Let's share about Law...

27 Maret 2015

Politik Hukum Keadilan Substantif dalam Judicial Review Undang-Undang

Perubahan Undang Undang Dasar 1945 (1999-2002) telah membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam pelembagaan kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudisial (kekuasaan kehakiman). Dalam sistem kekuasaan kehakiman (yudisial) sebagaimana disebutkan terakhir, di samping Mahkamah Agung (selanjutnya disingkat MA) dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, telah muncul Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat MK).

Adapun menyangkut kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 adalah menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di samping itu, MK memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Kewenangan MK juga diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) sebagaimana telah diubah dalam UU No. 8 tahun 2011 tentang MK. 
Share:

31 Januari 2015

Pelanggaran Pemilukada yang Sistematis, Terstruktur dan Masif


Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menangani sengketa Pemilukada telah menciptakan terobosan guna memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan praktik pelanggaran sistematis, terstruktur, dan masif (STM). MK tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara tetapi juga harus menggali keadilan dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan. Sebagai penelitian yuridis normatif, penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan historis serta sosiologi hukum. Hasil penelitian menujukkan bahwa sepanjang 2008-2011 MK telah mengabulkan sengketa Pemilukada sebanyak 32 (tiga puluh dua) perkara. Dari jumlah tersebut yang bersifat STM sebanyak 21 (dua puluh satu) perkara. Sedangkan sifat TSM dalam putusan-putusan tersebut terbagi menjadi 2 (dua) yaitu kumulatif dan alternatif dimana keduanya dapat membatalkan hasil Pemilukada.

Terdapat 3 (tiga) jenis pelanggaran dalam Pemilukada, pertama, pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh terhadap hasil suara Pemilukada. Kedua, pelanggaran dalam proses Pemilukada yang berpengaruh terhadap hasil Pemilukada, Ketiga, pelanggaran terakait persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur. Pelanggaran Pemilukada yang bersifat TSM merupakan pelanggaran yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun aparat penyelenggara Pemilukada secara kolektif bukan aksi individual, direncanakan secara matang (by design) dan dampak pelanggaran ini sangat luas bukan sporadis. 

Kata kunci: Pelanggaran Pemilukada, Mahkamah Konstitusi, Sistematis, Terstruktur dan Masif
Naskah lengkap silahkan diunduh disini
Share:

28 Januari 2014

Transformasi Lembaga-Lembaga Negara Pasca Perubahan Konstitusi

Judul buku     : Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945
Penulis           : Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H.
Penerbit         : Sinar Grafika
Terbitan         : Cetakan Pertama, November 2013
Tebal             : xiv + 248 hlm

Perubahan konstitusi dalam negara hukum demokratis merupakan sebuah keniscayaan. Konstitusi sebagai sebuah kesepakatan bersama berbangsa dan bernegara bukanlah kitab suci yang sakral dari perubahan. Ia tidaklah imun dari segala bentuk perkembangan ketatanegaraan yang menghendaki adanya sebuah ‘penyegaran’ terhadap substansi konstitusi.
Perubahan konfigurasi politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang diterapkan dalam sebuah negara mutlak menuntut adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat yang bersamaan, hal ini mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap sebagai doktrin yang mapan mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup lagi sekadar mengklasifikasikannya menjadi kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman. 
Share:

Reforma Agraria; Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat!


Judul buku      : Politik Hukum Agraria
Penulis            : Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H.
Penerbit          : Konstitusi Press
Terbitan          :  Cetakan Pertama, Desember  2012
Tebal              : xviii + 312 hlm


“Konsep kebijakan yang beroreintasi kerakyatan, mengedepankan keadilan, bersifat integratif, berkelanjutan dan lestari dalam pengelolaannya” 

Sebagai negara agraris, Indonesia belumlah mampu mensejahterakan petani yang menjadi tulang punggung sektor pertanian. Arti kemerdekaan yang hakiki, bebas dari penindasan, kemiskinan dan menjadi bangsa yang bermartabat di kancah internasional masih menjadi ‘mimpi’ para petani. Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun  1960 tentang Pokok Agraria (UUPA)  membawa mainstream land reform yang mengarah pada perubahan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang mencerminkan rasa keadilan bagi mayoritas rakyat Indonesia, terutama petani.  
Tatkala agenda land reform stagnan dan tidak memberikan kesejahteraan kemudian berganti dengan  program revolusi hijau, namun pada akhirnya petani masih terbelenggu dalam kemiskinan, sementara sumberdaya agraria, yakni tanah dan sumberdaya alam lainnya semakin menjadi milik lapisan orang orang kaya.


Share:

22 Juli 2013

AACC Board of Members Meeting in Ankara

The Preparatory Meeting of the Second Congress of the Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) was organised in Ankara JW Marriot Hotel on 24 April 2013 and hosted by the Turkish Constitutional Court carrying out the Term Presidency. The AACC was established with a view to exert efforts to open up horizons concerning different constitutional justice systems in Asian countries, to exchange knowledge and experience, and to enable multilateral cooperation among members for the promotion of human rights and enhancement of democracy and supremacy of law in Asia. The Second Congress was decided priorly to be held in Turkey during the Board of Members Meeting of the Inaugural Congress organised in Seoul (Korea) on 20 May 2012. Representatives of Indonesia, Korea, Uzbekistan, Malaysia, Mongolia, the Russian Federation, Thailand, Tajikistan and Turkey participated in the Board of Members Meeting held on 24 April 2013 as member countries. The ICOIC of Afghanistan and Constitutional Council of Kazakhstan were accepted as new members; while Constitutional Court of Georgia was granted observer status. During the meeting significant decisions were taken concerning the activities to be conducted by the Association in the future. It was decided also that the Second Congress of the Association to be held in Istanbul in May 2014. As the Meeting continued, Ankara tour programme was organised for the spouses of the participants. At the end of the meeting, the invited guests had the opportunity to visit the Museum of Anatolian Civilizations and Ancient Ankara houses. After the dinner in Çengelhan hosted by President Haşim KILIÇ, the guest delegations paid a short visit to the industry and machinery museum located in the same place. A dinner was hosted by the Prime Minister, H.E. Mr. Recep Tayyip ERDOĞAN, in honour of the guest delegations at Rixos Hotel on 25 April 2013. The representatives of the member countries of the AACC, took part in the activities of the 51st Anniversary of the Turkish Constitutional Court and the social activities organised on 26-28 April. Courtesy:Turkish Constitutional Court
Share:

22 Maret 2013

Konflik Dualisme Panwas Pemilukada Kota Samarinda Pasca Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010

Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) pada dasarnya merupakan Pemilihan Umum sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 072-073/PUU-PUU-II/2004 yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung adalah pemilihan umum secara materiil untuk mengimplementasikan amanah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dengan demikian dalam penyelenggaraannya harus didasarkan atas asas-asas pemilihan umum yang berlaku. Mukthie Fadjar menegaskan bahwa Pemilihan kepala daerah secara demokratis adalah pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkadal) dan Pilkadal adalah Pemilu, dan Pemilu adalah Pemilu menurut ketentuan dan prinsip-prinsip yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945. Pemilihan umum kepala daerah adalah salah satu sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan daerah yang demokratis. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 secara eksplisit mengatur bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Bahwa untuk menyelenggarakan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara demokratis sebagai bagian dari rezim Pemilu, UUD 1945 telah mengatur dalam Pasal 22E ayat (1) bahwa, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Indikator “demokratis” berupa ketaatan pada asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. Kedemokratisan penyelenggaraan Pemilukada juga diukur dari kemandirian dan integritas penyelenggara Pemilukada, yang juga akan berpengaruh terhadap integritas dari proses penyelenggaraan dan hasil Pemilu itu sendiri. Untuk menjamin penyelenggaraan Pemilukada agar sesuai dengan asas di atas dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, diperlukan adanya suatu pengawasan. Pada konteks itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum harus dikualifikasi sebagai bagian dari penyelenggara pemilihan umum, khususnya dalam menjalankan fungsi pengawasan atas penyelenggaraan Pemilu. Terkait dengan fungsi pengawasan tersebut dapat diterjemahkan dalam dua hal. Pertama, Badan Pengawas Pemilihan Umum adalah badan yang secara sengaja dibentuk sesuai Pasal 70 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu (UU Penyelenggara Pemilu) yang memiliki tugas, wewenang, dan kewajiban tertentu untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 74 dan Pasal 75 Penyelenggara Pemilu. Berdasarkan hal tersebut, Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam menjalankan tugas, wewenang, dan kewajibannya mempunyai struktur dan alat kelengkapan lembaga yang meliputi: Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Luar Negeri, Dewan Kehormatan dan Kesekretariatan. Kedua, alinea ketujuh Penjelasan Umum UU Penyelenggara Pemilu menyebutkan bahwa kelahiran Pengawas Pemilu dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa “Dalam penyelenggaraan pemilihan umum, diperlukan adanya suatu pengawasan untuk menjamin agar pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan.” Untuk itulah diatur mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap. Pengawasan yang dilakukan Bawaslu meliputi penyelenggaraan Pemilu dan juga penyelenggara Pemilunya. Pengawasan dimaksud tidak hanya dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilihan yang bersifat tetap tetapi juga dilakukan secara hierarkis oleh pengawas lainnya yang meliputi: Panitia Pengawas (Panwaslu) Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri. Dalam menjalankan fungsi pengawasan, Bawaslu dan Pengawas Pemilu lainnya mempunyai tugas dan wewenang tertentu. Tugas dan wewenang dimaksud mengawasi penyelenggaraan dan penyelenggara Pemilu, yaitu: mulai dari mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu, menerima laporan dugaan pelanggaran, menyampaikan temuan dan laporan serta meneruskannya kepada instansi yang berwenang hingga mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengenaan sanksi kepada anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota hingga Sekretaris Jenderal dan pegawainya yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung. Sesuai dengan ketentuan pasal 93 dan 94 UU Penyelenggara Pemilu, pembentukan Panwaslu di tingkat provinsi dan kabupaten/kota mesti melaui tahapan seleksi di tingkat KPUD sebelum dilanjutkan ke Bawaslu untuk menetapkan 3 dari 6 nama yang diusulkan. Di lain pihak, adanya ketentuan yang menyatakan pembentukan Panwaslu mesti dilakukan 1 bulan sebelum tahapan pemilu, membuat Bawaslu khawatir akan tidak terbentuknya Panwaslu, padahal waktu tahapan pemilu sudah dekat. Dalam kondisi itulah, untuk pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kepala Daerah (Panwaslukada) 2010, Bawaslu tidak akan membuka pendaftaran baru bagi calon pengawas pemilu, melainkan menggunakan nama-nama calon yang pernah diajukan KPU sebagai pengawas pemilu 2009 (pemilu legislatif dan pemilu presiden) untuk ditetapkan kembali sebagai Panwaslukada . Dengan kata lain, Panwaslu yang sudah ada tidak perlu diganti, melainkan diperpanjang masa kerjanya. Bawaslu menilai apabila ditinjau dari sisi waktu, biaya dan tenaga mengakibatkan pengeluaran yang sangat besar. Berangkat dari hal itulah pada November 2009, Bawaslu mengajukan surat ke KPU dan menyatakan keinginannya untuk melantik kembali Panwaslu 2009 menjadi Panwaslukada 2010 melalui Surat Edaran Bersama (SEB) KPU dan Bawaslu demi efektifitas pengawasan tahapan pilkada. Namun, KPU tidak serta merta menerima keinginan Bawaslu tersebut karena pada dasarnya pembentukan Panwaslukada harus melalui proses penjaringan dan pengusulan enam nama calon oleh KPU daerah ke Bawaslu. KPU dan Bawaslu pun akhirnya mencoba meminta pandangan hukum dari Mahkamah Agung (MA). Melalui fatwanya Nomor 142/KMA/XI/2009 tertanggal 23 November 2009, MA berpandangan bahwa panwas Pemilu 2009 tidak dapat serta merta dilantik menjadi Panwaslukada 2010. MA pun menyarankan KPU dan Bawaslu dapat menggunakan ketentuan pasal 236 UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan dalam hal penyelenggaraan Pilkada berlangsung sebelum terbentuknya panwas pemilihan oleh Bawaslu, DPRD berwenang membentuk Panwaslukada. Bawaslu memandang fatwa MA ini belum dapat dijadikan solusi untuk melantik Panwaslu 2009 menjadi Panwaslukada 2010. Selanjutnya, Bawaslu kembali menawarkan kepada KPU untuk membuat SEB yang akan dijadikan dasar hukum bagi pelantikan Panwaslu 2009 menjadi Panwaslukada agar pengawasan Pemilukada dapat dilakukan secara optimal sejak awal tahapan penyelenggaraan, terutama bagi daerah-daerah yang sudah akan memasuki tahapan penyelenggaraan Pemilukada. Melalui fasilitasi Kementerian Dalam Negeri, pada 9 Desember 2009 Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary dan Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini menandatangani SEB dengan disaksikan Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi. Tiga hari pasca keluarnya SEB, Bawaslu pun melantik sejumlah Panwaslu 2009 menjadi Panwaslukada 2010 dan terus berlanjut hingga Januari 2010. Namun, di tengah jalan, KPU mempersoalkan proses pelantikan panwas Pemilu 2009 menjadi panwas Pemilukada karena adanya calon panwas hasil penjaringan KPU di sejumlah daerah yang tidak diuji kelayakan dan kepatutan oleh Bawaslu sesuai amanah UU Penyelenggara Pemilu dan di luar kesepakatan SEB. KPU dan Bawaslu pun berbeda tafsir atas SEB yang telah dirumuskan dan ditandatangani bersama tersebut. Berdasarkan catatan KPU terdapat 97 daerah yang Panwaslukada-nya dilantik di luar kesepakatan SEB dan UU Penyelenggara Pemilu yang akhirnya berbuntut kisruh di daerah. Penyelesaian kisruh pembentukan Panwaslukada ini difasilitasi sejumlah pihak, seperti Deputi Bidang Politik Sekretariat Wakil Presiden, Kementerian Dalam Negeri, dan Komisi II DPR. Namun, proses tersebut tidak membuahkan hasil yang optimal. Meski, di sejumlah daerah dari 244 daerah yang akan menyelenggarakan Pemilukada pada 2010 proses pembentukan Panwaslukada-nya dilakukan secara normal sesuai amanah UU Penyelenggara Pemilu. Ketiadaan titik temu atas kisruh pembentukan Panwaslukada menjadi dasar KPU menarik kembali kesepakatan SEB yang mengatur pembentukan Panwaslu 2009 menjadi Panwaslukada karena khawatir akan dipersoalkan secara hukum akibat tindakan Bawaslu yang dinilai melanggar naskah kesepakatan bersama tersebut. Terlebih secara hukum UU Penyelenggara Pemilu mengatur pembentukan Panwaslukada haruslah melalui proses penjaringan dan pengusulan nama calon oleh KPU daerah setempat kepada Bawaslu. Kondisi ini yang pada akhirnya mendorong Bawaslu melakukan uji materil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu untuk memperkuat status hukum Panwaslukada yang telah dibentuk, terutama Panwaslukada yang berasal dari Panwas Pemilu 2009. Dalam permohonannya Bawaslu mendalilkan bahwa Pasal 93, Pasal 94 ayat (1), Pasal 94 ayat (2), Pasal 95, Pasal 111 ayat (3), dan Pasal 112 ayat (3) UU Penyelenggara Pemilu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Calon anggota Panwaslu Provinsi seharusnya tidak berasal dari usulan KPU Provinsi, sebab KPU adalah obyek pengawasan. Begitu juga dengan Calon anggota Panwaslu Kabupaten/Kota dan Panwaslu Kecamatan, seharusnya tidak diusulkan oleh KPU Kabupaten/Kota. Pemohon menilai prosedur rekrutmen panwaslu daerah tidak mandiri, melanggar asas profesionalitas dan akuntabilitas, karena calon anggota Panwaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota diusulkan oleh KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota. Proses rekrutmen calon anggota panwaslu oleh KPU menuai masalah obyektivitas pengawasan. Pada tataran praksis di lapangan, sebagian anggota panwaslu usulan KPU tidak obyektif dalam menjalankan tugas pengawasan pemilu. Dalam pengujian UU tersebut Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga memohon kepada MK untuk mengeluarkan putusan provisi terkait dualisme eksistensi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu), baik yang dibentuk berdasarkan surat edaran bersama (SEB) KPU dan Bawaslu maupun bentukan KPU pasca pencabutan SEB karena dianggap pembentukan Panwaslu oleh Bawaslu tidak sesuai SEB. Namun, hal ini tidak serta merta berlaku surut membatalkan keanggotaan Panwaslu yang telah dilantik Bawaslu. Dalam putusannya MK telah memberi tafsir resmi terhadap kalimat “suatu komisi pemilihan umum” yang diatur dalam Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945. Kalimat itu tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Dengan demikian, menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilu tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilu dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) serta Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu. Semuanya menjadi satu kesatuan fungsi guna menjamin kemandirian penyelenggara pemilu. Oleh karenanya, menurut MK, mekanisme rekrutmen dalam ketentuan tersebut di samping akan mengakibatkan anggota-anggota pengawas pemilu menjadi tergantung pada KPU, sehingga kemandiriannya terganggu, juga sangat potensial mengakibatkan saling menghambat dalam penentuan anggota pengawas pemilu antara Bawaslu atau Panwaslu dengan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. Ketentuan yang demikian, oleh MK, dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengganggu terselenggaranya pemilu secara periodik yang luber-jurdil sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh UUD 1945. Prosedur rekrutmen yang demikian tidak memenuhi sifat mandiri sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945, karena calon yang akan mengawasi justru diusulkan oleh lembaga yang akan diawasi. Terkait dengan 192 Panwaslu yang sudah dibentuk, MK berpendapat, demi kemanfaatan dan efektivitas dari pelaksanaan Pemilukada tahun 2010 yang tahapannya sudah dimulai serta terciptanya kondisi yang kondusif di daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pemilukada, dan demi kepastian hukum yang adil serta terciptanya prinsip saling mengawasi dan mengimbangi agar Pemilukada berjalan sesuai dengan asas luber dan jurdil, maka 192 Panwas yang terdiri atas 7 Panwaslu Provinsi dan 185 Panwaslu Kabupaten/Kota harus dinyatakan sah dan dapat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing sesuai undang-undang. Dengan adanya putusan MK tersebut Bawaslu dapat melantik panwas Pemilu 2009 menjadi Panwaslukada 2010. MK mengabulkan permohonan uji materiil Pasal 93, 94 ayat 1 dan 2 serta Pasal 95 UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang diajukan oleh Bawaslu dengan putusan nomor 11/PUU-VIII/2010. MK menyatakan bahwa 192 Panitia Pengawas Pemilu yang sudah dibentuk adalah sah dan dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing sesuai dengan Undang-Undang. Putusan MK tersebut memberi Bawaslu wewenang penuh dalam merekrut dan menetapkan Panwas Pemilu, ter¬masuk Panwaslukada dan tidak lagi harus menunggu enam nama calon Panwas Pemilukada yang dijaring oleh KPU atau KPU daerah sesuai amanah UU Nomor 22 Tahun 2007. Akan tetapi setelah putusan MK dibacakan, konflik dualisme Panwalukada tersebut belum selesai. Hal ini terlihat dari beberapa persoalan yang mengemuka pasca putusan tersebut antara lain, KPU masih memperdebatkan putusan MK, khususnya terkait dengan kewenangan MK dalam mengesahkan Panwas. Selain itu, KPU mempersoalkan nasib panwas yang sudah terlanjur dilantik oleh DPRD dan KPUD serta yang sudah melakukan rekrutmen sebelum putusan MK keluar. Ketua KPU menyatakan Putusan MK yang mengesahkan 192 Panwas adalah keputusan yang tidak tepat. MK tidak memilah-milih dulu mana panwas yang sudah saatnya di bentuk dan yang belum. Menurut anggota KPU, menilai bahwa putusan MK tidak langsung menyelesaikan persoalan pembentukan panwas, karena untuk 52 panwas yang belum dibentuk oleh Bawaslu, Bawaslu masih diwajibkan melakukan fit and proper test dalam pembentukan panwas. Persoalannya adalah calon yang diusulkan oleh siapa yang akan di fit and proper test oleh Bawaslu. Selain itu Bawaslu mengancam akan menggugat DPRD Kota Samarinda yang sebelumnya didahului dengan mengirimkan surat kepada DPRD Samarinda, Walikota Samarinda, dan Ketua KPU Kota Samarinda. Bawaslu berencana mengajukan gugatan hukum kepada DPRD Kota Samarinda jika tetap mengabaikan putusan MK mengenai pembentukan panitia pengawas (Panwas). Hingga surat tersebut dikirimkan saat ini DPRD Kota Samarinda belum mencabut penetapan Panwas, padahal putusan MK menyatakan bahwa pembentukan panwas menjadi kewenangan Bawaslu. Bawaslu menilai sikap dua DPRD tersebut merupakan pembangkangan terhadap konstitusi jika masih tetap pada pendiriannya masing-masing. Bawaslu menyatakan bahwa setelah putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010 tanggal 18 Maret 2010, konflik antara KPU dengan Bawaslu sudah selesai. Kecuali di Kota Samarinda dan Sumbawa yang belum tuntas. Untuk lebih mempertegas eksistensi Bawaslu, pada 20 April 2010 Bawaslu mengirimkan surat ke DPRD Kota Samarinda, Walikota Samarinda dan Ketua KPU Kota Samarinda perihal Legalitas Panwaslukada. Ada tiga poin penting dalam surat tersebut ; a. Bawaslu menjelaskan subtansi putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010, terkait dihapusnya kewenangan KPU Provinsi dan Kabupaten/kota dalam pembentukan Panitia Pengawas Pemilu. Bawaslu menambahkan bahwa Panwaslukada bentukan Bawaslu sebanyak 192 yang dinyatakan sah oleh MK juga termasuk Panwaslukada Kota Samarinda. b. Bawaslu menegaskan bahwa Putusan MK didukung oleh Mendagri dengan adanya surat Mendagri Nomor 270/1031.A/SJ tanggal 19 Maret 2010 c. Putusan MK juga didukung oleh KPU dengan adanya surat KPU Nomor 162/KPU/III/2010 perihal pelaksanaan Putusan MK. Dalam surat tersebut, Bawaslu juga menegaskan agar DPRD Samarinda segera mencabut Keputusan tentang Pembentukan Panwaslukada Kota Samarinda. Bawaslu juga meminta Pemerintah Kota Samarinda untuk memberikan dukungan anggaran dana serta sarana dan prasarana kepada Panwaslukada yang telah dinyatakan sah oleh MK. Pada bagian akhir, Bawaslu secara khusus meminta KPU Kota Samarinda untuk mematuhi putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010 tentang pengujian UU Penyelenggara Pemilu. Selain Bawaslu, Ketua Panwaslukada Kota Samarinda Asmadi Asnan juga mengirimkan surat ke Mahkamah Konstitusi untuk mengadukan adanya dualisme Panwaslukada di Kota Samarinda. Dalam surat yang bertanggal 7 Mei 2010, Asmadi meminta MK untuk menyikapi adanya dua Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Kota Samarinda, yaitu Panwaslu yang dibentuk oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Panwaslu yang dibentuk DPRD Samarinda. Terhadap surat tersebut, MK menegaskan bahwa terkait pelaksanaan putusan tersebut sepenuhnya merupakan kewenangan Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum. Bertitik tolak dari realitas tersebut, diperlukan penelitian lebih mengenai aspek-aspek sosiologis pelaksanaan putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010 oleh stakeholders yang menjadi addsresat putusan tersebut. Putusan MK sebagai putusan yang final dan mengikat serta bersifat erga omnes dalam konteks ini masih mengalami kendala dalam pelaksanaannya. Setelah putusan itu dikeluarkan, konflik dualisme Panwaslukada di Kota Samarinda tetap berlanjut. Berbagai persoalan yang mengemuka di dalamnya perlu untuk diteliti baik dalam aspek yuridis maupun sosiologis. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan bagaimana pihak penyelenggara Pemilukada di Kota Samarinda menyikapi serta menindaklanjuti putusan MK tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, makalah ini akan mengkaji lebih jauh masalah-masalah¬ sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 dalam penyelesaian konflik dualisme Panwaslukada Kota Samarinda? 2. Apa dampak tidak dilaksanakannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 terhadap pengawasan Pemilukada oleh Panwaslukada Kota Samarinda? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: a) Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 dalam penyelesaian konflik dualisme Panwaslukada Kota Samarinda; b) Untuk mengetahui apa dampak tidak dilaksanakannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 terhadap pengawasan Pemilukada oleh Panwaslukada Kota Samarinda; D. KERANGKA KONSEPSIONAL 1. Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 Pemilukada adalah subsistem dari sistem Pemilu yang demokratis, meski pemilihan yang dilakukan rakyat/masyarakat daerah mempunyai arti tersendiri bagi demokratisasi di daerah. Peletakan dasar penyelenggaraan Pemilukada pertama-tama ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”. Selanjutnya melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), Pasal 24 ayat (5) ditentukan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”. Demikian pula Pasal 56 UU Pemda menentukan, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Untuk menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 menentukan bahwa, “Pemilihan umum di diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dalam pandangan MK, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Pengertian ini lebih memenuhi ketentuan UUD 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan umum yang bersifat mandiri untuk dapat terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil. Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip luber dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Dengan demikian, MK berpandangan bahwa Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 UU 22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh unsur penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu menjadi nyata dan jelas. Dalam rangka mengawal terwujudnya pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil diperlukan adanya suatu pengawasan agar pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan berdasarkan asas pemilihan umum dan peraturan perundang-undangan (vide Penjelasan Umum UU 22/2007). Namun dalam kenyataannya, baik UU 42/2008 junctis UU 10/2008 dan UU 22/2007 tidak atau kurang memberikan penguatan (empowering) dan kemandirian kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) beserta jajarannya, untuk melakukan pengawasan baik terhadap Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maupun Pemilukada, sehingga pengawasan Pemilu tidak berjalan efektif dan hanya sekedar formalitas. Penyelenggaraan pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen akan mengancam prinsip-prinsip luber-jurdil dalam pelaksanaan pemilu. Ketentuan mengenai rekrutmen anggota Panwas yang harus diusulkan oleh KPU Provinsi untuk Panwas Provinsi serta KPU Kabupaten/Kota untuk Panwas Kabupaten/Kota menurut MK bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (5), serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, MK menyatakan pencalonan dan pengangkatan anggota Panwaslu cukup dilakukan oleh satu lembaga saja, yaitu Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atau Panwaslu. Meskipun Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 95 UU 22 tahun 2007 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun Mahkamah tidak serta merta menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat supaya tidak menimbulkan kekosongan hukum (rechtsvacuum). 2. Kemandirian Panwaslukada Berdasarkan Tafsir Konstitusional MK Dalam Kaitanya Dengan Putusan Nomor 11/PUU-VIII/2010 Sebagai sebuah legal policy, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, membentuk dua institusi eksplisit. Misalnya, disebut dalam Pasal 1, yaitu KPU sebagai Penyelenggara Pemilu, kemudian ada institusi lain yang disebut sebagai Bawaslu atau Badan Pengawas Pemilu yang tugasnya mengawasi penyelenggara pemilihan umum. Kedua institusi ini tidak boleh dikurangi independensinya satu sama lain. Terdapat tiga kategori pokok untuk menilai sebuah institusi independen atau tidak, yaitu (i) independensi dari institusi itu sendiri; (ii) independensi dari person atau orang yang mengisi institusi tersebut; (iii) independensi dari sumber keuangan. Mengenai independensi dari orang atau person yang mengisi institusi, hal itu sangat ditentukan dari proses seleksi. Sehingga untuk institusi yang disebut independen, dalam proses pengisiannya selalu melibatkan setidaknya dua institusi. Institusi yang dilibatkan harus institusi yang levelnya sama, yang satu terhadap yang lain dapat menjalankan fungsi check and balances. Pada Pengisian Bawaslu terdapat proses pengisian yang dilakukan oleh DPRD dan KPU, dua institusi tersebut tidak sama levelnya untuk melakukan fungsi check and balances. Berbeda misalnya dengan rekrutmen KPU yang dijalankan oleh eksekutif dalam hal ini Pemerintah, dengan DPR, dua institusi ini memiliki fungsi saling kontrol. Dalam UU Pemda, panitia pengawas Pilkada merupakan lembaga yang kurang menonjol di dalam pelaksanaan Pilkada. Tidak ada satu pasal khusus yang mengatur tentang panitia pangawas Pilkada. Lembaga pengawas Pilkada hanya disinggung sekilas dalam Pasal 57 ayat (3) dan ayat (4) tentang komposisi keanggotaan dan jumlah anggota Panwas Pilkada. Selain itu, terdapat pada Pasal 66 ayat 3 huruf (d) tentang tugas dan wewenang DPRD untuk membentuk panitia pangawas Pilkada. Berbeda dengan UU Pemda, dalam UU Penyelenggara Pemilu persoalan panitia pengawas Pilkada diatur secara khusus dan lebih terperinci dalam BAB IV tentang Pengawas Pemilu. Pasal 87 UU Penyelenggara Pemilu yang mengatur tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Bawaslu menegaskan bahwa, (1) KPU membentuk Tim Seleksi calon anggota Bawaslu. (2) Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membantu KPU untuk menetapkan calon anggota Bawaslu yang akan diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. (3) Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah 5 (lima) orang yang berasal dari unsur akademisi, profesional, dan masyarakat yang memiliki integritas dan tidak menjadi anggota partai politik dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir. (4) Anggota Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berpendidikan paling rendah S-1 dan berusia paling rendah 35 (tiga puluh lima) tahun. (5) Anggota Tim Seleksi dilarang mencalonkan diri sebagai calon anggota Bawaslu. (6) Komposisi Tim Seleksi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang sekretaris merangkap anggota, dan anggota. (7) Pembentukan Tim Seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan KPU dalam waktu paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung 3 (tiga) bulan setelah terbentuknya KPU. Dari aspek prosedur serta realita yang terjadi menegaskan, Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan Kabupaten/Kota tidak independen dan atau tidak mempunyai kewenangan yang penuh untuk menyelenggarakan dan memilih calon-calon anggota panitia pengawas karena para calon dimaksud telah lebih dulu diseleksi oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. Keadaan demikian potensial melanggar asas mandiri yang menjadi salah satu prinsip penting dari badan dan/atau panitia pengawas Pemilu, selain melanggar asas jujur, adil, kepastian hukum, akuntabilitas dan profesionalitas. Akibat lebih lanjutnya, kualitas penyelenggaraan Pemilu dapat dicederai atau menjadi bermasalah. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan anggota panitia pengawas yang memiliki pengetahuan dan intergritas yang baik karena KPU dan jajarannya mempunyai intensi kuat untuk menyediakan calon yang berpihak pada kepentingannya sendiri. Pada titik inilah, pengawasan menjadi bermasalah karena potensial terjadi politisasi rekrutmen di mana rekrutmen dilakukan dengan mengabaikan check and balances system serta melanggar beberapa asas penyelenggara dan penyelenggaraan Pemilu. Pada Pasal 93, Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 95 UU Penyelenggara Pemilu, calon anggota pengawas Pemilu diusulkan oleh KPU dan ditetapkan oleh Bawaslu. Menurut MK, mekanisme rekrutmen dalam ketentuan tersebut di samping akan mengakibatkan anggota-anggota pengawas pemilu menjadi tergantung pada KPU, sehingga kemandiriannya terganggu, juga sangat potensial mengakibatkan saling menghambat dalam penentuan anggota pengawas Pemilu antara Bawaslu atau Panwaslu dengan KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota. Hal ini mengakibatkan terjadinya calon yang diusulkan oleh KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota tidak ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas, atau sebaliknya KPU, KPU Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota tidak mengajukan calon Panwas sehingga tidak ada anggota Panwas yang ditetapkan oleh Bawaslu atau Panwas. Ketentuan yang demikian menimbulkan ketidakpastian hukum serta mengganggu terselenggaranya pemilihan umum secara periodik yang luber dan jurdil sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh UUD 1945. Prosedur rekrutmen yang demikian tidak memenuhi sifat mandiri sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945, karena calon yang akan mengawasi justru diusulkan oleh lembaga yang akan diawasi dengan adanya perselisihan antara KPU dan Bawaslu tersebut, menyebabkan pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum, Panwaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/Kota tidak dapat berjalan secara maksimal. MK berpandangan bahwa demi kemanfaatan dan efektivitas dari pelaksanaan Pemilukada tahun 2010 yang tahapannya sudah dimulai serta terciptanya kondisi yang kondusif di daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pemilukada, dan demi kepastian hukum yang adil serta terciptanya prinsip saling mengawasi dan mengimbangi agar Pemilukada berjalan sesuai dengan asas luber dan jurdil sesuai Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, maka 192 Panwas yang terdiri atas 7 Panwaslu Provinsi dan 185 Panwaslu Kabupaten/Kota harus dinyatakan sah dan dapat menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang masing-masing. 3. Aspek-aspek Sosiologis Pelaksanaan Putusan MK Putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Putusan tersebut bersifat final, yang berarti putusan langsung memperoleh kekuatan tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh baik banding, kasasi atau peninjauan kembali. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang bersifat declaratoir constitutief. Artinya putusan tersebut merubah hukum yang berlaku melalui undang-undang yang dinyatakan inkonstitusional, hanya merupakan pernyataan atau deklarasi belaka. Pelaksanaan putusan yang bersifat demikian telah berlangsung dengan sendirinya dan mengikat dengan pengucapan putusan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan MK tersebut menciptakan atau meniadakan satu keadaan hukum baru atau membentuk hukum baru sebagai negative legislator. Putusan MK yang sifatnya declaratoir demikian tidak membutuhkan satu aparat untuk melaksanakan putusan hakim MK. Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menyatakan bahwa putusan MK bersifat final yang berarti langsung memperoleh kekuatan hukum sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Konsep tersebut mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekusaaan kehakiman secara sederhana dan cepat sebagimana diuraikan dalam penjelasan UU MK yang secara utuh menjelaskan bahwa MK dalam menyelenggarakan peradilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tetap mengacu pada prinsip penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yakni dilakukan secara sederhana dan cepat. Putusan MK yang final dan mengikat tersebut, tidak dapat dilepaskan dengan asas erga omes yang diartikan mengikat secara umum dan juga mengikat terhadap obyek sengketa. Apabila suatu peraturan perundang-undangan oleh hakim dinyatakan tidak sah, karena bertentangan dengan perundang-undagan yang lebih tinggi, berarti peraturan perundang-undangan tersebut berakibat menjadi batal dan tidak sah untuk mengikat setiap orang. Putusan MK memiliki kekuatan mengikat secara hukum terhadap semua komponen bangsa termasuk obyek yang disengketakan. Pada dasarnya putusan MK mengikat umum, pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan ketentuan UU yang telah diputus MK harus melaksanakan putusan itu. Namun demikian, mengingat norma dalam UU adalah satu kesatuan sistem ada pelaksanaan putusan yang harus melalui tahapan-tahapan tertentu, bergantung pada substansi putusan. Ada putusan yang dapat dilaksanakan langsung tanpa harus dibuat peraturan baru atau perubahan, ada pula yang memerlukan pengaturan lebih lanjut terlebih dahulu. Putusan yang langsung dapat dilaksanakan adalah putusan membatalkan norma tertentu yang tidak menganggu sistem norma yang ada dan tidak memerlukan pengaturan lebih lanjut. Bagir Manan pernah menyatakan bahwa salah satu segi positif dari putusan yang berkarakter erga omnes adalah adanya kepastian hukum mengenai kedudukan peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi yang dinyatakan tidak sah. Sedangkan segi negatif berarti hakim tidak lagi semata-mata berfungsi menetapkan hukum (fungsi peradilan), tetapi telah berkembang hingga melakukan juga fungsi membentuk hukum (fungsi perundang-undangan). Putusan MK berbeda dengan putusan pengadilan biasa, hal tersebut berhadapan dengan UU yang memuat kebijakan, maka MK tidak memiliki instrumen untuk memaksakan (enforcement) putusan demikian. Implementasinya berlangsung secara otomatis, yang akan dienforce oleh mekanisme hukum itu sendiri. Namun tidak dapat dielakkan bahwa kenyataan sosial yang hidup merefleksikan perhadapan dan interaksi kekuatan-kekuatan sosial yang berpengaruh terhadap proses pembentukan kebijakan baru dalam revisi undang-undang untuk memenuhi putusan MK. Konfrontasi atau interaksi antara kekuatan-kekuatan sosial akan menentukan implementasi putusan MK yang dapat digunakan mengukur efektivitas berjalannya mekanisme checks and balances melalui kewenangan MK. Ada dua hal yang harus dipahami dalam melihat realitas keberlakuan putusan MK, pertama, apakah masyarakat cukup memahami, menerima dan bersedia memberikan dukungan terhadap putusan tersebut sebagai pendapat MK yang merupakan tafsir atas UUD 1945 yang mengikat. Kedua, sejauhmana putusan tersebut dilaksanakan oleh eksekutif dan legislatif dalam bentuk revisi undang-undang dan pembentukan peraturan pelaksanaan serta seberapa jauh putusan tersebut dipatuhi oleh hakim dalam pengambilan keputusan (decision making) ketika menyelesaikan pekara yang didasarkan pada undang-undang yang telah diuji tersebut. Terkait fenomena di atas, Satjipto Rahardjo menilai bahwa hukum sama sekali tidak dapat dilepaskan dari partisipasi publik. Kemampuan hukum terbatas, mempercayakan segala sesuatu kepada hukum adalah sikap realistis dan keliru. Hukum adalah institusi yang tidak memiliki kapasitas absolut untuk menuntaskan tugasnya sendiri. Secara empirik terbukti, untuk melakukan tugasnya ia selalu membutuhkan bantuan, dukungan, tambahan kekuatan publik. Di samping itu, masyarakat memiliki kekuatan otonom untuk melindungi dan menata diri. Kekuatan itu untuk sementara tenggelam di bawah dominasi hukum modern yang notabene adalah hukum negara. Lebih lanjut Satjipto menegaskan bahwa dorongan terhadap partisipasi publik harus tetap terjaga dengan baik agar tidak memberikan hasil sebaliknya. Hal tersebut harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan kecermatan. Hukum seharusnya tidak dimonopoli oleh kekuasaan, proses dan institusi formal semata, namun kekuatan otonom masyarakat harus bangkit untuk memulihkan hukum sebagai institusi yang bermartabat menuju bangsa sejahtera dan bahagia. E. Metodologi Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, dalam artian tidak sekadar mendeskprisikan putusan MK Nomor 11/PUU-VIII/2010 sebagai objek penelitian, tetapi juga meliputi analisis terhadap pelaksanaan putusan oleh penyelenggara pemilu dalam hal ini Panwaslukada Kota Samarinda. Oleh karena itu, penelitian ini tidak hanya membutuhkan pendekatan normatif-yuridis (doktrinal), namun juga dilengkapi dengan pendekatan non doktrinal. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa putusan MK sebagai produk hukum berkaitan dengan perilaku manusia karena putusan tidak dapat eksis tanpa dipadukan dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi addresat suatu putusan. Berdasarkan hal tersebut, pendekatan socio legal method akan melengkapi pendekatan yuridis normatif yang akan diterapkan dalam penelitian ini. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dapat dikelompokkan menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang sesuai dengan objek penelitian. Untuk mendapatkan data sekunder akan dilakukan melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan menggunakan studi dokumenter terhadap referensi-referensi yang relevan dengan objek penelitian yang didapatkan dari peraturan perundang-undangan, buku dan artikel serta dalam kamus dan ensiklopedia. Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan selanjutnya dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan memperhatikan fakta yang betul-betul terjadi selanjutnya dibandingkan dengan data sekunder untuk kemudian diambil kesimpulan.
Share:

14 Maret 2013

Membedah Hukum Represif, Otonom dan Responsif

Philippe Nonet dan Philip Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar hukum dalam masyarakat, yaitu : (1) hukum sebagai pelayan kekuasaan represif. (2) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya, dan (3) hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial. Dasar dari hukum masyarakat ini diusulkannya sebagai upaya memperjelas berbagai keterkaitan yang sistematik tersebut dan untuk mengidentifikasi konfigurasi-konfigurasi khas di mana keterkaitan-keterkaitan itu terjadi. Kekuasaan represif dimaknai sebagai kekuasaan yang tidak memberikan perhatian kepada masyarakat. Segala bentuk penyelenggaran kekuasaan tidak dijalankan atas nama rakyat, bahkan mendelegitmasi eksistensi rakyat itu sendiri. Untuk memahami lebih dalam mengenai hukum represif, Nonet menjelaskannya dalam lima karakter sebagai berikut; Pertama, institusi hukum langsung dapat diakses oleh kekuatan politik, hukum diidentifikasikan sama dengan negara dan ditempatkan di bawah tujuan negara. Kedua, eksistensi sebuah otoritas merupakan hal yang sangat penting dalam administrasi hukum. Ketiga, bahwa lembaga-lembaga kontrol yang khusus seperti polisi, menjadi pusat-pusat kekuasaan yang independen, mereka terisolasi dari konteks sosial yang berfungsi memperlunak serta mampu menolak otoritas politik. Keempat, rezim dengan model demikian melembagakan keadilan berdasarkan kelas dengan cara konsolidasi melegitimasi pola-pola subsordinasi sosial. Kelima, bahwa hukum pidana merefleksikan nilai-nilai yang dominan, moralisme hukum yang akan menang. Dalam konteks ekonomi kekuasaan, hukum represif menghendaki adanya tertib hukum dengan ciri-ciri sebagai berikut: 1. Pengadilan dan aparat hukum adalah instrumen penguasa yang mudah diatur. Institusi hukum melayani negara. 2. Tujuan utama hukum adalah ketertiban umum 3. Institusi-institusi hukum mempunyai sedikit sumber daya lain selain kekuatan pemaksa negara. 4. Aturan hukum memberikan corak otoritas pada kekuasaan, tapi penggunaan aturan tersebut disesuaikan dengan kriteria kelayakan politik. Represi lahir karena miskinnya sumber daya politik. Secara umum potensi represi dibangkitkan ketika tugas yang urgen harus dihadapi di dalam kondisi kekuasaan yang memadai namun minim sumber daya. Di samping itu represi muncul karena jangkauan pemerintah yang berlebihan dan ketidakberdayaan negara untuk memenuhi tuntutan-tuntutan masyarakat. Implikasi dari adanya represifitas tersebut dapat pula dilihat dalam hubungan antara negara dengan badan-badan penegak hukum. Dalam praktik, badan-badan khusus dibentuk untuk menjaga ketertiban dan menegakkan kedaulatan. Ada tiga yang menjadi faktor yang menyebabkan produk hukum menjadi represif; 1. Hukum melembagakan hilangnya hak-hak istimewa yang tidak harus bergantung pada pada hak suara dari kelas bawah. 2. Hukum melembagakan ketergantungan. Dalam konteks ini kaum miskin dianggap sebagai beban negara yang bergantung pada lembaga-lembaga khusus. 3. Hukum mengorganisasikan pertahanan sosial untuk melawan kondisi sosial kemasyaratan yang dianggap mengganggu ketertiban, misalnya kemiskinan yang berakibat pada munculnya ‘gelandangan’ dimana hal tersebut merupakan kejahatan dalam hukum. Dengan demikian, wujud hukum represif dapat dilihat dalam dua gambaran utama, pertama integrasi yang dekat antara hukum dan politik. Kedua, diskresi pejabat yang tidak terkontrol, hal ini merupakan upaya untuk mempermudah mempermainkan hukum. Bertitik tolak dari beberapa kelebihan dan kelemahan hukum represif, lahirlah hukum otonom yang lebih menekankan pada konsolidasi dan otonomi kelembagaan. Hukum varian ini identik dengan istilah “rule of law” dimana kondisi tersebut akan bangkit tatkala institusi-institusi hukum mendapat otoritas yang cukup independen untuk memaksakan standar pengendalian dalam kekuasaan pemerintahan. Untuk dapat lebih memahami hukum otonom, dapat dilihat dari karakternya sebagai berikut; 1. Hukum terpisah dari politik. Sistem hukum ini menyatakan kemandirian kekuasaan peradilan, dan membuat pemisahan yang tegas antara fungsi legislatif dan yudikatif. 2. Tertib hukum mendukung “model peraturan” (models of rules) 3. Prosedur adalah jantung hukum. Keteraturan dan keadilan merupakan tujuan dan kompetensi utama dan tertib hukum. 4. Ketaatan pada hukum dipahami sebagai kepatuhan yang sempurna terhadap peraturan-peraturan hukum konstitusif. Hal yang perlu dicatat bahwa peralihan dari hukum represif menuju hukum otonom adalah pencarian akan legitimasi. Setiap karakter hukum otonom dapat difahami sebagai legitimasi. Demikian pula halnya dengan pemisahan antara hukum dan politik, dimana hal tersebut merupakan strategi utama legitimasi. Dengan pola itu hukum otonom membawa legitimasi baik bagi dirinya maupun bagi tatanan politik. Selain karakter, hukum otonom juga memiliki sifat sebagai berikut; 1. Peraturan adalah sumber yang andal untuk melegitimasi kekuasaan 2. Pembatasan pada hakim, maka cakupan diskresinya menjadi sempit. Maka kekuasan yudikatif lebih mudah memberikan justifikasi. 3. Jumlah peraturan yang semakin meningkat berimbas pada munculnya kompleksitas dan konsistensi. 4. Orientasi pada peraturan cenderung membatasi tanggungjawab sistem hukum 5. Hukum otonom tetap konsisten pada upaya menjadikan hukum sebagai sarana kontrol sosial. Kompetensi utama hukum otonom adalah kapasitasnya untuk mengendalikan otoritas penguasa dan membatasi kewajiban-kewajiban warga negara. Dalam konteks jangka panjang, diperlukan adanya perubahan dalam tertib hukum untuk membangkitkan harapan-harapan bahwa hukum merespon secara fleksibel masalah dan berbagai tuntutan baru. 

Adalah Jerome Frank yang menyatakan bahwa realisme hukum adalah untuk membuat hukum menjadi lebih responsive terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial. Demikian pula dengan sociological jurisprudence digunakan untuk memberikan pemahaman bagi institusi hukum agar lebih responsif mempertimbangkan fakta sosial dimana hukum berproses dan diaplikasikan. Hukum yang baik pada dasarnya harus menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekadar keadilan prosedural. Hukum yang baik harus berkompeten dan adil, mampu mengenali keinginan public serta memiliki komitmen bagi terwujudnya keadilan substantif. Ciri khas utama dari kelompok realis dan sosilogis adalah menerobos kebekuan dan kebuntuan pengetahuan hukum. Kondisi ini mendorong kearah prespektif yang lebih luas mengenai partisipasi hukum dan peranan hukum. Pada akhirnya aktivisme, keterbukaan dan komptensi kognitif bersatu menjadi landasan fundamental. Hukum represif, hukum otonom dan hukum responsif dapat dipahami sebagai tiga respon terhadap dilema yang ada antara integritas dan keterbukaan. 

Ciri-ciri hukum represif adalah adaptasi pasif dan oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial dan politik. Hukum otonom merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang tidak sesuai aturan. Adapun hukum responsif berusaha mengatasi dua persoalan tersebut. Sebuah institusi yang responsif adalah tetap mempertahankan hal-hal yang esensial sembari tetap memperhatikan keberadaan kekuatan baru di dalam lingkungannya. Hukum responsif memperkuat cara-cara bagaimana keterbukaan dan integritas dapat saling menopang meski keduanya saling bertentangan. Dalam masa transisi dari otonomi menjadi responsif, tahapan yang paling kritis adalah generalisasi tujuan-tujuan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa ciri khas hukum responsif adalah pencarian terhadap nilai-nilai yang tersirat dalam peraturan dan kebijakan. Contoh yang paling aktual adalah Doktrin “due process” yang dimaknai sebagai doktrin konstitusional. Nilai-nilai tersebut mendorong pembentukan peraturan baru dan mengarahkan pada perluasan sistem “due process” yang selanjutnya menjadi latar institusional yang baru. Dengan demikian, meskipun potensi responsivitas dalam setiap tertib hukum yang modern, pemenuhan janji akan responsivitas tersebut bergantung pada konteks politik yang mendukung. Hukum responsive mensyaratkan suat masyarakat yang memiliki kapasitas politik untuk menyelesaikan berbagai ragam permasalahannya, menetapkan skala prioritas dan membuat komitmen yang diperlukan. 

Pada dasarnya hukum responsif bukanlah sebuah keajaiban dalam konteks keadilan. Untuk mewujudkan hukum yang responsif sangat bergantung pada langkah dan upaya serta sumber daya dalam komunitas politik. Sumbangan terbesar hukum responsif tak lain adalah menjadi fasilitator tujuan public serta membangkitkan semangat untuk menata kembali proses pemerintahan. Tanggapan Hukum represif mengingatkan kita akan gambaran teori Thomas Hobbes, John Austin dan Karl Max. Dimana hukum merupakan perintah dari yang berdaulat yang pada prinsipnya memiliki diskresi yang tidak terbatas. Hukum dan negara merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sedangakan hukum otonom adalah bentuk pemerintahan yang dilihat dan dikenal sebagai “rule of law” dalam teori yang dikemukakan oleh A.V. Dicey. Hukum yang otonom, karena ia berupaya untuk mengontrol dan mempersempit diskresi, menginginkan langgengnya isolasi jabatan. Dibawah kondisi kekuasaan yang berbelit-belit dan terintegrasi, resiko terjadinya represi akan berkurang dan persoalan hukum menjadi berkurang dalam membatasi pejabat daripada membuat mereka berkomitmen kepada kepentingan publik. Karena pembaruan terhadap fokus pada tujuan mungkin memerlukan perluasan diskresi. Hukum responsif lahir sebagai jalan tengah mengatasi persoalan mendasar pada 2 tipe hukum sebelumnya. Hukum yang lahir untuk memberikan respon terhadap berbagai persoalan yang tidak mampu diselesaikan oleh hukum represif dan otonom. 

 Dalam konteks Indonesia, hukum responsif telah menjadi semacam tolok ukur dalam setiap pergantian rezim atau lazim disebut masa transisi. Bahwa masuknya pemerintah kedalam pola kekuasaan yang bersifat menindas, melalui hukum, berhubungan erat dengan masalah kemiskinan sumber daya pada elite pemerintah. Penggunaan kekuasaan yang bersifat menindas, terdapat pada tatanan politik tertentu. Hukum berkaitan erat dengan kekuasaan karena tata hukum senantiasa terikat pada status quo. Tata hukum tidak mungkin ada jika tidak terikat pada suatu tata tertentu yang menyebabkan hukum mengefektifkan kekuasaan. Penggunaan kekuasaan itu bisa melahirkan karakter hukum yang menindas maupun karaktek hukum otonom, tergantung pada tahap pembentukan tata politik masyarakat yang bersangkutan. 

Pada sisi strategi pembangunan hukum, Mahfud MD dalam bukunya Politik Hukum di Indonesia menyebutkan bahwa setidaknya terdapat dua macam strategi pembangunan hukum yang berpengaruh pada karakter produk hukum, yaitu pembangunan hukum ortodoks (sebagaimana dijelaskan oleh John Henry Marryman dalam bukunya The Civil Law Tradition) dan pembangunan hukum responsif. Pada strategi pembangunan hukum ortodoks peranan lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominan menentukan arah perkembangan hukum. Akan tetapi sebaliknya strategi pembangunan hukum responsive lebih bertumpu pada lembaga peradilan yang diikuti peran serta kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Demikian pula halnya produk hukum, kedua strategi tersebut memiliki produk hukum yang berbeda. Strategi pembangunan hukum ortodoks bersifat posivistis-instrumentalis. yaitu menjadi landasan yang kuat bagi pelaksanaan ideologi serta program negara. Dimana hukum dimaknai sebagai perwujudan nyata dari visi sosial pemegang kekuasaan negara. Adapun strategi pembangunan hukum responsif, akan menghasilkan hukum yang bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntunan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakatnya.
Share:

29 Januari 2013

Two Days for Two Continents: The International Symposium

The 50th Anniversary of the Turkish Constitutional Court was celebrated with various activities in Ankara and Istanbul between 25 and 28 April 2012. Presidents, Judges and Experts of Constitutional and Supreme Courts from 57 countries from different continents of the world, and their spouses participated in the international symposium and social activities. Opening ceremony of the 50th Anniversary of the Constitutional Court of the Republic of Turkey started with the oath-taking ceremony of new Court Members, who have been recently appointed to the Constitutional Court, Mr. Muammer TOPAL and Prof. Dr. Zühtü ARSLAN at 10:00 on 25 April 2012. Subsequently, the President HaÅŸim KILIÇ (Turkish Constitutional Court), President Nicolas BRATZA (the European Court of Human Rights) and the President of the Republic of Turkey H.E. Mr. Abdullah GÃœL delivered opening speeches of the 50th Anniversary of the Constitutional Court. International symposium on “Movements of Rights and Freedoms in the 21st Century and the Role of Constitutional Courts” was held at Ankara Rixos Grand Hotel. Presentations of invited countries were divided into 4 sessions and the first day of the symposium programme ended at 18:30. The second day of the symposium started at 9.30 on 26 April 2012, another 4 sessions were held, and it came to an end at 16:30 with the closing speech of the Vice-President of the Constitutional Court Mr. Serruh KALELÄ°. During the symposium, cultural tour programmes were arranged for the spouses on 25-26 April who preferred not to participate in the scientific programme. A cocktail reception was given to the guests in the Constitutional Court building at the end of the symposium and an exhibition of photographs taking the Constitutional Court from past to present as subject matter was strolled around. The invited guests had the opportunity to watch the performance of the State Folk Dances Group and the concert of modern music groups. The foreign delegations participating in the 50th Anniversary departed from Ankara to Istanbul by a private flight on 27 April, accompanied by the Judges and Rapporteur Judges of our Court. The delegations, after having visited Miniaturk, Dolmabahçe Palace and Bosphorus, found the opportunity to listen to the speeches made by the Prime Minister Mr. Recep Tayyip ERDOÄžAN and the former Prime Minister of Jordan Mr. Awn Al KHASAWNEH, after the cocktail reception held in ÇıraÄŸan Palace in the evening. The Blue Mosque was visited and after watching the performance and special concert of the janissary band of musicians, the first military band in the world history, at the entrance of Topkapı Palace, the Palace was explored by the visiting delegations. The guests found the opportunity to see the Museum of Hagia Sofia and Grand Bazaar. The delegations having had a tour of the Bosphorus by boat moved on to Hagia Eirene for the gala night performance. Following the performance of State Opera and Ballet Group, the concert of Antioch Choir and the performance of the Whirling Dervishes, the activities came to an end with the address of thanks of the President of the Constitutional Court Mr. HaÅŸim KILIÇ to the delegations having participated in the 50th Anniversary. Click on the Participant List Click on the Symposium Programme Click on the photographs
Share:

13 Mei 2012

Jurnal Konstitusi Kembali Raih Akreditasi LIPI

Cibinong (3/5/2012) Jurnal Konstitusi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia kembali meraih akreditasi LIPI setelah pada tahun 2011 mendapat akreditasi C. Dalam pedoman akreditasi jurnal ilmiah terbaru, predikat A, B dan C telah diubah menjadi jurnal ilmiah akreditasi dan jurnal ilmiah tidak terakreditasi. Hadir dalam acara tersebut Kapuslitka Noor Sidharta serta beberapa redaktur Jurnal Konstitusi lainnya. Dalam kesempatan yang sama, dilakukan penyerahan Surat Keputusan Kepala LIPI dan sertifikat akreditasi kepada pengelola Jurnal ilmiah. Sertifikat akreditasi diserahkan oleh Kepala LIPI Lukman Hakim di Pusbindiklat Peneliti LIPI, Cibinong. Akreditasi tersebut berlaku selama tiga tahun (April 2012-April 2015). Dari tujuh puluh (70) jurnal ilmiah yang diajukan ke Panitia Penilai Majalah Ilmiah (P2MI) LIPI hanya empat puluh delapan (48) yang terakreditasi. Jurnal Konstitusi merupakan salah satu dari 48 jurnal Imliah yang terakreditasi. Dalam keputusan Kepala LIPI disebutkan pula sebanyak dua puluh dua (22) jurnal yang tidak terakreditasi. Bagi jurnal-jurnal tersebut dapat mengajukan akreditasi dengan menunggu 2 (dua) atau 4 (empat) terbitan terbaru. “Selamat bagi jurnal ilmiah yang terakreditasi, bagi yang tidak terakreditasi tetap semangat dan dapat mengajukan kembali dengan persyaratan tertentu, namun untuk jurnal yang terakreditasi tidak boleh terlena, tapi harus meningkatkan kualitas sebagaimana evaluasi yang telah disampaikan” papar Kepala LIPI Lukman Hakim dalam sambutannya. Usai sesi foto bersama dengan Kepala LIPI, acara serah terima tersebut diakhiri dengan ramah tamah dan makan siang bersama. Untuk meningkatkan kualitas jurnal ilmiah terakreditasi, (P2MI) LIPI memberikan penilaiaan dan catatan evaluatif yang harus ditindaklanjuti oleh pengelola jurnal. Evaluasi berkisar dari aspek teknis redaksional sampai substansi. Sebagaimana tercantum dalam pedoman akreditasi jurnal ilmiah LIPI terbaru (No.04/E/2011), ada 8 (delapan) unsur penilaian diantaranya substansi, penyunting dan mitra bestari (reviewer), gaya penulisan, kelembagaan penerbit, keberkalaan, penampilan, layanan tambahan dan penamaan. Akreditasi dilakukan untuk memberikan penghargaan terhadap mutu Karya Tulis Ilmiah (KTI) dalam jurnal ilmiah di Indonesia serta merangsang para ilmuwan agar meningkatkan dan menjaga mutu KTI yang dihasilkan. Selain itu, akreditasi juga dapat menjadi acuan penilaian KTI dalam penetapan angka kredit jabatan fungsional peneliti, akademis dan jabatan fungsional terkait lainnya. [MMA/AR] sumber:http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=website.Berita.Berita&id=6900
Share:

21 Desember 2011

Pemilukada: Industrialisasi Politik dan Responsibilitas Mahkamah Konstitusi

Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilikada) yang diajukan Pemerintah kembali menempatkan Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi menjadi lembaga yang akan menangani sengketa hasil pemilihan umum Kepala Daerah. Beberapa pakar hukum tata negara mensinyalir rencana pemerintah itu merupakan reaksi atas keanehan-keanehan yang dilakukan MK dalam putusan-putusannya. Sementara itu sangat menarik pernyataan Romahurmuji wasekjen tentang problematika perpolitikan hari ini (Kompas 15 April) menurutnya telah terjadi industrialisasi parpol, kenyataan ini terlihat dari angaran kampanye resmi yang dilaporkan ke KPU, besaran belanja politik resmi berbanding lurus dengan perolehan suara parpol. Inilah konsekwensi demokrasi berbasis kapital, bukan ideologi. Politik hari ini bergantung pada uang, seorang bisa terpilih sebagai bupati atau anggota DPRD di semua tingkatan dengan memberi uang kepada pemilih.Jika ditarik benang merah dua pernyataan ini, akan muncul konklusi bahwa sengketa politik sengketa hasil pemilihan umum di berbagai tingkatan merupakan sengketa bisnis, sengketa angka-angka. Karena itu sengketa ini lebih pantas diperiksa murni di ranah hukum dipengadilan negeri dan berpuncak di Mahakamah Agung. Benarkah konklusi ini ? bisa benar bisa juga tidak, namun dua gejala yang tidak bersinggungan langsung ini patut mendapat perhatian sungguh-sungguh jika diletakkan dalam kerangka penyusunan UU Pemilukada kedepan. Utamanya untuk mendorong terciptanya demokrasi yang berdasarkan konstitusi dan menghormati kedaulatan hukum (nomokrasi).
Rezim pemilu
Pemilukada awalnya diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, aturan ini mengandung sejumlah kelemahan baik dari segi sistem maupun aturan teknisnya. Paradigma UU ini meletakkan pilkada sebagai “domain pemerintahan daerah” - bukan domain pemilihan umum - sehingga instrumen pelaksana (penyelenggara) dan peleksanaannya (peraturan pelaksanaan) mengalami bias pengaruh (intervensi) dari pemerintah. Hal ini jelas berpengaruh pada tingkat independensi penyelenggara dan penyelenggaraannya. Padahal prinsip independensi penyelengara merupakan faktor signifikan dalam pemilihan langsung.
Kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilukada adalah rezim pemilu. Putusan ini telah mendorong lahirnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang telah merevisi ketentuan penyelenggaraan pemilukada di dalam UU No. 32 Tahun 2004. UU No. 22 Tahun 2007 meletakkan pemilukada sebagai bagian dari rejim pemilu, sehingga penyelenggara ic Komisi Pemilihan Uumum di Daerah (KPUD) dengan independensinya bertanggung jawab menyelenggarakan pemilukada. Demikian juga dalam pembentukan Badan Pengawas Pemilu (atau Panitia Pengawas di tingkat lokal), UU ini juga mengatur pembentukan dan rincian tugasnya serta dijamin independensinya. Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 dituangkan dalam UU No. 14 Tahun 2008. Perubahan ini juga telah melakukan revisi subtansial terhadap penyelenggaraan pilkada khususnya dalam mengakomodasi hadirnya calon perseorangan (independen).

Industrialisasi Pemilukada
Meski telah jelas masuk dalam rezim pemilu yang berlandaskan pada prinsip-prinsip langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil, pelaksanaan pemilukada masih jauh dari sebuah bangunan demokrasi yang ideal. Dari berbagai penelitian, data Kementerian Dalam Negeri maupun dari identifikasi masalah-masalah yang muncul dalam pemeriksaan sengketa hasil pemilu (PHPU) di MK nampak tergambar memang industrialisasi politik menjadi sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan.
Beberapa masalah terkait pelaksanaan pemilukada antara lain, pertama: pemilukada menjadi salah satu penyebab banyaknya kepala daerah yang melakukan korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri Tahun 2011 menyatakan ada 17 Gubernur, 135 Bupati dan Walikota yang tersangkut kasus korupsi. Demikian juga kredibilitas sang calon kepala daerah sejak awal sudah bermasalah, Ijazah palsu, pernah dihukum atau perbuatan tercela lainnya muncul sebagai faktor kegagalan pemilukada. Oleh karena itu partai politik sangat bertanggung jawab dalam seleksi pemilihan calon kepala daerah sebelum akhirnya calon tersebut dipilih oleh masyarakat.
Kedua, kualitas pelaksanaan pemilukada selama ini memang masih banyak kekurangan dan harus diperbaiki. Berbagai permasalahan tersebut diantaranya adalah; tiadanya pembatasan dana kampanye dan pembatasan ruang publik yang digunakan untuk kampanye. Karena tidak ada pembatasan, maka semua calon kepala daerah akan berlomba-lomba memaksimalkan modal kampanyenya untuk membuat atribut kampanye dan dipasang di berbagai ruang publik. Demikian juga modal yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah menjadi sangat besar, selain untuk membeli “perahu partai pendukung”, membiayai kampanye juga biaya membeli suara pemilih (money politics).
Persoalan teknis lain yang berdampak luar biasa adalah masalah kesemrawutan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Masalah DPT bukanlah persoalan sepele karena kesemrawutan DPT telah menghilangkan banyak hak pilih warga negara yang notabene merupakan hak asasinya. Selain itu kesemrawutan DPT bisa juga dimanfaatkan untuk tujuan politis pemenangan salah satu calon yang berarti mencederai proses pemilihan yang harusnya berlangsung secara jujur.
Ketiga, persoalan pemilukada ini juga semakin diperkeruh oleh keterbatasan kualitas dan kapasitas dari anggota KPUD. Di beberapa kasus terjadi, pentahapan pemilukada berlangsung kacau balau, dan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh KPUD yang berbuntut berbagai gugatan. Dalam beberapa perkara PHPU di MK terungkap KPUD dengan sengaja mengabaikan perintah putusan peradilan, bahkan sengaja mencari-cari alasan agar para bakal calon pasangan peserta menjadi tidak punya waktu untuk mendaftar sebagai peserta Pemilukada. Adanya indikasi KPUD melakukan pemihakan bertindak diskriminatif menghalang-terpenuhinya syarat bakal pasangan calon atau sebaliknya berupaya untuk meloloskan bakal pasangan calon yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilukada dengan motif untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Ini sebuah modus yang sangat membahayakan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Responsibilitas MK
Peran Mahkamah Konstitusi mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan pilkada pada titik tertentu perlu diacungi jempol. Hukum acara (Peraturan MK No. 15/PMK/2008) telah menentukan secara terbatas objek pemeriksaan PHPU adalah “hasil perhitungan suara” pemilukada yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua dan/atau terpilihnya pasangan Calon sebagai kepala daerah & wakil kepala daerah. Ini berarti hukum acara telah menentukan secara rigid bahwa objek perselisihan hasil pemilukada adalah berupa angka-angka perhitungan suara. Namun MK dengan putusan-putusannya telah merespon hampir semua permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pemilukada melampauai rigiditas hukum acara dengan cara penafsiran ekstensif.
Putusan MK No. 57/PHPU.D/2008 tentang PHPH Kabupaten Bengkulu Selatan misalnya, MK membatalkan hasil perhitungan pemilukada dengan argumen: meskipun secara legal formal MK tidak berwenang menguji adanya pelanggaran (syarat, kelalaian/ kesengajaan meloloskan syarat, itikad buruk menyembunyikan keadaan pernah dihukum, perolehan angka dengan misrepresentation) dalam pemilukada, namun keadaan yang terjadi telah melanggar konstitusi yang tidak dapat ditolerir (intolerable condition).
Sebagai “pengawal konstitusi” MK memilih konstitusi dan mengesampingkan norma UU, ketika semua lembaga pemangku kewenangan (KPUD/Kepolisian/Panwas/Pengadilan) membiarkan keadaan menuju tidak tercapainya konsolidasi demokrasi, maka untuk menjaga jangan sampai ada ketentuan konstitusi dilanggar, berdasarkan “prinsip proporsionalitas” MK wajib meluruskan keadaan supaya pemilikada serasi dengan asas demokrasi. Ketidak jujuran, kebohongan publik dan pelecehan hukum dan pemerintahan oleh Bupati terpilih, setidaknya telah mencederai UUD 45.
Demikian juga soal pemohon yang berhak mengajukan keberatan (legalstanding), rigiditas hukum acara tidak menghalanginya mewujudkan keadilan dalam masyarakat. MK melakukan banyak terobosan. Ketentuan legal standing yang membatasi pemohon hanya kepada pasangan calon yang terdaftar mengikuti pemilukada saja telah ditafsir secara ekstensif, kini MK memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada bakal pasangan calon yangg telah resmi mendaftarkan diri namun tidak ditetapkan oleh KPUD (putusan MK antara lain No. 196, 197, 198/PHPU.D-VIII/2010 ( PHPU Papua) dan No.31/PHPU.D-III/2011 (Tapanuli Tengah).
Ekstensifikasi legal standing ini dirumuskan MK karena adanya alasan-alasan yang dapat melanggar norma-norma konstitusi, kedaulatan hukum (nomokrasi) , dan kedaulatan rakyat (demokrasi), yaitu pelangaran hak untuk menjadi pasangan calon (right to be candidate), pengabaian perintah putusan pengadilan dan sikap keberpihakan KPUD pada pasangan calon tertentu dengan sengaja menghalang-halangi terpenuhinya persyaratan calon lainnya.
the dreaming court
Dengan terobosan-terobosannya MK telah melenturkan rigiditas hukum acara. Putusan-putusannya telah berperan dengan sangat baik sebagai penjaga konstitusi. Beragam putusan yang progresif telah lahir dari tangan institusi hukum yang dilahirkan dari rahim reformasi ini. Melalui putusannya MK telah merubah paradigma, cara berpikir dan bertindak dalam bernegara, bermasyarakat dengan selalu mendasarkan pada konstitusi, prinsip-prinsip demokrasi, nomokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Bagaimana dengan pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (MA) yang dalam RUU Pemilukada oleh pemerintah diusulkan menggantikan peran MK. Adalah realitas meski telah ada sistem pembaruan dan renumerasi di MA dan jajarannya, namun masalah-masalah penumpukan perkara, mafia hukum, belum transparan, lambannya birokrasi peradilan masih sering kita rasakan dan saksikan dalam keseharian. Secara normatif telah ada pembaruan namun dilevel pelaksanaan masih konvensional. Masih menjadi pekerjaan rumah para pimpinan MA untuk berbenah diri.
Adalah tidak bijaksana menyerahkan kembali kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada Mahkamah Agung (MA) dan jajarannya, karena itu merupakan pilihan yang mundur (setback). Selain telah adanya penegasan aturan yang menempatkan pemilukada sebagai rezim pemilihan umum yang menjadi ranah MK, praktek penegakan hukum membuktikan MA dan jajarannya belum siap dan masih harus berbenah diri.
Kita membutuhkan peradilan modern yang dengan konsisten menerapkan prinsip-prinsip transparansi, independent dan imparsial sebagai peradilan impian (the dreaming court) bagi setiap pencari keadilan karena peradilan selalu digelar dengan cepat dan sederhana bahkan tidak hanya murah, tetapi gratis pula. Dan itu telah dilakukan oleh MK !
[Ditulis oleh Abdul Fickar Hadjar]
Sumber: http://politik.kompasiana.com/2011/04/29/pemilukada-industrialisasi-politik-dan-responsibilitas-mahkamah-konstitusi/
Share:
Diberdayakan oleh Blogger.

Preface

Welcome to e-Law Corner

The weblog focused on
Law and Constitution,
We'll Let's share about it,
Happy reading...
Regards,

e-Law Corner Team

CC Recent Decision

Categories

2009 (2) Agraria (1) Akreditasi (1) Articles (1) Capres (1) Demokrasi (1) demokratis (1) DPT (2) Hijrah (1) Hukum Acara (1) Implementasi (1) Independen (1) Indonesia (1) Jurnal (1) Kapitalis (1) Konstitusi (2) KPU (1) KTP (1) Law (2) Legal (7) Lembaga (1) LIPI (1) Masif (1) MK (12) Negara (1) News (2) Nomor Urut (1) Panwaslukada (1) Partai (1) Paspor (1) Pelanggaran (1) Pembubaran (1) Pemilu (2) Pemilukada (2) Penafsiran (1) Peneliti (1) PHPU (2) Pileg (1) Pilpres (1) PMK (2) Politik (2) Politik Hukum (1) presidential (1) Probono (1) Putusan (1) Resensi (2) Review (7) Sistematis (1) Suara (1) Symposium (1) Tekstual (1) Terbanyak (1) Terstruktur (1) threshold (1) Turki (1)

Archives