Let's share about Law...

28 Januari 2014

Reforma Agraria; Tanah Untuk Kesejahteraan Rakyat!


Judul buku      : Politik Hukum Agraria
Penulis            : Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H.
Penerbit          : Konstitusi Press
Terbitan          :  Cetakan Pertama, Desember  2012
Tebal              : xviii + 312 hlm


“Konsep kebijakan yang beroreintasi kerakyatan, mengedepankan keadilan, bersifat integratif, berkelanjutan dan lestari dalam pengelolaannya” 

Sebagai negara agraris, Indonesia belumlah mampu mensejahterakan petani yang menjadi tulang punggung sektor pertanian. Arti kemerdekaan yang hakiki, bebas dari penindasan, kemiskinan dan menjadi bangsa yang bermartabat di kancah internasional masih menjadi ‘mimpi’ para petani. Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun  1960 tentang Pokok Agraria (UUPA)  membawa mainstream land reform yang mengarah pada perubahan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang mencerminkan rasa keadilan bagi mayoritas rakyat Indonesia, terutama petani.  
Tatkala agenda land reform stagnan dan tidak memberikan kesejahteraan kemudian berganti dengan  program revolusi hijau, namun pada akhirnya petani masih terbelenggu dalam kemiskinan, sementara sumberdaya agraria, yakni tanah dan sumberdaya alam lainnya semakin menjadi milik lapisan orang orang kaya.


Hal mendasar yang memicu kemandekan konsep perubahan sebagaimana  termaktub dalam UUPA, tidak lain adalah faktor interest partai-partai politik, unifikasi hukum yang kemudian mengesampingkan unikum-unikum masyarakat adat, ` perubahan struktur politik ekonomi yang memarjinalkan kepentingan rakyat yang bercorak agraris. (halaman 133).
Dalam konteks filosofis, dijabarkan bahwa konsep-konsep kebijakan yang melatarbelakangi masalah dalam ketimpangan struktur dan sengketa penguasaan tanah serta pengelolaan sumberdaya alam lainnya telah menimbulkan berbagai persoalan agraria. Setiap konsep kebijakan merupakan jawaban yang dianggap paling tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi, karena kebijakan merupakan pilihan dari beberapa pilihan yang ada, sesuai dengan pertimbangan dari anasir yang paling dominan sehingga dijatuhkannya pilihan kebijakan demikian (halaman 134).
Lebih jauh lagi apabila dikaji dari konsep kebijakan di bidang agraria yang selalu tema aktual  pada tingkatan abstrak tetapi justru namun relitas yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya konsep hak menguasai negara yang konon diangkat dari khazanah hukum adat yaitu hak ulayat yang menggambarkan kehendak kuat untuk mewujudkan hukum agraria nasional yang berakar dari hukum asli Indonesia, sehingga secara filosofis mendapatkan tempat pembenarannya.
Beberapa konsep kebijakan masa lalu yang melahirkan ketimpangan struktur dan sengketa penguasaan tanah serta sumberdaya alam lainnya, acapkali bukan semata mata kelemahan pada konsep tersebut, akan tetapi pada sisi implementasinya. Perubahan politik ekonomi yang tidak populis, ketidaksiapan untuk menjabarkan ide yang diidolakan  dan rapuhnya penegakan hukum di bidang hukum agraria yang sejiwa dengan UUPA telah menjadikan bangsa ini semakin jauh dari realitas yang didambakan.
Disaat negara tidak berdaya membangun perekenomian bangsa, pemodal asing dengan ringan tangan mengulurkan bantuan. Namun yang terjadi adalah kolaborasi negara dan kapitalis menguasi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kemudian pada akhirnya yang terjadi bukanlah sebesar-besar kemakmuran rakyat, tapi kesejahteran negara dan kapitalis selanjutnya penderitaan, beban hutang atas sesuatu yang tidak pernah dinikmati. Lebih ironis lagi adalah marginalisasi hak masyarakat hukum adat demi langgengnya kepentingan negara dan kaum kapitalis.                                                                                     
Pada titik inilah patut dipertanyakan dimana peran negara, bagaimana konsep hak menguasai negara?. Dari hasil beberapa riset ditemukan bahwa  masyarakat di Jawa sudah tidak mengenal hak ulayat, bahkan tanah desa dengan adanya pemerintahan desa administratif sudah banyak yang hilang menjadi milik pribadi. Banyak pemerintahan kota yang tidak mampu lagi mempertahankan bahkan menginventarisasi kekayaan pemerintah kota.

Hak Menguasi Negara dan Hak Ulayat dalamTafsir Konstitusi
Pertanyaan mendasarnya bagaimana konsepsi ideal terkait reforma agraria yang senafas dengan konstitusi. Dalam kaitannya dengan hal tersebut dipaparkan mengenai konstitusionalitas hak menguasai negara serta titik singgung dengan hak ulayat yang pada akhirnya dapat berjalan seiring-seirama menjalin harmoni.
Hakikatnya hak menguasai negara adalah hak yang pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak ini memberikan wewenang negara sebagaimana disebutkan pada pasal 2 ayat (2) UUPA. Hak menguasai dari negara ini membangun hubungan antara negara dengan bangsa, yakni semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah negara.
Lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal demokrasi sekaligus pelindung hak asasi manusia dengan tegas  memberikan tafsir terhadap makna ”dikuasai oleh Negara” berdasarkan Putusan Mahamah Konstitusi terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (Putusan Perkara 001-021-022/PUU-1/2003) bahwa Negara mempunyai wewenang yang disebut dengan mengatur (regelendaad), mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (teozichthoudensdaad).. Fungsi pengaturan lewat ketentuan yang dibuat oleh legislatif dan regulasi oleh eksekutif, fungsi pengurusan dengan mengeluarkan atau mencabut ijin, fungsi pengelolaan dilakukan oleh eksekutif dengan cara mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan fungsi pengawasan adalah mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaannya benar untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Seperti halnya dalam pertimbangan perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004, yang mendasari pemikiran demikian berasal dari penelusuran tentang hubungan Negara dengan sumberdaya alam, lebih jauh lagi dalam perspektif sistem perekonomian Indonesia, yang tidak mengatur sistem ekonomi pasar bebas tetapi masih mempertahankan wewenang Negara campur tangan dalam urusan ekonomi. Hal senada juga ditegaskan dalam perkara Nomor 008/PUU-II/2004 tentang sumberdaya air, bahwa para founding fathers secara visioner telah meletakkan dasar bagi pengaturan air dengan tepat dalam ketentuan UUD 1945 yaitu pasal 33 ayat (3) yang berbunyi ; “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dengan demikian secara konstitusional landasan pengaturan air adalah pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan pasal 28 H UUD 1945 yang memberikan dasar bagi diakuinya hak atas air sebagai bagian dari hak hidup sejahtera lahir dan batin yang artinya menjadi substansi dari hak asasi manusia.
Sementara apabila dilihat dari aspek UUPA, hal tersebut berarti bahwa hak menguasai yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang mengandung tiga wewenang tersebut harus memasukkan kedalamnya fungsi pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan. Dengan demikian akan semakin jelas bahwa Hak Menguasai Negara (HMN) tidak mencukupkan dirinya pada tiga wewenang tersebut sehingga tujuan penguasaan itu tetap terawasi dan terkendali agar benar-benar sesuai dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Lalu bagaimana kolerasi antara HMN dengan Hak ulayat? Hak ulayat disebut dalam pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan dan kesatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Inti dari kesinambungan dua konsep tersebut adalah bawa masyarakat hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya yang dijamin keberadaannya tersebut akan berinteraksi dengan masyarakat luar mendapat pengakuan baik oleh Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Pokok Agraria maupun Peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan nasional (BPN), sehingga setiap penggunaan hak ulayat harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak mengorbankan kepentingan masyarakat adat, sebaliknya harus menguntungkan kedua belah pihak.
Sebagai sebuah karya ilmiah yang lahir dari pakar hukum agraria, Wakil Ketua MK periode 2010-2013, Achmad Sodiki, buku ini tampil dengan bahasan yang sangat filosofis dan fundamental baik dari aspek teoretis maupun  aplikasi. Hal ini karena dilengkapi dengan putusan-putusan MK terbaru terkait sumber agaria yang senantiasa relevan dengan kondisi kekinian. Dalam konteks politik hukum agraria hal yang senantiasa perlu direnungkan bersama bahwa problematika pertanahan baik yang menyangkut kebijakan, pelayanan haruslah ditempatkan pada pemikiran yang lebih komprehensif, tidak sektoral dan tidak semata-mata berbicara tentang hak dan kewajiban namun lebih pada aspek perencanaan, persiapan sumber daya manusia dan finansial serta aspek lainnya yang pada akhirnya akan memberikan peningkatan harkat dan martabat rakyat yang lebih dan sejahtera, karena hakikatnya refoma agraria tiada lain hanya untuk kesejahteraan rakyat.

M. Mahrus Ali
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Dimuat di Majalah Konstitusi No. 81 November 2013
Share:

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Preface

Welcome to e-Law Corner

The weblog focused on
Law and Constitution,
We'll Let's share about it,
Happy reading...
Regards,

e-Law Corner Team

CC Recent Decision

Categories

2009 (2) Agraria (1) Akreditasi (1) Articles (1) Capres (1) Demokrasi (1) demokratis (1) DPT (2) Hijrah (1) Hukum Acara (1) Implementasi (1) Independen (1) Indonesia (1) Jurnal (1) Kapitalis (1) Konstitusi (2) KPU (1) KTP (1) Law (2) Legal (7) Lembaga (1) LIPI (1) Masif (1) MK (12) Negara (1) News (2) Nomor Urut (1) Panwaslukada (1) Partai (1) Paspor (1) Pelanggaran (1) Pembubaran (1) Pemilu (2) Pemilukada (2) Penafsiran (1) Peneliti (1) PHPU (2) Pileg (1) Pilpres (1) PMK (2) Politik (2) Politik Hukum (1) presidential (1) Probono (1) Putusan (1) Resensi (2) Review (7) Sistematis (1) Suara (1) Symposium (1) Tekstual (1) Terbanyak (1) Terstruktur (1) threshold (1) Turki (1)

Archives