Let's share about Law...

21 Desember 2011

Pemilukada: Industrialisasi Politik dan Responsibilitas Mahkamah Konstitusi

Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilikada) yang diajukan Pemerintah kembali menempatkan Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi menjadi lembaga yang akan menangani sengketa hasil pemilihan umum Kepala Daerah. Beberapa pakar hukum tata negara mensinyalir rencana pemerintah itu merupakan reaksi atas keanehan-keanehan yang dilakukan MK dalam putusan-putusannya. Sementara itu sangat menarik pernyataan Romahurmuji wasekjen tentang problematika perpolitikan hari ini (Kompas 15 April) menurutnya telah terjadi industrialisasi parpol, kenyataan ini terlihat dari angaran kampanye resmi yang dilaporkan ke KPU, besaran belanja politik resmi berbanding lurus dengan perolehan suara parpol. Inilah konsekwensi demokrasi berbasis kapital, bukan ideologi. Politik hari ini bergantung pada uang, seorang bisa terpilih sebagai bupati atau anggota DPRD di semua tingkatan dengan memberi uang kepada pemilih.Jika ditarik benang merah dua pernyataan ini, akan muncul konklusi bahwa sengketa politik sengketa hasil pemilihan umum di berbagai tingkatan merupakan sengketa bisnis, sengketa angka-angka. Karena itu sengketa ini lebih pantas diperiksa murni di ranah hukum dipengadilan negeri dan berpuncak di Mahakamah Agung. Benarkah konklusi ini ? bisa benar bisa juga tidak, namun dua gejala yang tidak bersinggungan langsung ini patut mendapat perhatian sungguh-sungguh jika diletakkan dalam kerangka penyusunan UU Pemilukada kedepan. Utamanya untuk mendorong terciptanya demokrasi yang berdasarkan konstitusi dan menghormati kedaulatan hukum (nomokrasi).
Rezim pemilu
Pemilukada awalnya diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, aturan ini mengandung sejumlah kelemahan baik dari segi sistem maupun aturan teknisnya. Paradigma UU ini meletakkan pilkada sebagai “domain pemerintahan daerah” - bukan domain pemilihan umum - sehingga instrumen pelaksana (penyelenggara) dan peleksanaannya (peraturan pelaksanaan) mengalami bias pengaruh (intervensi) dari pemerintah. Hal ini jelas berpengaruh pada tingkat independensi penyelenggara dan penyelenggaraannya. Padahal prinsip independensi penyelengara merupakan faktor signifikan dalam pemilihan langsung.
Kemudian Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pemilukada adalah rezim pemilu. Putusan ini telah mendorong lahirnya UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang telah merevisi ketentuan penyelenggaraan pemilukada di dalam UU No. 32 Tahun 2004. UU No. 22 Tahun 2007 meletakkan pemilukada sebagai bagian dari rejim pemilu, sehingga penyelenggara ic Komisi Pemilihan Uumum di Daerah (KPUD) dengan independensinya bertanggung jawab menyelenggarakan pemilukada. Demikian juga dalam pembentukan Badan Pengawas Pemilu (atau Panitia Pengawas di tingkat lokal), UU ini juga mengatur pembentukan dan rincian tugasnya serta dijamin independensinya. Perubahan Kedua UU No. 32 Tahun 2004 dituangkan dalam UU No. 14 Tahun 2008. Perubahan ini juga telah melakukan revisi subtansial terhadap penyelenggaraan pilkada khususnya dalam mengakomodasi hadirnya calon perseorangan (independen).

Industrialisasi Pemilukada
Meski telah jelas masuk dalam rezim pemilu yang berlandaskan pada prinsip-prinsip langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil, pelaksanaan pemilukada masih jauh dari sebuah bangunan demokrasi yang ideal. Dari berbagai penelitian, data Kementerian Dalam Negeri maupun dari identifikasi masalah-masalah yang muncul dalam pemeriksaan sengketa hasil pemilu (PHPU) di MK nampak tergambar memang industrialisasi politik menjadi sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan.
Beberapa masalah terkait pelaksanaan pemilukada antara lain, pertama: pemilukada menjadi salah satu penyebab banyaknya kepala daerah yang melakukan korupsi. Data Kementerian Dalam Negeri Tahun 2011 menyatakan ada 17 Gubernur, 135 Bupati dan Walikota yang tersangkut kasus korupsi. Demikian juga kredibilitas sang calon kepala daerah sejak awal sudah bermasalah, Ijazah palsu, pernah dihukum atau perbuatan tercela lainnya muncul sebagai faktor kegagalan pemilukada. Oleh karena itu partai politik sangat bertanggung jawab dalam seleksi pemilihan calon kepala daerah sebelum akhirnya calon tersebut dipilih oleh masyarakat.
Kedua, kualitas pelaksanaan pemilukada selama ini memang masih banyak kekurangan dan harus diperbaiki. Berbagai permasalahan tersebut diantaranya adalah; tiadanya pembatasan dana kampanye dan pembatasan ruang publik yang digunakan untuk kampanye. Karena tidak ada pembatasan, maka semua calon kepala daerah akan berlomba-lomba memaksimalkan modal kampanyenya untuk membuat atribut kampanye dan dipasang di berbagai ruang publik. Demikian juga modal yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah menjadi sangat besar, selain untuk membeli “perahu partai pendukung”, membiayai kampanye juga biaya membeli suara pemilih (money politics).
Persoalan teknis lain yang berdampak luar biasa adalah masalah kesemrawutan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Masalah DPT bukanlah persoalan sepele karena kesemrawutan DPT telah menghilangkan banyak hak pilih warga negara yang notabene merupakan hak asasinya. Selain itu kesemrawutan DPT bisa juga dimanfaatkan untuk tujuan politis pemenangan salah satu calon yang berarti mencederai proses pemilihan yang harusnya berlangsung secara jujur.
Ketiga, persoalan pemilukada ini juga semakin diperkeruh oleh keterbatasan kualitas dan kapasitas dari anggota KPUD. Di beberapa kasus terjadi, pentahapan pemilukada berlangsung kacau balau, dan banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh KPUD yang berbuntut berbagai gugatan. Dalam beberapa perkara PHPU di MK terungkap KPUD dengan sengaja mengabaikan perintah putusan peradilan, bahkan sengaja mencari-cari alasan agar para bakal calon pasangan peserta menjadi tidak punya waktu untuk mendaftar sebagai peserta Pemilukada. Adanya indikasi KPUD melakukan pemihakan bertindak diskriminatif menghalang-terpenuhinya syarat bakal pasangan calon atau sebaliknya berupaya untuk meloloskan bakal pasangan calon yang tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta pemilukada dengan motif untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Ini sebuah modus yang sangat membahayakan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

Responsibilitas MK
Peran Mahkamah Konstitusi mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam pelaksanaan pilkada pada titik tertentu perlu diacungi jempol. Hukum acara (Peraturan MK No. 15/PMK/2008) telah menentukan secara terbatas objek pemeriksaan PHPU adalah “hasil perhitungan suara” pemilukada yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon yang dapat mengikuti putaran kedua dan/atau terpilihnya pasangan Calon sebagai kepala daerah & wakil kepala daerah. Ini berarti hukum acara telah menentukan secara rigid bahwa objek perselisihan hasil pemilukada adalah berupa angka-angka perhitungan suara. Namun MK dengan putusan-putusannya telah merespon hampir semua permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pemilukada melampauai rigiditas hukum acara dengan cara penafsiran ekstensif.
Putusan MK No. 57/PHPU.D/2008 tentang PHPH Kabupaten Bengkulu Selatan misalnya, MK membatalkan hasil perhitungan pemilukada dengan argumen: meskipun secara legal formal MK tidak berwenang menguji adanya pelanggaran (syarat, kelalaian/ kesengajaan meloloskan syarat, itikad buruk menyembunyikan keadaan pernah dihukum, perolehan angka dengan misrepresentation) dalam pemilukada, namun keadaan yang terjadi telah melanggar konstitusi yang tidak dapat ditolerir (intolerable condition).
Sebagai “pengawal konstitusi” MK memilih konstitusi dan mengesampingkan norma UU, ketika semua lembaga pemangku kewenangan (KPUD/Kepolisian/Panwas/Pengadilan) membiarkan keadaan menuju tidak tercapainya konsolidasi demokrasi, maka untuk menjaga jangan sampai ada ketentuan konstitusi dilanggar, berdasarkan “prinsip proporsionalitas” MK wajib meluruskan keadaan supaya pemilikada serasi dengan asas demokrasi. Ketidak jujuran, kebohongan publik dan pelecehan hukum dan pemerintahan oleh Bupati terpilih, setidaknya telah mencederai UUD 45.
Demikian juga soal pemohon yang berhak mengajukan keberatan (legalstanding), rigiditas hukum acara tidak menghalanginya mewujudkan keadilan dalam masyarakat. MK melakukan banyak terobosan. Ketentuan legal standing yang membatasi pemohon hanya kepada pasangan calon yang terdaftar mengikuti pemilukada saja telah ditafsir secara ekstensif, kini MK memberikan kedudukan hukum (legal standing) kepada bakal pasangan calon yangg telah resmi mendaftarkan diri namun tidak ditetapkan oleh KPUD (putusan MK antara lain No. 196, 197, 198/PHPU.D-VIII/2010 ( PHPU Papua) dan No.31/PHPU.D-III/2011 (Tapanuli Tengah).
Ekstensifikasi legal standing ini dirumuskan MK karena adanya alasan-alasan yang dapat melanggar norma-norma konstitusi, kedaulatan hukum (nomokrasi) , dan kedaulatan rakyat (demokrasi), yaitu pelangaran hak untuk menjadi pasangan calon (right to be candidate), pengabaian perintah putusan pengadilan dan sikap keberpihakan KPUD pada pasangan calon tertentu dengan sengaja menghalang-halangi terpenuhinya persyaratan calon lainnya.
the dreaming court
Dengan terobosan-terobosannya MK telah melenturkan rigiditas hukum acara. Putusan-putusannya telah berperan dengan sangat baik sebagai penjaga konstitusi. Beragam putusan yang progresif telah lahir dari tangan institusi hukum yang dilahirkan dari rahim reformasi ini. Melalui putusannya MK telah merubah paradigma, cara berpikir dan bertindak dalam bernegara, bermasyarakat dengan selalu mendasarkan pada konstitusi, prinsip-prinsip demokrasi, nomokrasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Bagaimana dengan pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (MA) yang dalam RUU Pemilukada oleh pemerintah diusulkan menggantikan peran MK. Adalah realitas meski telah ada sistem pembaruan dan renumerasi di MA dan jajarannya, namun masalah-masalah penumpukan perkara, mafia hukum, belum transparan, lambannya birokrasi peradilan masih sering kita rasakan dan saksikan dalam keseharian. Secara normatif telah ada pembaruan namun dilevel pelaksanaan masih konvensional. Masih menjadi pekerjaan rumah para pimpinan MA untuk berbenah diri.
Adalah tidak bijaksana menyerahkan kembali kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada Mahkamah Agung (MA) dan jajarannya, karena itu merupakan pilihan yang mundur (setback). Selain telah adanya penegasan aturan yang menempatkan pemilukada sebagai rezim pemilihan umum yang menjadi ranah MK, praktek penegakan hukum membuktikan MA dan jajarannya belum siap dan masih harus berbenah diri.
Kita membutuhkan peradilan modern yang dengan konsisten menerapkan prinsip-prinsip transparansi, independent dan imparsial sebagai peradilan impian (the dreaming court) bagi setiap pencari keadilan karena peradilan selalu digelar dengan cepat dan sederhana bahkan tidak hanya murah, tetapi gratis pula. Dan itu telah dilakukan oleh MK !
[Ditulis oleh Abdul Fickar Hadjar]
Sumber: http://politik.kompasiana.com/2011/04/29/pemilukada-industrialisasi-politik-dan-responsibilitas-mahkamah-konstitusi/
Share:

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Preface

Welcome to e-Law Corner

The weblog focused on
Law and Constitution,
We'll Let's share about it,
Happy reading...
Regards,

e-Law Corner Team

CC Recent Decision

Categories

2009 (2) Agraria (1) Akreditasi (1) Articles (1) Capres (1) Demokrasi (1) demokratis (1) DPT (2) Hijrah (1) Hukum Acara (1) Implementasi (1) Independen (1) Indonesia (1) Jurnal (1) Kapitalis (1) Konstitusi (2) KPU (1) KTP (1) Law (2) Legal (7) Lembaga (1) LIPI (1) Masif (1) MK (12) Negara (1) News (2) Nomor Urut (1) Panwaslukada (1) Partai (1) Paspor (1) Pelanggaran (1) Pembubaran (1) Pemilu (2) Pemilukada (2) Penafsiran (1) Peneliti (1) PHPU (2) Pileg (1) Pilpres (1) PMK (2) Politik (2) Politik Hukum (1) presidential (1) Probono (1) Putusan (1) Resensi (2) Review (7) Sistematis (1) Suara (1) Symposium (1) Tekstual (1) Terbanyak (1) Terstruktur (1) threshold (1) Turki (1)

Archives