Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana keluarkan aturan tentang mekanisme nomor urut dalam menentukan calon anggota legislatif terpilih. Padahal, Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan keberlakuan Pasal 214 UU Pemilu yang mengatur tentang nomor urut tersebut. Oleh karenanya, Rabu (18/2), Ketua MK Moh. Mahfud MD, dalam konferensi pers, mengingatkan KPU supaya mematuhi putusan MK. Berikut ini keterangan lengkapnya.
Keterangan Pers MK tanggal 18-2-2009
1. Sebagai bentuk tanggungjawab atas kondisivitas situasi nasional dengan ini MK ingin menyampaikan respons atas persoalan “suara terbanyak” yang akhir-akhir menjadi wacana dan menimbulkan kebingungan bahkan memancing persoalan politis yang kurang sehat bagi keselamatan dan kelancaran pemilu.
Keterangan Pers MK tanggal 18-2-2009
1. Sebagai bentuk tanggungjawab atas kondisivitas situasi nasional dengan ini MK ingin menyampaikan respons atas persoalan “suara terbanyak” yang akhir-akhir menjadi wacana dan menimbulkan kebingungan bahkan memancing persoalan politis yang kurang sehat bagi keselamatan dan kelancaran pemilu.
2. Media massa hari ini (18/2/2009) melansir berita bahwa KPU akan segera mengeluarkan peraturan KPU tentang suara terbanyak sebagai tindak lanjut dari putusan MK No. 22-24/PUU-VI/2008 jika pemerintah tidak mengeluarkan Perppu. Salah satu alternatifnya KPU akan memberlakukan kembali pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 yang telah dibatalkan oleh MK.
3. Harap diingat, menurut konstitusi, putusan MK bersifat final dan mengikat sebagai tafsir konstitusi. Putusan judicial review MK adalah putusan negative legislator yang kekuatannya sama dengan UU tetapi dalam bentuk peniadaan UU atau isi UU. Ini tak bisa dilanggar oleh lembaga negara yang manapun.
4. Jika alasannya, putusan MK perlu Perppu atau revisi UU lebih dulu maka baik berdasar teori, konstitusi maupun yang berlaku selama ini maka alasan tersebut sama sekali tidak benar. Putusan MK yang meniadakan isi UU tanpa menimbulkan kekosongan hukum langsung berlaku secara self executing. Yang perlu Perppu atau revisi UU hanyalah yang menimbulkan kekosongn hukum untuk materi muatan UU, bukan yang menyangkut teknis-pelaksanaannya. Yang memerlukan revisi UU atau Perppu misalnya pembatalan atas isi UU KY, pembalatan atas isi UU KPK, dan pembatalan atas isi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu banyak yang tak perlu Perppu atau revisi UU, misalnya, Pembatalan atas pemberlakuan asas rektoaktif dalam tindak pidana terorisme, pembatalan pemasuangan hak pilih bagi yang terlibat PKI, dan pembatalan atas tidak adanya keharusan calon anggota DPD untuk bertempat tinggal daerah pemilihannya. Mengapa dalam kasus persyaratan domisili calon anggota DPD KPU langsung melaksanakan dan tak pernah mempersoalkan? Tapi mengapa dalam soal suara terbanyak menjadi begitu rumit? Jadi tak semua putusan MK itu perlu Perrpu atau revisi UU.
5. Alasan KPU yang mengutip sementara pendapat bahwa putusan pengadilan (termasuk MK) itu bersifat konkret dan tidak bisa menjadi dasar hukum sehingga tak bisa menjadi dasar hukum adalah keliru, sebab putusan MK harus dibedakan dari dari putusan pengadilan biasa. MK memperoleh kewenangan langsung yang eksplisit dan limitatif dari pasal 7B dan pasal 24C UUD 1945 sedangkan pengadilan biasa jenis kewenangannya diperoleh melalui UU biasa. Dan sengketa yang ditangani MK adalah konflik norma yang sudah digariskan oleh UUD secara langsung. Menurut hukum putusan MK atas peniadaan isi UU langsung berlaku sejak diucapkan dalam siang pleno.
6. Di dalam UU No. 10 Tahun 2008 yang sebagian isinya dibatalkan MK itu sama sekali tidak ada materi tentang keharusan wanita masuk menjadi anggota DPR. Yang ada di dalam UU No. 10 Tahun 2008 itu hanya ketentuan bahwa “dalam setiap 3 caleg harus ada 1 caleg perempuan,” dan itu tidak dibatalkan oleh MK. Jika kemudian KPU mau menentukan bahwa “dalam setiap 3 caleg terpilih harus ada 1 perempuan” maka itu sudah di luar putusan MK karena sejak semuka memang tidak ada di dalam UU. Oleh sebab itu kalau akan menetapkan zipper system seperti itu memang harus dengan Perrpu atau revisi UU sebab hal itu akan membuat pengaturan baru yang sebelumnya tidak ada di dalam UU. KPU tak boleh mengatur itu, Peraturan KPU hanya melaksanakan UU termasuk pembatalan atas UU oleh MK. Pokoknya kalau ada materi baru yang seharusnya menjadi muatan UU, tak boleh diatur oleh KPU.
7. Saya sungguh menyayangkan ketika KPU mengaitkan putusan MK ini dengan masalah sumber hukum dan dasar hukum yang bagi ilmu hukum tak ada relevansinya. Sebab penjelasan KPU itu sama sekali tak menjelaskan apa pengertian sumber hukum dan dasar hukum, apa hubungan keduanya, dan kapan sumber hukum sekaligus menjadi dasar hukum.
8. Harus diingat bahwa jika KPU ceroboh dalam hal ini ada konsekuensi politik dan konsekuensi pidananya. Konsekuensi politik bisa ditetapkan oleh DPR dan Presiden, sedangkan konsekuensi pidana menyangkut ancaman hukuman penjara sebagaimana diatur di dalam pasal 309 ayat (3) (hukuman 12 s/d 24 bulan) yang didahului oleh pasal 257 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 yang mewajibkan KPU menindaklanjuti semua putusan pengadilan.
9. Dengan menyatakan ini MK tak ingin ikut ribut-ribut dalam keributan KPU, tetapi hanya ingin turut menyelamatkan pemilu. Semuanya terserah KPU saja.
sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2149
judul asli : MK Ingatkan KPU Soal Rencana Pemberlakuan Nomor Urut Caleg