusan hakim MK. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 menyatakan bahwa putusan MK bersifat final yakni putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Konsep tersebut mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekusaaan kehakiman secara sederhana dan cepat sebagimana diuraikan dalam penjelasan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang secara utuh menjelaskan bahwa: Mahkamah Konstitusi dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat.
Putusan MK yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omes yang diartikan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang-undangan oleh hakim dinyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan perundang-undagan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang-undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang. Putusan MK memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap semua komponen bangsa termasuk obyek yang disengketakan.
Pada dasarnya putusan MK mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU yang telah diputus MK harus melaksanakan putusan itu. Namun demikian, mengingat norma dalam UU adalah satu kesatuan sistem ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Putusan yang langsung dapat dilaksanakan adalah putusan membatalkan norma tertentu yang tidak menganggu sistem norma yang ada dan tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut.
Bagir Manan pernah menyatakan bahwa salah satu segi positif dari putusan yang berkarakter erga omnes adalah adanya kepastian hukum mengenai kedudukan peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi yang dinyatakan tidak sah. Sedangkan segi negatif berarti hakim tidak lagi semata-mata berfungsi menetapkan hukum (fungsi peradilan), tetapi telah berkembang hingga melakukan juga fungsi membentuk hukum (fungsi perundang-undangan).
Putusan MK berbeda dengan putusan pengadilan biasa, hal tersebut berhadapan dengan UU yang memuat kebijakan, maka MK tidak memiliki instrumen untuk memaksakan (enforcement) putusan demikian. Implementasinya berlangsung secara otomatis, yang akan dienforce oleh mekanisme hukum itu sendiri. Namun tidak dapat dielakkan bahwa kenyataan sosial yanh hidup merefleksikan perhadapan dan interaksi kekuatan-kekuatan sosial yang berpengaruh terhadap proses pembentukan kebijakan baru dalam revisi undang-undang untuk memenuhi putusan MK. Konfrontasi atau interaksi antara kekuatan-kekuatan sosial akan menentukan implementasi putusan MK yang dapat digunakan mengukur efekttivitas berjalannya mekanisme checks and balances melalui kewenangan MK.
Ada dua hal yang harus difahami dalam melihat realitas keberlakuan putusan MK, pertama, apakah masyarakat cukup memahami, menerima dan bersedia memberikan dukungan terhadap putusan tersebut sebagai pendapat MK yang merupakan tafsir atas UUD 1945 yang mengikat. Kedua, sejauhmana putusan tersebut dilaksanakan oleh eksekutif dan legislatif dalam bentuk revisi undang-undang dan pembentukan peraturan pelaksanaan serta seberapa jauh putusan tersebut dipatuhi oleh hakim dalam pengambilan keputusan (decision making) ketika menyelesaikan pekara yang didasarkan pada undang-undang yang telah diuji tersebut.
*The Executive Director of E-Law Corner Institute, The Researcher of The Constitutional Court of The Republic of Indonesia






















DAFTAR PUSTAKA

A. Mukthie Fadjar, 2008, Sang Penggembala, Perjalanan Hidup dan Pemikiran Hukum A. Mukthie Fadjar (Hakim Konstitusi 2003-2008) Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Anthony Allot, 1980, The Limits of Law, Butterworths&CO, London.
Hans Kelsen, 1973, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstutusi 2003-2008, Jakarta.

Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Cetakan Kedua, Jakarta: Konstitusi Press.

Kacung Marijan, 2006, Demokratisasi di Daerah (Pelajaran dari Pilkada secara Langsung), Cetakan I, Surabaya: Pustaka Eureka.

Leo Agustino, 2009, Pilkada Dan Dinamika Politik Lokal, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Maruarar Siahaan, 2005, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Konpress, Jakarta.

Maruarar Siahaan, 2008, Undang-Undang Dasar 1945 Konstitusi yang Hidup, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Mulyana W. Kusuma dkk, 2004, Agenda Pilkada dan Kesiapan Masyarakat Daerah, Cetakan I, (Boyolali: Lembaga Studi Pengembangan Partisipasi Publik dan Reforma Anggaran (LSP3RA)).

Muchamad Isnaeni Ramdhan, 2009, Kompedium Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen hokum dan HAM RI.

Samsul Wahidin, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, Cetakan I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Putusan Mahkamah Konsitusi No.072-073/PUU-II/2004 mengenai Pengujian Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Putusan Mahkamah Konsitusi No.II/PUU-VIII/2010 mengenai Pengujian Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 1 April 2009
Jurnal Konstitusi Volume III, Nomor 1 Juni 2010
Share:

19 Mei 2011

Jalan Konstitusional Pembubaran Partai Politik


Judul : Pembubaran Partai Politik
Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik
Penulis : Dr. Muchamad Ali Safa’at , S.H., M.H.
Penerbit : Rajawali Pers
Tahun : 2011
Jumlah : xxii + 438 hlm., 23.cm


“Setiap rezim menorehkan sejarah tersendiri dalam membubarkan partai politik, dari gaya otoritarian sampai demokratis dan dalam setiap rezim itulah tergambar bagaimana transformasi demokrasi politik berjalan”

Suatu pemerintahan perwakilan membutuhkan mekanisme untuk mengekspresikan keinginan yang diwakili sehingga hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat diakui sebagai hak asasi manusia yang penting. Partai politik merupakan salah satu wujud pelaksanaan hak tersebut demi berjalannya demokrasi.
Pemerintahan modern yang demokratis adalah pemerintahan yang dibentuk melalui pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik. Partai politik memainkan peranan dalam pemilihan organ legislatif maupun eksekutif. Dalam konteks inilah yang disebut rekrutmen politik. Dengan kata lain, pemerintahan demokrasi modern dibentuk dari satu partai atau koalisi beberapa partai.
Namun demikian kebebasan berserikat sebagai hak asasi menusia memiliki batasan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis demi keamanan nasional dan keselamatan publik, untuk mencegah kejahatanm serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk melindungi hak dan kebebasan lain. Sam Issacharoff dalam “Fragile Democracies” menyatakan bahwa salah satu pembatasan yang dapat dibenarkan dan dibutuhkan dalam negara demokrasi, adalah pembatasan terhadap kelompok yang mengancam demokrasi, kebebasan serta masyarakat secara keseluruhan. Negara dapat melarang atau membubarkan suatu organisasi, termasuk partai politik, yang bertentangan dengan tujuan dasar dan tatanan konstitusional. Negara demokratis tidak hanya memiliki hak, tetapi juga tugas untuk menjamin dan melindungi prinsip-prinsip demokrasi konstitusional.
Beberapa hal yang menarik dari buku ini adalah bahasan mengenai pembubaran partai politik di Indonesia baik dari aspek aturan hukum maupun praktik yang pernah terjadi. Pembubaran partai politik adalah tindakan, keputusan hukum, kebijakan, atau aturan yang mengakibatkan hilangnya eksistensi partai politik sebagai subjek hukum penyandang hak dan kewajiban. Dengan demikian, yang menjadi fokus adalah pembubaran yang dilakukan oleh otoritas negara (enforced dissolution) baik secara langsung, maupun secara tidak langsung atau sebagai akibat dari aturan atau kebijakan yang mengakibatkan hilangnya eksistensi hukum suatu partai politik.
Pembubaran Partai politik dalam hal ini juga meliputi bentuk-bentuk kebijakan yang memengaruhi keberadaan partai politik di Indonesia, seperti penyederhanaan dan fusi partai politik. Kasus-kasus yang terkait dengan pembubaran partai politik diantaranya meliputi penyederhanaan kepartaian pada masa Orde Lama, pembubaran Partai Masjumi dan PSI, pembekuan Partai Murba, pembubaran PKI, pembekuan Partindo, kebijajkan penyerderhaan partai politik pada awal Orde Baru, kebijakan fusi dan pembatasan partai politik pada masa Orde Baru, serta kasus pembekuan dan gugatan pembubaran Partai Golkar yang pernah terjadi pada masa reformasi.
Selain mengupas tentang pembubaran partai politik di Indonesia, terdapat pula bahasan tentang praktik pembubaran partai politik di berbagai negara. Kasus yang disajikan antara lain pembubaran Halkin Emek Partisi (1993) dan Refah Party di Turki, pembubaran partai Thai Rak Thai di Thailand tahun 2006 serta Pembubaran Socialist Riech Party (1952) dan Communist Party (1956) di Jerman.
Dari sisi aspek-aspek yang dianalisis meliputi dasar atau alasan pembubaran, prosedur dan lembaga yang memiliki wewenang membubarkan partai politik, serta akibat hukum pembubaran partai politik. Selain itu juga akan dilihat latar belakang munculnya aturan, kebijakan dan praktik pembubaran partai politik. Sedangkan berkaitan dengan kurun waktu yang disajikan dalam buku ini adalah antara 1959-2004. Beberapa catatan penting mengenai batasan waktu tersebut adalah karena pada 5 Juli 1959 bertepatan dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, rezim yang berkembang saat itu adalah Demokrasi terpimpin. Salah satu implikasi dari rezim tersebut adalah adanya penyerderhaan dan pengawasan partai politik yang mengakibatkan pembubaran Partai Masjumi dan PSI pada 1960. Sedangkan tahun 2004 sebagai kurun waktu penutup karena pada 2004 dilaksanakan pemilihan umum yang diikuti oleh partai politik sebagai peserta sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 2002. Di samping itu, hasil pemilihan umum 2004 terkait dengan ketentuan electoral threshold yang menentukan partai politik mana yang dapat mengikuti pemilihan umum selanjutnya.

MK dan Pembubaran Parpol

Pengaturan masalah partai politik yang semakin kompleks merupakan salah satu wujud upaya konstitusionalisasi demokrasi politik (the constitutionalization of democratic politics). Pergeseran pengaturan partai politik juga menunjukkan adanya pergeseran paradigm pengaturan partai politik dari political markets ke arah paradigma managerial dan bahkan paradigma progresif. Paradigma political market diwakili oleh Undang-Undang No 2 Tahun 1999 yang menghilangkan ketentuan pada masa Orde Baru yang menghalangi adanya kompetisi yang fair serta mengarahkan partai politik, partai politik harus dapat bersaing secara terbuka.
Berdasarkan ketentuan Pasal 17 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 bahwa suatu partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Agung berdasarkan putusan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap setelah mempertimbangkan keterangan dari pengurus pusat partai yang bersangkutan. Namun, pasca amandemen UUD 1945 tepatnya Pasal 24C ayat (1) menyatakan bahwa salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah membubarkan partai politik. Selanjutnya pembubaran partai diatur lebih lanjut dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Di masa mendatang seharusnya pembubaran partai politik hanya didasarkan pada putusan pengadilan, yaitu Mahkamah Konstitusi, sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Proses pembubaran partai politik yang menjadi wewenang Mahkamah Konstitusi sesuai dengan pedoman Venice Commission adalah pembubaran partai politik yang harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi atau lembaga yudisial. Proses ini sesuai dengan prosedur yang menjamin due process, keterbukaan dan fair. Di samping itu, harus ditentukan bahwa pembubaran parati politik harus merupakan konsekuensi temuan yudisial tentang pelanggaran konstitusional yang tidak biasa dan diputus berdasarkan prinsip proporsionalitas. Semua konsepsi tersebut harus dipenuhi karena merupakan jalan konstitusional pembubaran partai politik.[] Tulisan ini dimuat di Majalah Konstitusi No. 50 Maret 2011
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Preface

Welcome to e-Law Corner

The weblog focused on
Law and Constitution,
We'll Let's share about it,
Happy reading...
Regards,

e-Law Corner Team

CC Recent Decision

Categories

2009 (2) Agraria (1) Akreditasi (1) Articles (1) Capres (1) Demokrasi (1) demokratis (1) DPT (2) Hijrah (1) Hukum Acara (1) Implementasi (1) Independen (1) Indonesia (1) Jurnal (1) Kapitalis (1) Konstitusi (2) KPU (1) KTP (1) Law (2) Legal (7) Lembaga (1) LIPI (1) Masif (1) MK (12) Negara (1) News (2) Nomor Urut (1) Panwaslukada (1) Partai (1) Paspor (1) Pelanggaran (1) Pembubaran (1) Pemilu (2) Pemilukada (2) Penafsiran (1) Peneliti (1) PHPU (2) Pileg (1) Pilpres (1) PMK (2) Politik (2) Politik Hukum (1) presidential (1) Probono (1) Putusan (1) Resensi (2) Review (7) Sistematis (1) Suara (1) Symposium (1) Tekstual (1) Terbanyak (1) Terstruktur (1) threshold (1) Turki (1)

Archives