Judul buku : Lembaga-Lembaga
Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945
Penulis :
Dr. Patrialis Akbar, S.H., M.H.
Penerbit :
Sinar Grafika
Terbitan :
Cetakan Pertama, November 2013
Tebal :
xiv + 248 hlm
Perubahan konstitusi dalam negara hukum demokratis merupakan sebuah keniscayaan. Konstitusi sebagai sebuah kesepakatan bersama berbangsa dan bernegara bukanlah kitab suci yang sakral dari perubahan. Ia tidaklah imun dari segala bentuk perkembangan ketatanegaraan yang menghendaki adanya sebuah ‘penyegaran’ terhadap substansi konstitusi.
Perubahan konfigurasi
politik dari otoritarianisme menuju demokrasi yang diterapkan dalam sebuah
negara mutlak menuntut adanya pergeseran pengelolaan kekuasaan dari yang semula
bersifat personal menjadi bersifat impersonal. Pada saat yang bersamaan, hal
ini mengakibatkan pembagian kekuasaan negara yang sebelumnya dianggap sebagai
doktrin yang mapan mengalami koreksi dan dirasakan tidak cukup lagi sekadar
mengklasifikasikannya menjadi kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat
undang-undang, dan kekuasaan kehakiman.
Sebagai
implikasi logis dari amandemen konstitusi sudah
pasti terdapat perubahan mendasar bagi seluruh tatanan kenegaraan khususnya
mengenai lembaga negara. Perubahan UUD 1945 terkait lembaga-lembaga negara
sangat fundamental. Secara garis besar dapat kita lihat bagaimana konfigurasi
kekuasaan MPR setelah perubahan UUD 1945, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung
(DPA) serta munculnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Komisi Yudisial (KY) dan Mahkamah
Konstitusi (MK). Keberadaan lembaga negara dalam sistem
ketatanegaraan merupakan manifestasi prinsip
pemisahan kekuasaan untuk saling mengawasi. dalam konteks itulah akan tercipta
sistem checks and balances antara
organ negara sehingga melahirkan stabilitas pemerintahan.
Pengaturan
lembaga-lembaga negara di Indonesia dalam konstitusi mengalami perkembangan
sesuai dinamika politik dan demokrasi di Indonesia serta pengaruh global.
Perkembangan fundamental tentang lembaga-lembaga terjadi ketika perubahan UUD
1945 pada awal era reformasi. Ada lembaga yang dikurang kewenangannya dan
menurun kedudukannya seperti MPR, ada yang diperkuat kewenangannya seperti DPR,
ada pula pembentukan lembaga negara baru seperti MK. Di samping itu, ada juga
lembaga negara yang dihapus dari sistem ketatanegaraan yaitu DPA.
UUD 1945 hasil perubahan
mengatur mengenai hubungan antar lembaga negara mengacu pada sistem saling
kontrol dan mengimbangi (check and balances) sehingga tidak ada satu
lembaga negara yang lebih berkuasa dan lebih tinggi kedudukannya disbanding
lembaga negara lain. Dapat katakan pula tidak ada satu lembaga negara yang
melaksanakan kewenangannya tanpa peranan dan partisipasi lembaga negara lain.
Konsepsi ini mendorong setiap lembaga negara untuk berhati-hati dalam
melaksanakan kewenangannya agar senantiasa mengacu pada konstitusi. Hal
tersebut karena adanya kontrol dari lembaga negaranya lainnya. Kondisi ini
dapat meminimalisir segala bentuk peluang penyalagunaan wewenang oleh lembaga
negara lainnya.
Buku ini memfokuskan pembahasan pada lembaga negara
yang diatur dalam UUD 1945 secara cukup rinci yang mencakup kedudukan,
kewenangan dan keanggotaan yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK),
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan
Komisi Yudisial (KY). Lembaga-lembaga negara ini merupakan organ konstitusi
sehingga mempunyai peranan besar dalam penyelenggaraan negara. Selain membahas
hal tersebut, tidak ketinggalan pula dihabas seputar hubungan antar lembaga
negara prespektif UUD 1945 pada bab terakhir.
Lembaga-lembaga ekstra
selalu diidealkan bersifat independen dan sering kali memiliki fungsi campuran
yang semilegislatif dan regulatif, semiadministratif, dan bahkan semiyudikatif.
Oleh karena itulah muncul istilah badan-badan independen dan berhak mengatur
dirinya sendiri (independent and self-regulatory bodies) yang
berkembang di berbagai negara.
Gejala umum yang sering kali dihadapi oleh negara-negara yang membentuk
lembaga-lembaga ekstra itu adalah persoalan mekanisme akuntabilitas,
kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan, dan pola hubungan kerjanya dengan
kekuasaan pemerintah, kekuasaan membuat undang-undang, dan kekuasaan kehakiman.
Realitas tersebut tidak
terlepas dari pergulatan politik yang terjadi antara kekuatan politik
pemerintah dan parlemen saat keduanya memperebutkan pengaruh dari rakyat dalam
pengelolaan negara. Kekuatan politik pemerintah di era demokrasi yang “dipaksa”
harus berbagi dengan kekuatan lain, khususnya parlemen, inilah yang
mengakibatkan persaingan di antara keduanya tidak terelakkan. Tentu saja hal
ini membawa dampak negatif berupa ketidakjelasan pertanggungjawaban dan pola
kerja lembaga-lembaga ekstra tersebut, karena pembentukannya sering kali tidak
dilandasi kebutuhan rasional dan landasan yuridis yang cukup. Sebagai lembaga
independen yang terlepas dari hubungan struktural dengan pemerintah, pemerintah
tentu tidak berada dalam kapasitas untuk bisa mengontrol secara khusus terhadap
lembaga-lembaga ekstra tersebut.
Dalam
konteks transformasi lembaga negara, fenomena
penting pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah bertebarannya
lembaga-lembaga negara mandiri (state auxiliary agencies) dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan dasar
hukum yang berbeda-beda, baik dengan konstitusi, undang-undang, bahkan ada yang
dibentuk dengan keputusan presiden saja. Adanya dasar
hukum yang berbeda-beda itu menunjukkan bahwa lembaga-lembaga negara mandiri
itu dibentuk berdasarkan isu-isu parsial, insidental, dan sebagai jawaban
khusus terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Hal ini mengakibatkan
komisi-komisi itu berjalan secara sendiri-sendiri dan tidak saling melengkapi
satu sama lain, sehingga dalam implikasi yang lebih jauh dapat mengakibatkan
efektivitas keberadaan komisi-komisi itu dalam struktur ketatanegaraan masih
belum tampak berjalan sesuai dengan tujuan mulia pembentukan lembaga yang
ekstralegislatif, ekstraeksekutif, dan ekstrayudikatif itu.
Hakikatnya organ negara
menjalankan salah satu dari 2 (dua) fungsi, yakni fungsi menciptakan hukum (law-creating
function) atau fungsi yang menerapkan hukum (law-applying function). Senada dengan pembahasan
buku ini, Jimly Asshiddiqie
menyimpulkan bahwa pascaperubahan UUD 1945, dapat dikatakan terdapat 34 lembaga
negara. Dari 34 lembaga negara tersebut, ada 28 lembaga yang kewenangannya
ditentukan baik secara umum maupun secara rinci dalam UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Ke-28 lembaga negara inilah yang dapat disebut sebagai
lembaga negara yang memiliki kewenangan konstitusional atau yang kewenangannya
diberikan secara eksplisit oleh UUD 1945. Ke-34
organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan
dari segi hirarkinya. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat
dikategorikan sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs),
dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state
organs).
Lahirnya lembaga-lembaga
negara di Indonesia dilandasi oleh beberapa hal mendasar. Pertama, tidak adanya
kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada sebelumnya akibat adanya asumsi
(dan bukti) mengenai korupsi yang sistemik, mengakar, dan sulit untuk
diberantas. Kedua, tidak independennya lembaga-lembaga negara yang karena
alasan tertentu tunduk di bawah pengaruh suatu kekuasaan tertentu. Ketiga,
ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan
tugas-tugas yang harus dilakukan dalam masa transisi menuju demokrasi baik
karena persoalan internal maupun eksternal. Keempat, adanya pengaruh global
yang menunjukkan adanya kecenderungan beberapa negara untuk membentuk
lembaga-lembaga negara ekstra yang disebut lembaga negara mandiri (state
auxiliary agency) atau lembaga pengawas (institutional watchdog) yang
dianggap sebagai suatu kebutuhan dan keharusan karena lembaga-lembaga yang
telah ada telah menjadi bagian dari sistem yang harus diperbaiki. Kelima,
adanya tekanan dari lembaga-lembaga internasional untuk membentuk
lembaga-lembaga tersebut sebagai prasyarat bagi era baru menuju demokratisasi.
Sebagai karya yang lahir
dari pelaku sejarah perubahan UUD 1945, termasuk menjadi anggota panitia Ad Hoc III
dan I Badan Pekerja MPR yang secara intens selama empat tahun berturut-turut
(1999-2002) terus menerus melakukan pembahasan rancangan perubahan UUD 1945 di
MPR. Buku ini sarat akan original intent yang berkembang di MPR selama proses
perubahan konstitusi mengenai lembaga-lembaga negara berlangsung, termasuk
latar belakang pemikiran konseptual, maksud dan tujuan serta isi perubahan
seputar lembaga-lembaga negara tersebut.
Dimuat di Majalah Konstitusi No. 83 Januari 2014
Dimuat di Majalah Konstitusi No. 83 Januari 2014
0 komentar:
Posting Komentar