Penulis : Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H.
Penerbit : Konstitusi Press
Terbitan : Cetakan Pertama,
Desember 2012
Tebal :
xviii + 312 hlm
“Konsep kebijakan yang beroreintasi
kerakyatan, mengedepankan keadilan, bersifat integratif, berkelanjutan dan
lestari dalam pengelolaannya”
Sebagai negara agraris, Indonesia belumlah mampu mensejahterakan petani yang menjadi tulang punggung sektor pertanian. Arti kemerdekaan yang hakiki, bebas dari penindasan, kemiskinan dan menjadi bangsa yang bermartabat di kancah internasional masih menjadi ‘mimpi’ para petani. Lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) membawa mainstream land reform yang mengarah pada perubahan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang mencerminkan rasa keadilan bagi mayoritas rakyat Indonesia, terutama petani.
Tatkala agenda land reform stagnan dan tidak memberikan kesejahteraan kemudian berganti dengan program revolusi hijau, namun pada akhirnya petani masih terbelenggu dalam kemiskinan, sementara sumberdaya agraria, yakni tanah dan sumberdaya alam lainnya semakin menjadi milik lapisan orang orang kaya.
Hal mendasar yang memicu
kemandekan konsep perubahan sebagaimana termaktub dalam UUPA, tidak lain adalah
faktor interest partai-partai
politik, unifikasi hukum yang kemudian mengesampingkan unikum-unikum masyarakat adat, ` perubahan struktur politik ekonomi yang memarjinalkan kepentingan rakyat yang bercorak agraris. (halaman 133).
Dalam konteks
filosofis, dijabarkan bahwa konsep-konsep
kebijakan yang melatarbelakangi masalah dalam ketimpangan struktur dan sengketa
penguasaan tanah serta pengelolaan sumberdaya alam lainnya telah menimbulkan
berbagai persoalan agraria. Setiap konsep kebijakan merupakan jawaban yang
dianggap paling tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi,
karena kebijakan merupakan pilihan dari beberapa pilihan yang ada, sesuai
dengan pertimbangan dari anasir yang paling dominan sehingga dijatuhkannya
pilihan kebijakan demikian (halaman 134).
Lebih jauh lagi apabila dikaji dari konsep
kebijakan di bidang agraria yang selalu tema aktual pada tingkatan abstrak tetapi justru namun relitas
yang terjadi adalah sebaliknya. Misalnya konsep hak menguasai negara yang konon
diangkat dari khazanah hukum adat yaitu hak ulayat yang menggambarkan kehendak
kuat untuk mewujudkan hukum agraria nasional yang berakar dari hukum asli
Indonesia, sehingga secara filosofis mendapatkan tempat pembenarannya.
Beberapa konsep
kebijakan masa lalu yang melahirkan ketimpangan struktur dan sengketa
penguasaan tanah serta sumberdaya alam lainnya, acapkali bukan semata mata
kelemahan pada konsep tersebut, akan tetapi pada sisi implementasinya.
Perubahan politik ekonomi yang tidak populis, ketidaksiapan untuk menjabarkan
ide yang diidolakan dan rapuhnya
penegakan hukum di bidang hukum agraria yang sejiwa dengan UUPA telah
menjadikan bangsa ini semakin jauh dari realitas yang didambakan.
Disaat
negara tidak berdaya membangun perekenomian bangsa, pemodal asing dengan ringan
tangan mengulurkan bantuan. Namun yang terjadi adalah kolaborasi negara dan
kapitalis menguasi bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya. Kemudian pada akhirnya yang
terjadi bukanlah sebesar-besar kemakmuran rakyat, tapi kesejahteran negara dan
kapitalis selanjutnya penderitaan, beban hutang atas sesuatu yang tidak pernah
dinikmati. Lebih ironis lagi adalah marginalisasi hak masyarakat hukum adat
demi langgengnya kepentingan negara dan kaum kapitalis.
Pada titik inilah patut
dipertanyakan dimana peran negara, bagaimana konsep hak menguasai negara?. Dari
hasil beberapa riset ditemukan bahwa masyarakat
di Jawa sudah tidak mengenal hak ulayat, bahkan tanah desa dengan adanya
pemerintahan desa administratif sudah banyak yang hilang menjadi milik pribadi.
Banyak pemerintahan kota yang tidak mampu lagi mempertahankan bahkan
menginventarisasi kekayaan pemerintah kota.
Hak Menguasi Negara dan Hak Ulayat dalamTafsir Konstitusi
Pertanyaan mendasarnya bagaimana konsepsi ideal terkait reforma agraria
yang senafas dengan konstitusi. Dalam kaitannya dengan hal tersebut dipaparkan
mengenai konstitusionalitas hak menguasai negara serta titik singgung dengan
hak ulayat yang pada akhirnya dapat berjalan seiring-seirama menjalin harmoni.
Hakikatnya hak menguasai negara
adalah hak yang pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Hak ini memberikan wewenang negara
sebagaimana disebutkan pada pasal 2 ayat (2) UUPA. Hak menguasai dari negara
ini membangun hubungan antara negara dengan bangsa, yakni semacam hubungan hak
ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas yaitu pada tingkatan yang
mengenai seluruh wilayah negara.
Lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal demokrasi sekaligus pelindung
hak asasi manusia dengan tegas memberikan
tafsir terhadap makna ”dikuasai oleh
Negara” berdasarkan Putusan Mahamah Konstitusi terhadap pengujian
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (Putusan Perkara 001-021-022/PUU-1/2003) bahwa Negara mempunyai
wewenang yang disebut dengan mengatur (regelendaad),
mengurus (bestuursdaad), mengelola (beheersdaad), dan mengawasi (teozichthoudensdaad).. Fungsi
pengaturan lewat ketentuan yang dibuat oleh legislatif dan regulasi oleh
eksekutif, fungsi pengurusan dengan mengeluarkan atau mencabut ijin, fungsi
pengelolaan dilakukan oleh eksekutif dengan cara mendayagunakan penguasaannya
atas sumber-sumber alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan fungsi
pengawasan adalah mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaannya benar untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Seperti halnya dalam pertimbangan perkara Nomor
058-059-060-063/PUU-II/2004, yang mendasari pemikiran demikian berasal dari
penelusuran tentang hubungan Negara dengan sumberdaya alam, lebih jauh lagi
dalam perspektif sistem perekonomian Indonesia, yang tidak mengatur sistem
ekonomi pasar bebas tetapi masih mempertahankan wewenang Negara campur tangan
dalam urusan ekonomi. Hal senada juga ditegaskan dalam perkara Nomor
008/PUU-II/2004 tentang sumberdaya air, bahwa para founding fathers secara visioner telah meletakkan dasar bagi
pengaturan air dengan tepat dalam ketentuan UUD 1945 yaitu pasal 33 ayat (3)
yang berbunyi ; “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Dengan demikian secara konstitusional landasan pengaturan air adalah pasal 33
ayat (3) UUD 1945 dan pasal 28 H UUD 1945 yang memberikan dasar bagi diakuinya hak
atas air sebagai bagian dari hak hidup sejahtera lahir dan batin yang artinya
menjadi substansi dari hak asasi manusia.
Sementara apabila dilihat dari aspek UUPA, hal tersebut berarti bahwa hak menguasai
yang tercantum dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang
mengandung tiga wewenang tersebut harus memasukkan kedalamnya fungsi
pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan. Dengan demikian akan
semakin jelas bahwa Hak Menguasai Negara (HMN) tidak mencukupkan dirinya pada
tiga wewenang tersebut sehingga tujuan penguasaan itu tetap terawasi dan
terkendali agar benar-benar sesuai dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat.
Lalu bagaimana kolerasi antara HMN dengan Hak ulayat? Hak ulayat disebut
dalam pasal 3 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), bahwa pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan dan
kesatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Inti dari kesinambungan dua konsep
tersebut adalah bawa masyarakat
hukum adat dengan hak-hak tradisionalnya yang dijamin keberadaannya tersebut
akan berinteraksi dengan masyarakat luar mendapat pengakuan baik oleh
Undang-Undang Dasar, Undang-Undang Pokok Agraria maupun Peraturan Menteri
Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan nasional (BPN), sehingga setiap
penggunaan hak ulayat harus dilakukan dengan cara-cara yang tidak mengorbankan
kepentingan masyarakat adat, sebaliknya harus menguntungkan kedua belah pihak.
Sebagai
sebuah karya ilmiah yang lahir dari pakar hukum agraria, Wakil Ketua MK periode
2010-2013, Achmad Sodiki, buku
ini tampil dengan bahasan yang sangat filosofis dan fundamental baik dari aspek
teoretis maupun aplikasi. Hal ini karena
dilengkapi dengan putusan-putusan MK terbaru terkait sumber agaria yang
senantiasa relevan dengan kondisi kekinian. Dalam konteks politik hukum agraria
hal yang senantiasa perlu direnungkan bersama bahwa problematika pertanahan
baik yang menyangkut kebijakan, pelayanan haruslah ditempatkan pada pemikiran
yang lebih komprehensif, tidak sektoral dan tidak semata-mata berbicara tentang
hak dan kewajiban namun lebih pada aspek perencanaan, persiapan sumber daya
manusia dan finansial serta aspek lainnya yang pada akhirnya akan memberikan
peningkatan harkat dan martabat rakyat yang lebih dan sejahtera, karena
hakikatnya refoma agraria tiada lain hanya untuk kesejahteraan rakyat.
M. Mahrus Ali
Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Dimuat di Majalah Konstitusi No. 81 November 2013
0 komentar:
Posting Komentar