"Demokrasi ekonomi yang kita anut adalah demokrasi ekonomi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial dan bukan mendorong merajalelanya kaum kapitalis" (Soekarno)
Di Jalan Raya Serpong, Tangerang, Banten, dalam rentang jarak 2,6 kilometer terdapat tiga hipermarket, yaitu Carrefour, Giant, dan Hypermart. Berbagai kebutuhan, seperti sabun colek yang dihasilkan perusahaan multinasional Unilever hingga minuman ringan produksi Coca-Cola, perusahaan dari Amerika Serikat, dapat dengan mudah ditemui di ketiga toko itu.
Apa yang terlihat di Jalan Raya Serpong itu bukanlah hal yang ”menakjubkan”. Pemandangan serupa dengan mudah dapat ditemui di wilayah lain di Indonesia. Sebagian dari perusahaan multinasional yang produknya dijual di ketiga hipermarket itu bahkan sudah mulai beroperasi di Indonesia sejak awal Orde Baru.
Namun, belakangan ini kehadiran mereka mulai menggelisahkan sejumlah kalangan. Bukan hanya karena dinilai sudah mengancam aktivitas ekonomi rakyat, tetapi kegiatan mereka sepertinya juga mulai sulit dikendalikan pemerintah.
Hal ini, misalnya, terjadi ketika pertengahan tahun 2007 sejumlah pedagang Pasar Ciledug, Tangerang, menolak kehadiran Carrefour di wilayah mereka. Namun, dengan alasan sudah mengantongi izin, operasi perusahaan ritel dari Perancis itu tetap tidak terhindarkan.
Di Jalan Raya Serpong, Tangerang, Banten, dalam rentang jarak 2,6 kilometer terdapat tiga hipermarket, yaitu Carrefour, Giant, dan Hypermart. Berbagai kebutuhan, seperti sabun colek yang dihasilkan perusahaan multinasional Unilever hingga minuman ringan produksi Coca-Cola, perusahaan dari Amerika Serikat, dapat dengan mudah ditemui di ketiga toko itu.
Apa yang terlihat di Jalan Raya Serpong itu bukanlah hal yang ”menakjubkan”. Pemandangan serupa dengan mudah dapat ditemui di wilayah lain di Indonesia. Sebagian dari perusahaan multinasional yang produknya dijual di ketiga hipermarket itu bahkan sudah mulai beroperasi di Indonesia sejak awal Orde Baru.
Namun, belakangan ini kehadiran mereka mulai menggelisahkan sejumlah kalangan. Bukan hanya karena dinilai sudah mengancam aktivitas ekonomi rakyat, tetapi kegiatan mereka sepertinya juga mulai sulit dikendalikan pemerintah.
Hal ini, misalnya, terjadi ketika pertengahan tahun 2007 sejumlah pedagang Pasar Ciledug, Tangerang, menolak kehadiran Carrefour di wilayah mereka. Namun, dengan alasan sudah mengantongi izin, operasi perusahaan ritel dari Perancis itu tetap tidak terhindarkan.
Yang lebih menggelisahkan, kekayaan alam ini seperti dengan mudah diberikan kepada sejumlah perusahaan multinasional itu daripada perusahaan sendiri. Misalnya, saat Exxon dari Amerika Serikat dan bukan Pertamina yang dipilih untuk mengoperasikan kilang minyak di Blok Cepu di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Sejumlah aset strategis bangsa, seperti Indosat, bahkan ikut dijual kepada pihak asing.
Padahal, berbagai perusahaan multinasional itu mempunyai kemampuan untuk mengancam atau mengadu satu negara dengan negara lain. Caranya, mereka hanya akan datang dengan memilih negara yang memenuhi persyaratan yang mereka harapkan. Jika sebuah negara menerapkan upah buruh yang tinggi, syarat yang berat untuk pendirian pabrik, atau pajak yang tinggi, dipastikan mereka kabur, memindahkan investasinya ke negara lain.
Bagi Indonesia, pemindahan investasi merupakan mimpi buruk. Ini terlihat bagaimana paniknya sejumlah pihak ketika pertengahan tahun 2007 Nike Inc berencana, meski akhirnya dibatalkan, menghentikan order pembuatan sepatunya di dua pabrik di Tangerang, yaitu PT Nagasaki Parama Shoes Industry dan PT Hardaya Aneka Shoes Industry. Sebab, kebijakan itu dapat berarti hilangnya pekerjaan bagi 14.000 buruh kedua perusahaan itu.
Kemampuan perusahaan multinasional itu membuat elite pemerintahan akan lebih mengabdi kepada kepentingan mereka daripada rakyatnya sendiri. Ini, misalnya, terlihat dalam kasus pendirian Carrefour di Ciledug.
Eksploitasi negara maju
Johan Galtung, sosiolog dari Norwegia, mengatakan, keadaan seperti ini akhirnya membuat negara Dunia Ketiga tidak lebih sebagai lahan eksploitasi negara maju. Di negara Dunia Ketiga, hasil eksploitasi hanya dinikmati elite yang menjadi komprador atau bekerja sama dengan negara maju. Ini bisa dilihat dari lebarnya jurang antara mereka yang kaya dan miskin di Indonesia.
Karena itu, fenomena ini seperti merupakan pengingkaran terhadap harapan Soekarno yang disampaikan dalam pidatonya di depan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Ia mengatakan, demokrasi ekonomi yang kita anut adalah demokrasi ekonomi yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial dan bukan mendorong merajalelanya kaum kapitalis.
Penambahan ayat dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu Ayat 4 dan Ayat 5, dinilai turut berperan dalam maraknya liberalisasi ekonomi di Indonesia belakangan ini.
Ayat 4 berbunyi, ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”.
Ayat 5 berbunyi, ”Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang”.
Oleh karena ada ketentuan efisiensi, bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya disebut sebagai faktor produksi yang hitungannya adalah untung rugi. Badan usaha milik negara (BUMN) juga tidak masalah jika dijual, asal untung. Logika itu amat berbeda dengan penjelasan Pasal 33 UUD 1945 yang sekarang dihapuskan, bumi, air, dan kekayaan alam itu merupakan sumber kesejahteraan rakyat.
Saat perubahan UUD 1945, ada tim ahli Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR yang menolak perubahan Pasal 33 UUD 1945. Mereka adalah Mubyarto dan Dawam Rahardjo. Alasannya, pasal itu merupakan cerminan prinsip kebersamaan, kegotongroyongan, dan kekeluargaan, sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945.
Atas berbagai masukan, isi Pasal 33 Ayat 1, 2, dan 3 UUD 1945 memang tidak diubah, tetapi dilakukan penambahan terhadap Ayat 4 dan 5. Penambahan pada Ayat 4 didorong oleh keinginan untuk mengikis kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Penambahan juga dimaksudkan agar ada rumusan yang lebih luas dan dapat menjawab tantangan globalisasi.
Ayat 4 itu dimaksudkan untuk mempertegas apa yang disampaikan oleh pendiri bangsa ini dan memberi kejelasan dalam menerjemahkan Ayat 1, 2, dan 3. Kata ”efisiensi” dalam Ayat 4 itu dibutuhkan untuk mendorong percepatan produktivitas. Namun, kata itu diikuti dengan berkeadilan hingga harus dilakukan dengan adil, yang berarti setiap setiap warga negara dapat menikmati hasilnya sesuai dengan kemanusiaan dan darma baktinya.
Adapun prinsip kebersamaan dalam Ayat 4 menegaskan bahwa produksi dijalankan dan untuk semua. Dengan demikian, praktik persaingan bebas, monopoli, atau monopsoni jelas bertentangan dengan UUD 1945.
Jika sekarang (sejumlah) BUMN dijual, apakah itu memang perintah UUD 1945? Atau peraturan di bawahnya?
Apakah berbagai masalah selama ini memang bermuara di UUD 1945 atau peraturan itu hanya dijadikan pelarian? Jangan-jangan, berbagai masalah itu justru disebabkan lemahnya kapasitas dan kapabilitas pelaksana UUD 1945.
M Hernowo
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/19/00172280/konstitusi.dengan.efisiensi.yang.kebablasan