Perubahan Undang Undang Dasar 1945 (1999-2002) telah membawa perubahan
besar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, baik dalam pelembagaan kekuasaan
legislatif, eksekutif, maupun yudisial (kekuasaan kehakiman). Dalam sistem
kekuasaan kehakiman (yudisial) sebagaimana disebutkan terakhir, di samping
Mahkamah Agung (selanjutnya disingkat MA) dan badan-badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara, telah
muncul Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat MK).
Adapun menyangkut kewenangan Mahkamah
Konstitusi (MK) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD
1945 adalah menguji Undang-Undang (UU) terhadap UUD 1945; memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD; memutus
pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum. Di samping itu, MK memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat
DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum,
atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Kewenangan MK juga diatur
dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) sebagaimana
telah diubah dalam UU No. 8 tahun 2011 tentang MK.
Berdasarkan hal tersebut di atas MK
mempunyai fungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the
constitution). Dengan konsekuensi itu juga MK berfungsi sebagai penafsir
final konstitusi (the final interpreter of the constitution). Konstitusi
sebagai hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan negara berdasarkan prinsip
demokrasi dan salah satu fungsi konstitusi adalah melindungi hak asasi manusia
yang dijamin dalam konstitusi. Oleh karenanya MK juga berfungsi sebagai
pengawal demokrasi (the guardian of the democracy), pelindung hak
konstitusional warga negara (the protector of the citizens constitutional
rights) dan pelindung hak-hak asasi manusia (the protector of human
rights).
Dalam kurun waktu sembilan tahun sejak
MK berdiri (2003-2012), MK telah melaksanakan tiga kewenangan yang dimilikinya,
yakni menguji UU, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, dan menyelesaikan
perselisihan hasil Pemilu. Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, MK mengacu
kepada prinsip menegakkan keadilan substantif. Dalam mengadili perkara dengan
mandat konstitusi, MK tidak hanya terpaku kepada bunyi UU yang terkadang justru
bertentangan dan mengabaikan kepastian hukum dan keadilan. MK diharuskan
mencari keadilan substantif yang oleh UUD 1945, UU, prinsip-prinsip umum
konstitusi dan peradilan diakui keberadaannya. UU No.24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sendiri juga menegaskan, ”Mahkamah Konstitusi memutus
perkara berdasarkan UUD 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.”
Bukti dan keyakinan hakim menjadi dasar putusan untuk menegakkan keadilan
substantif.
Diskursus mengenai keadilan substantif
semakin menguat ketika muncul putusan-putusan MK yang dinilai
kontroversial-fundamental, beberapa putusan diantaranya adalah MK menyatakan
bahwa terpidana
dapat menjadi Calon Legislatif (Caleg) dan Calon Kepala Daerah, larangan
publikasi hasil quick count dalam
Pemilu Legislatif 2009 dinilai bertentangan UUD 1945, KTP dan paspor dapat dijadikan sebagai
identitas pemilih dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009, Anggota
DPD berhak menjadi Ketua MPR, pemberhentian secara tetap pimpinan KPK
(Bibit-Chandra) dengan pemutaran bukti rekaman KPK, pembatalan seluruh
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP), Pemilihan Umum Kepala Daerah
(Pemilukada) dengan E-Voting, kewenangan
MK dalam menguji Peraturan Pemerintah
Pengganti UU (Perpu), pelarangan buku oleh Kejaksaan harus melalui pengadilan, dan pembatasan masa jabatan Jaksa
Agung. Berbagai putusan-putusan tersebut mengundang perdebatan pro dan kontra
di kalangan masyarakat dan pakar hukum terkait dengan kewenangan MK dan
terobosan-terobosan hukum yang menjadi problem
solver dalam persoalan ketatanegaraan di Indonesia.
Kajian ini sangat penting dilakukan karena putusan-putusan
MK dinilai melahirkan teori-teori hukum baru, menciptakan norma hukum baru yang
belum diatur oleh Undang-Undang. Putusan MK lebih responsif dibandingkan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan
dari peran MK sebagai penafsir dan penegak konstitusi sehingga dalam proses
interpretasi tersebut lebih menitikberatkan pada substansi keadilan daripada
keadilan prosedural yang cenderung bersifat normatif. Berangkat dari pemaparan
di atas, maka Penulis tertarik untuk membahasnya dalam judul Politik Hukum Keadilan Substantif
dalam Judicial Review Undang-Undang serta implikasinya terhadap
penegakan konstitusi dan demokrasi”. Adapun persoalan mendasar yang hendak
dikaji adalah mengenai implementasi keadilan substantif
dalam pengujian judicial review
Undang-Undang dan implikasi keadilan substantif terhadap penegakan konstitusi
dan demokrasi.
0 komentar:
Posting Komentar