Let's share about Law...

27 Maret 2015

Politik Hukum Keadilan Substantif dalam Judicial Review Undang-Undang

Perubahan Undang Undang Dasar 1945 (1999-2002) telah membawa perubahan besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam pelembagaan kekuasaan legislatif, eksekutif, maupun yudisial (kekuasaan kehakiman). Dalam sistem kekuasaan kehakiman (yudisial) sebagaimana disebutkan terakhir, di samping Mahkamah Agung (selanjutnya disingkat MA) dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, telah muncul Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat MK).

Adapun menyangkut kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945 adalah menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Di samping itu, MK memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Kewenangan MK juga diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) sebagaimana telah diubah dalam UU No. 8 tahun 2011 tentang MK. 

Berdasarkan hal tersebut di atas MK mempunyai fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Dengan konsekuensi itu juga MK berfungsi sebagai penafsir final konstitusi (the final interpreter of the constitution). Konstitusi sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah melindungi hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi. Oleh karenanya MK juga berfungsi sebagai pengawal demokrasi (the guardian of the democracy), pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizens constitutional rights) dan pelindung hak-hak asasi manusia (the protector of human rights).
Dalam kurun waktu sembilan tahun sejak MK berdiri (2003-2012), MK telah melaksanakan tiga kewenangan yang dimilikinya, yakni menguji UU, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, dan menyelesaikan perselisihan hasil Pemilu. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, MK mengacu kepada prinsip menegakkan keadilan substantif. Dalam mengadili perkara dengan mandat konstitusi, MK tidak hanya terpaku kepada bunyi UU yang terkadang justru bertentangan dan mengabaikan kepastian hukum dan keadilan. MK diharuskan mencari keadilan substantif yang oleh UUD 1945, UU, prinsip-prinsip umum konstitusi dan peradilan diakui keberadaannya. UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sendiri juga menegaskan, ”Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.” Bukti dan keyakinan hakim menjadi dasar putusan untuk menegakkan keadilan substantif.
Diskursus mengenai keadilan substantif semakin menguat ketika muncul putusan-putusan MK yang dinilai kontroversial-fundamental, beberapa putusan diantaranya adalah MK menyatakan bahwa terpidana dapat menjadi Calon Legislatif (Caleg) dan Calon Kepala Daerah, larangan publikasi hasil quick count dalam Pemilu Legislatif 2009 dinilai bertentangan UUD 1945,  KTP dan paspor dapat dijadikan sebagai identitas pemilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, Anggota DPD berhak menjadi Ketua MPR, pemberhentian secara tetap pimpinan KPK (Bibit-Chandra) dengan pemutaran bukti rekaman KPK, pembatalan seluruh Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP), Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) dengan E-Voting, kewenangan MK  dalam menguji Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu), pelarangan buku oleh Kejaksaan harus melalui pengadilan, dan pembatasan masa jabatan Jaksa Agung. Berbagai putusan-putusan tersebut mengundang perdebatan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan pakar hukum terkait dengan kewenangan MK dan terobosan-terobosan hukum yang menjadi problem solver dalam persoalan ketatanegaraan di Indonesia.
Kajian ini sangat penting dilakukan karena putusan-putusan MK dinilai melahirkan teori-teori hukum baru, menciptakan norma hukum baru yang belum diatur oleh Undang-Undang. Putusan MK lebih responsif dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari peran MK sebagai penafsir dan penegak konstitusi sehingga dalam proses interpretasi tersebut lebih menitikberatkan pada substansi keadilan daripada keadilan prosedural yang cenderung bersifat normatif. Berangkat dari pemaparan di atas, maka Penulis tertarik untuk membahasnya  dalam judul Politik Hukum Keadilan Substantif dalam Judicial Review  Undang-Undang serta implikasinya terhadap penegakan konstitusi dan demokrasi”. Adapun persoalan mendasar yang hendak dikaji adalah   mengenai implementasi keadilan substantif dalam pengujian judicial review Undang-Undang dan implikasi keadilan substantif terhadap penegakan konstitusi dan demokrasi.
Share:

0 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Preface

Welcome to e-Law Corner

The weblog focused on
Law and Constitution,
We'll Let's share about it,
Happy reading...
Regards,

e-Law Corner Team

CC Recent Decision

Categories

2009 (2) Agraria (1) Akreditasi (1) Articles (1) Capres (1) Demokrasi (1) demokratis (1) DPT (2) Hijrah (1) Hukum Acara (1) Implementasi (1) Independen (1) Indonesia (1) Jurnal (1) Kapitalis (1) Konstitusi (2) KPU (1) KTP (1) Law (2) Legal (7) Lembaga (1) LIPI (1) Masif (1) MK (12) Negara (1) News (2) Nomor Urut (1) Panwaslukada (1) Partai (1) Paspor (1) Pelanggaran (1) Pembubaran (1) Pemilu (2) Pemilukada (2) Penafsiran (1) Peneliti (1) PHPU (2) Pileg (1) Pilpres (1) PMK (2) Politik (2) Politik Hukum (1) presidential (1) Probono (1) Putusan (1) Resensi (2) Review (7) Sistematis (1) Suara (1) Symposium (1) Tekstual (1) Terbanyak (1) Terstruktur (1) threshold (1) Turki (1)

Archives