Let's share about Law...

15 April 2009

963 Pelanggaran Dalam Pemugutan dan Penghitungan Suara

Sumber: Bawaslu RI
Tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum merupakan tahapan yang paling krusial dan strategis bagi semua pihak. Bagi peserta pemilu, tahap ini akan menjadi pertaruhan apakah hasil jerih payah mereka selama masa kampanye akan diapresiasi positif oleh pemilih dengan memberikan suara kepada mereka. Bagi pemilih, pada tahap inilah mereka akan dapat menjalankan perannya untuk memilih para wakil rakyat. Sementara bagi penyelenggara pemilu, tahap ini menjadi puncak kegiatan sekaligus indikator utama untuk menilai kesuksesan penyelenggaraan pemilu.

Namun, berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu dan Panwaslu Propinsi serta Panwaslu Kabupaten/Kota, terlihat bahwa kinerja Komisi Pemilihan Umum dalam menyelenggarakan tahapan Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilu 2009 ini tidak optimal. Banyak terjadi permasalahan menyangkut distribusi surat suara, maupun pelanggaran oleh penyelenggara pemilu baik di level KPU maupun jajaran di bawahnya, sehingga menyebabkan munculnya banyak protes dan ungkapan ketidakpuasan dari masyarakat.

Total Pelanggaran : 963
•PELANGGARAN ADMINISTRASI 619 KASUS
•TINDAK PIDANA PEMILU : 138 KASUS
•LAIN – LAIN : 206 KASUS

Pelanggaran Administrasi
•Surat Suara Tertukar Antar Daerah Pemilihan (238 Kasus)
•Logistic pemilu tidak cukup, (183 kasus).
•Kotak suara sudah dalam kondisi terbuka sebelum dimulainya upacara pemungutan suara (12 kasus).
•Pemilih tidak terdaftar di DPT atau DPT tambahan tetapi dapat memberikan suara (22 kasus).
•Penghitungan suara tidak selesai pada tanggal dan hari yang sama (49 kasus).

Pelanggaran Pidana
•Money politic, (33 kasus).
•Pemilih memberikan suara lebih dari satu kali, (14 kasus).
•Sengaja mengaku diri sebagai orang lain (18 Kasus)
•KPPS tidak menjaga, mengamankan kotak suara(10 kasus).
•Intimidasi kepada pemilih (17 kasus).


Pelanggaran Lain-lain
Konflik Kekerasan (8 Kasus)
Terdaftar di DPStetapi tidak terdaftar di DPT (196 Kasus)



Tindak Lanjut oleh Bawaslu dan Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota
259 pelanggaran administrasi yang telah ditindaklanjuti kepada KPU,
40 pelanggaran pidana yang telah diteruskan kepada instansi yang berwenang.


Permasalahan Lain
Buruknya administrasi Pemilu oleh KPU
Meskipun telah ditopang dengan keluarnya Perppu nomor 1/2009, KPU tetap saja tidak maksimal mewujudkan DPT yang mampu menjamin hak pemilih untuk memberikan suara. Bahkan dalam banyak temuan Bawaslu, DPT banyak diisi dengan ghost voters.
Dampak kesemrawutan DPT ini menyebabkan tingginya angka golput yang disebabkan karena lemahnya administrasi pemilu dan voters administration sehingga menyebabkan pemilih dipaksa golput.
Dalam hal ini, Bawaslu dan juga masyarakat telah berkali-kali mengingatkan KPU baik secara formal maupun informal, namun kurang diabaikan.


Manajemen Logistik Pemilu
Terdapat beberapa bentuk kekisruhan dalam manajemen logistik:
Surat suara tertukar antar Daerah Pemilihan.
Jumlah surat suara kurang.
Surat suara untuk pemilu ulang dipergunakan sebagai akibat dari kekurangan jumlah surat suara.
Terkait dengan surat suara tertukar, KPU mengeluarkan surat nomor 676 dan 684, yang isinya justru bertentangan dengan kehendak UU serta putusan MK.
Terkait dengan hal tersebut, Bawaslu telah menginstruksikan kepada Panwaslu Kabupaten/Kota agar meminta dilakukan pemungutan suara ulang, guna menjamin hak pemilih agar bernilai, serta menjamin hak keterpilihan caleg.

Tidak Optimalnya Sosialisasi tentang Peserta Pemilu yang dibatalkan
•Tidak optimalnya kinerja KPU Kabupaten/Kota dalam mensosialisasikan daftar peserta pemilu yang dibatalkan status kepesertaannya dalam pemilu di wilayah yang bersangkutan, dikarenakan tidak atau terlambat menyerahkan laporan awal dana kampanye.
•Dalam hal ini, beberapa KPU Kabupaten/Kota tidak memberikan penjelasan yang memadai tentang cakupan pembatalan tersebut. Bahkan beberapa KPPS menjelaskan kepada pemilih bahwa partai yang dibatalkan tersebut beserta seluruh nama caleg di semua tingkatan tidak boleh dipilih. Akibatnya, banyak muncul keluhan dan laporan dari caleg yang merasa dirugikan.
•Dalam hal ini, Bawaslu telah mengingatkan KPU agar mensosialisasikan secara massif dan jelas kepada pemilih mengenai sanksi pembatalan ini, namun kurang ditindaklanjuti dengan optimal

Share:

Dosa Besar Pemilu 2009

Oleh : Eep Saefulloh Fatah
sumber : Kompas
Saya tak tahu jumlah mereka. Mungkin puluhan atau ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka pemegang kartu tanda penduduk dan terdaftar sebagai penduduk. Namun, mereka kehilangan hak pilih karena nama mereka tak tertera dalam daftar pemilih tetap.
Sebagian dari mereka datang ke tempat pemungutan suara pada 9 April lalu sambil membawa bukti-bukti identitas kependudukan. Tetapi, aturan melarang mereka menggunakan hak pilih mereka. Halangan administrasi merenggut hak-hak politik mereka. Mereka terabaikan. Di tengah sukacita para calon pemenang dan kesibukan partai-partai menyusun koalisi menuju pemilu presiden, Juli mendatang, tempat mereka makin tergeser dari berita pokok media massa.

Empat salah kaprah
Pencederaan hak-hak para pemilih itu adalah dosa besar Pemilu 2009 yang tak sekadar layak diratapi. Celakanya, sejumlah salah kaprah kita temukan dalam perbincangan tentang kisruh DPT. Pertama, kisruh DPT lebih banyak dipahami sebagai bencana administrasi. Ini jelas salah besar! Kisruh ini bukanlah bencana administrasi, melainkan pelecehan atas hak politik rakyat!

Mereka yang memahaminya sebagai sekadar perkara administratif tak paham bahwa bagian terpenting dalam setiap pemilu demokratis adalah terpenuhinya hak-hak politik para pemilih. Tanpa ini, pemilu cedera berat.
Adalah salah besar menjadikan hal ihwal administratif (tak tercatat dalam DPT) sebagai alasan untuk membunuh hak pilih seseorang. Semestinya administrasi harus tunduk, tersubordinasi, dibuat lentur, menyesuaikan diri untuk memenuhi hak-hak pemilih. Setiap orang yang punya bukti sah kependudukan semestinya beroleh kesempatan menunaikan hak pilihnya.
Kedua, kisruh DPT dipahami sebagai muasal persoalan. Sejatinya, kisruh ini adalah konsekuensi logis dari kekacauan administrasi kependudukan kita. Itu bukanlah sebab, melainkan akibat.
Tak satu pun dari empat presiden pada era reformasi yang berhasil menata administrasi kependudukan secara layak. Alhasil, tiga pemilu legislatif (1999, 2004, 2009), satu pemilu presiden (2004), dan lebih dari 450 pemilihan kepala daerah selama satu dasawarsa terakhir dicederai rendahnya kredibilitas data pemilih. Dicederainya hak pilih ratusan ribu —bahkan jutaan—calon pemilih dalam pemilu pada 9 April lalu adalah puncak dari kisruh permanen berulang-ulang itu.
Sejak awal reformasi sudah kerap kita dengar beragam rencana pembenahan administrasi kependudukan. Kita juga pernah mendengar rencana komputerisasi data kependudukan dan pemberlakuan nomor identitas tunggal bagi setiap penduduk. Nyatanya, dalam perkara ini kita tak beranjak maju.
Ketiga, kisruh DPT dipahami sebagai buah kekeliruan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tentu saja KPU punya andil memfasilitasi tak terkelolanya kisruh itu. Namun, KPU bukan biang keladi sendirian. Menteri Dalam Negeri (yang membawahkan otoritas pendataan dan administrasi kependudukan) dan Presiden (sebagai penanggung jawab tertinggi pengelolaan administrasi pemerintahan) adalah pihak-pihak yang selayaknya ikut bertanggung jawab.
Maka, saya sungguh menyesalkan bahwa sampai dengan saat ini belum terdengar sepotong pun permohonan maaf dari KPU, Mendagri, maupun Presiden kepada setiap orang yang hak-hak politiknya dilucuti. KPU terkesan lebih senang membela diri, Mendagri alpa bahwa ia ikut bertanggung jawab, dan Presiden lebih sibuk menyiapkan jalan terlapang menuju termin kedua pemerintahannya.
Keempat, banyak partai politik berasumsi bahwa kisruh DPT menyebabkan mereka kalah. Padahal, sungguh sulit mengaitkan serta-merta kisruh itu dengan perolehan suara setiap partai. Tak ada satu teori pun yang bisa membuktikan bahwa kisruh ini menguntungkan secara konsisten partai tertentu dan merugikan partai yang lain. Kisruh ini pun akhirnya hanya sekadar topeng pemanis untuk menyembunyikan ketidaksiapan sebagian partai untuk kalah.
Dua perkembangan
Dari balik kisruh DPT, mencuat dua kemungkinan perkembangan: perlawanan warga negara atau kemarahan partai-partai.
Para calon pemilih yang hak politiknya dicederai punya alasan kuat untuk melakukan aksi kolektif menuntut pertanggungjawaban para pejabat publik terkait. Mereka berhak memperkarakan pelecehan hak-hak politik mereka melalui jalur hukum secara elegan, tanpa kekerasan, dengan melintasi sekat partai atau pilihan politik. Demokrasi harus memberikan jalan lapang bagi perlawanan semacam ini.
Tetapi, kita layak cemas. Yang lebih mengemuka justru kemarahan partai-partai. Kisruh DPT boleh jadi hanya dijadikan instrumen politik oleh partai-partai untuk memperkarakan hasil pemilu. Menolak hasil pemilu tentu boleh-boleh saja, tetapi adalah kanak-kanak menjadikan kisruh DPT sebagai alasan pembenar sebuah kemarahan membabi buta. Adalah tak bertanggung jawab menyamarkan ketidaksiapan kalah di balik isu pelecehan hak-hak politik rakyat.
Memanjakan kemarahan partai-partai, sambil keluar dari konteks persoalan sesungguhnya, hanya akan memperbesar dosa kita dalam Pemilu 2009. Padahal, alih-alih menambah dosa, semestinya saatnya sekarang kita bertobat, yakni dengan segera membenahi data kependudukan untuk pemilu presiden besok.
EEP SAEFULLOH FATAH Pemerhati Politik dari Universitas Indonesia
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Preface

Welcome to e-Law Corner

The weblog focused on
Law and Constitution,
We'll Let's share about it,
Happy reading...
Regards,

e-Law Corner Team

CC Recent Decision

Categories

2009 (2) Agraria (1) Akreditasi (1) Articles (1) Capres (1) Demokrasi (1) demokratis (1) DPT (2) Hijrah (1) Hukum Acara (1) Implementasi (1) Independen (1) Indonesia (1) Jurnal (1) Kapitalis (1) Konstitusi (2) KPU (1) KTP (1) Law (2) Legal (7) Lembaga (1) LIPI (1) Masif (1) MK (12) Negara (1) News (2) Nomor Urut (1) Panwaslukada (1) Partai (1) Paspor (1) Pelanggaran (1) Pembubaran (1) Pemilu (2) Pemilukada (2) Penafsiran (1) Peneliti (1) PHPU (2) Pileg (1) Pilpres (1) PMK (2) Politik (2) Politik Hukum (1) presidential (1) Probono (1) Putusan (1) Resensi (2) Review (7) Sistematis (1) Suara (1) Symposium (1) Tekstual (1) Terbanyak (1) Terstruktur (1) threshold (1) Turki (1)

Archives